Budaya makan di warteg
Warteg punya sejumlah ciri khas. Salah satu yang identik adalah keberadaan dua pintu yang sejajar di bagian depan. Menurut Cholid, hal itu untuk memudahkan sirkulasi pelanggan yang keluar masuk.
“Tapi ada juga yang beranggapan kalau itu harapan supaya rezekinya semakin banyak,” ujarnya tertawa.
Selanjutnya tentang penataan tempat duduk yang mengitari etalase makan. Bagi Cholid, selain memudahkan penataan lauk supaya terlihat jelas, juga agar sirkulasi pelanggan yang makan bisa lebih cepat.
Nah hal itulah yang menurutnya membuat warteg tidak berkembang pesat seperti warmindo di Jogja. Cholid mengamati bahwa di Jogja orang lebih suka makan dengan santai. Setelah makan, pelanggan terutama mahasiswa ingin bercengkerama dahulu sembari merokok atau berbincang.
“Sedangkan pas di Jakarta, pangsa pasar kan buruh pabrik. Mereka makan cepat. Sirkulasi yang keluar masuk lebih cepat juga,” paparnya.
Warteg memang menawarkan keragaman lauk dan sayuran yang tidak ditemukan di warmindo. Etalase lauk di warmindo hanya satu dan tidak terlalu besar. Tapi meja dan kursi yang tersedia untuk pelanggan berlimpah.
“Nah ini kalau di tempat saya, etalase saja sudah dua dan panjang-panjang. Sebab kami lauknya banyak,” terangnya.
Perkembangan warmindo di Jogja sekarang juga sudah semakin memanjakan pelanggan untuk bercengkerama berlama-lama. Beragam fasilitas disediakan seperti WiFi dan tempat yang luas.
“Kalau saya lihat ya memang secara sosial dan budaya, di Jogja itu orang suka makan sekalian nongkrong. Entah itu sarapan, makan siang, atau malam. Makannya sekarang juga banyak warmindo yang konsepnya semi kafe,” jelasnya.
Alasan tidak banyak warteg di Jogja
Menjamurnya warmindo di sekitar kampus juga turut berpengaruh pada warteg milik Cholid. Ia ingat saat awal mengelola warteg di sini, warmindo hanya menjual dua jenis makanan yakni bubur kacang hijau dan mie instan.
Perlahan, warmindo juga menyediakan nasi dan lauk pauk. Sehingga pangsa utama wartegnya yang mahasiswa perlahan beralih ke sana karena lebih bisa makan sekaligus bersantai lama.
Hingga sekarang, orang Tegal yang merantau ke Jogja untuk usaha warteg memang tidak terlalu banyak. Tidak sebanyak perantau dari sana yang datang untuk berjualan nasi goreng dan martabak terang bulan.
Selain karena banyaknya warmindo, seperti disebutkan di atas, banyak warung padang dengan harga murah menjadi sebab tidak banyak warteg di Jogja.
“Ya makanya tidak sampai ada paguyuban penjual warteg di sini. Paling hanya paguyuban perantau dari Tegal secara umum,” katanya.
Setelah lebih dari dua puluh tahun berdiri, sudah banyak generasi mahasiswa yang pernah dilayani kebutuhan makannya di warung makan sederhana ini. Banyak di antara mereka yang sudah lulus lalu datang kembali. Kangen dengan masakan khas yang ditawarkan warteg.
“Ya sering ada yang sudah selesai kuliah lalu datang ke sini. Menyapa saya tapi saya lupa sama dia. Pasti saya tanya angkatan berapa karena sudah banyak sekali kan angkatan yang saya lewati,” kenangnya.
Warung ini dikenal dengan nama Warteg Glagahsari. Nama itu tidak pernah diniatkan oleh sang pemilik. Bahkan sejak awal tidak pernah ada nama khusus yang diberikan untuk usaha ini. Di depan bangunannya hanya ada tulisan sederhana “Warung Tegal” dengan cat berwarna biru yang sudah kusam.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono