Satu perguruan dengan Soto Pak Slamet dan Soto Pak Haryanto
Dari sisi gagrak soto, warung Soto Pak Paiman ini dari jenis soto bening. Cita rasa dan penampilannya mengingatkan saya dengan Soto Kadipiro dan Soto Pak Slamet.
“Bapak itu memang satu perguruan dengan Pak Slamet dan Soto Pak Hariyanto Pasar Gamping. Sama-sama pernah bekerja dan belajar di Soto Kadipiro,” kata Winarni tertawa.
Pantas saja, kuahnya yang gurih jelas tercipta dari ayam kampung pilihan. Isi kondimen mangkuknya juga sangat mirip dengan kedua soto yang saya sebut, ada potongan daging, kubis, dan perkedel. Kuah ini makin gurih dengan kecap yang banyak dipakai warung-warung soto legendaris, Kecap Sarico.
Menu pelengkap di Soto Pak Paiman sama-sama menggoda. Terutama sekali adalah ayam gorengnya. Meski namanya ayam goreng, warna dagingnya nggak menunjukkan kalau ayam ini digoreng, malah seperti ingkung.
Winarni menjelaskan kalau sebelum digoreng, ayam ini memang dibacem terlebih dahulu. Selain bumbunya meresap, warnanya juga menarik.
Lauk lain yang bisa menjadi teman makan soto di tempat ini ada tempe kemul, tahu bacem, dan tentu saja emping melinjo.
Winarni lantas bercerita bagaimana susah payah orang tuanya mulai mendirikan warung soto. Sempat “terusir” dari tempat berjualan kemudian memilih pindah ke daerah yang jauh dari pusat Kota Jogja.
Pemilik rumah yang tak mau memperpanjang sewa rumah
Winarni mengingat, ia masih kecil dan belum bersekolah saat ayahnya, Paiman mendirikan warung soto di tepi Jalan Magelang daerah Karangwaru, Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Selama sekitar 7 tahun, keluarganya lancar-lancar saja jualan. Sampai kemudian, pemilik tidak mau memperpanjang masa sewa rumah.
“Bapak saat itu kemudian kerjasama dengan Ayam Goreng Podomoro, bapak jualan pagi, mereka jualan sore,” kata Winarni. Paiman berjualan di tempat tersebut selama satu tahun. Sampai kemudian ia diajak temannya untuk cari tempat di wilayah Kulon Progo yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Jogja. “Saat itu, sampai di tempat ini, bapak langsung cocok tempatnya,” kata Winarni.
Dugaan Paiman tepat. Warungnya dengan cepat dapat pelanggan-pelanggan baru. Bukan hanya warga sekitar, tapi juga dari daerah lain seperti Purworejo dan Kebumen. “Sampai sekarang pelanggan kami dari daerah itu masih banyak yang ke sini, terutama akhir pekan,” kata Winarni. Secara resmi, Soto Pak Paiman mulai berdiri di Kulon Progo pada 1989.
Sejak tahun itu, Pak Paiman nyaman berjualan di tempat tersebut, meski setiap hari harus bolak-balik dari rumahnya di kawasan Kadipiro, Yogyakarta. Kalau dihitung-hitung jaraknya sekitar 25 kilometer.
“Sampai sekarang kami juga bolak-balik, dari Kadipiro ke Wates,” kata Winarni. Baginya tak masalah harus berangkat pagi yang penting ia bisa melayani pelanggan. Setiap hari warung Soto Pak Paiman buka mulai pukul 07.30 WIB dan tutup sekitar pukul 16.30 WIB.
Soto Pak Paiman sempat buka cabang di beberapa tempat. Namun, karena pandemi dan tempat yang kurang strategis, akhirnya tutup. Soto Pak Paiman kini dipegang oleh generasi kedua. Dikelola secara bergantian oleh Winarni dan kakaknya, Doniyati sejak tahun 2014 setelah ayah mereka meninggal dunia.
Saya juga bertemu dengan Bagas (20) anak dari Doniyati yang saat itu membantu Winarni jualan. Ia yang lulusan SMK 1 Sewon Jurusan Boga berencana akan membuka cabang Soto Pak Paiman. Selama beberapa tahun ini, ia membantu di warung untuk bersiap membuka sendiri.
“Saya tinggal meneruskan saja, kalau soal rasa, nggak perlu ada yang diubah,” katanya.
Menurut Winarni, ia dan kakaknya memang sengaja mengelola warung Soto Pak Paiman bersama-sama.
“Pesan bapak, jangan rebutan. Diteruske bareng-bareng wae,” kata Winarni mengungkapkan pesan Pak Paiman pada mereka berdua.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Purnawan Setyo Adi