Menjajal Tiga Kuliner Kambing Khas Jogja, Bumbu Sederhana yang Bersaing dengan Solo

Kuliner Pasar Beringharjo.MOJOK.Co

Ilustrasi kuliner Pasar Beringharjo (Mojok.co)

Jogja punya beberapa kuliner kambing yang khas. Bumbunya mungkin tidak sekuat olahan kambing di Solo seperti tongseng, krengseng, hingga tengkleng yang berkuah pekat dan kaya akan rempah. Namun, olahan khas Jogja terbilang cukup bersejarah dan berhasil mewarnai khazanah kuliner daerah pariwisata ini.

Mojok mencoba menelusuri jejak rasa kuliner kambing Jogja. Petualangan rasa ini rasanya kurang afdal jika tak dimulai dari Jalan Imogiri Timur, Bantul.

Berkendara roda dua di malam hari menelusuri jalan di selatan Terminal Giwangan ini, hidung serasa tertusuk bau sedap. Aroma pembakaran sate dari warung-warung yang berjejeran di sepanjang jalan ini. 

Sejak dari Markas Brimob hingga Pasar Jejeran, ketika malam, pinggir jalur sepanjang sekitar empat kilometer ini diwarnai percikan merah dari arang yang terbakar. Di depan warung-warung ini, banyak kendaraan terparkir. Para penikmat kambing yang bukan hanya berasal dari Jogja ini berburu menu khas Jogja yakni sate klathak.

Sate klathak yang jadi legenda Jogja

Perjalanan saya terhenti tepat di Pasar Jejeran, Pleret, Bantul. Saya menghampiri sebuah warung kecil di ruko bagian depan pasar bernama Sate Klathak Pak Zabid. Warungnya memang kecil akan tetapi menjadi salah satu saksi sejarah sate khas dengan tusuk dari jeruji besi ini.

Sang pengelola, Muhammad Hasimi sedang sibuk menyiapkan pesanan tongseng untuk pelanggan. Merajang daging kambing muda menjadi potongan-potongan kecil lalu memasukannya ke wajan yang telah berisi bumbu pekat kehitaman.

Usai memasak tongseng, Hasimi lantas menyiapkan seporsi sate klathak pesanan saya. Ia memasukkan potongan-potongan daging ke tusuk besi dengan cepat. Lantas membakarnya di atas bara.

Sosok di hadapan saya merupakan cucu dari pionir sate klathak. Kakeknya yang bernama Hamzah atau Mbah Ambyah konon mengawali racikan sate ini pada era 1940-an silam. 

“Dulu Mbah Ambyah itu awalnya berjualan kambing saja, belum mengolahnya,” kata Hasimi.

Sate klathak, kuliner khas Jogja. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Berawal dari ide untuk memanfaatkan kambing yang lama tak terjual, Hamzah lantas mencoba mengolahnya. Menjual olahan kambing membuat pundi-pundi uang lebih cepat berputar.

Saat itu, awalnya Hamzah mencoba membuat gulai. Setelah itu inovasi pun coba ia buat. Sate kambing dengan bumbu sederhana, hanya garam dan bawang putih.

Sate klathak identik dengan tusuk besinya, hal itu menurut Hasimi tercetus karena Hamzah ingin membuat daging lebih matang secara merata. Selain itu, penggunaan besi membuat tusuk tidak mudah putus.

Asal nama klathak

Sejarah berlanjut dengan munculnya penamaan klathak. Konon nama itu muncul karena suara saat membakar daging berbunyi klethak-klethak. Suara yang muncul akibat garam yang terkena api.

Sejak saat itu, Hamzah mulai menekuni berjualan olahan daging. Ia menjajakan sate klathak dengan pikulan. Membawanya dari rumah ke Pasar Jejeran.

“Dulu kalau dengar cerita, Mbah Ambyah itu kalau jualan kadang sembunyi karena masih suka ada tentara Belanda atau Jepang yang lewat,” kenang Hasimi.

Setelah pesanan jadi, saya mencoba mencicipinya. Sate klathak berpadu dengan kuah berwarna kuning yang tidak terlalu kental. Kuah gurih, sedikit manis, dan ada rasa jahe yang menempel di lidah. Rasanya segar dan gurih.

Sate klathak lantas berkembang dari masa ke masa. Olahan ini banyak menarik minat penikmat kuliner. Penjualnya pun semakin banyak memenuhi daerah sekitar Pasar Jejeran.

Beberapa warung terkenal seperti Pak Bari hingga Bu Hazimi merupakan keturunan Mbah Hamzah. Dua warung itu dalam sehari bisa menghabiskan lebih dari sepuluh ekor kambing.

Penjual yang lebih besar dan terkenal seperti Pak Pong bahkan bisa menghabiskan 25-30 ekor kambing per hari. Pemilik warung Pak Pong merupakan keturunan Jupaini yang sebenarnya masih keponakan dari Mbah Ambyah.

Anak keturunan Jupaini juga dikenal banyak menjadi penjual sate klathak. Selain Pak Pong, salah satu penjual populer yakni Mak Adi juga salah satu keturunan Jupaini.

Kronyos: lemak kambing yang nikmat

Nama terakhir disebut yakni Mak Adi, juga merupakan pionir olahan kambing lain yang belakangan mulai tenar yakni kronyos. Olahan ini belakangan juga banyak dijual oleh warung-warung sate klathak.

Kronyos, daging sandung lamur dengan bumbu garam dan bawang putih. (Agung PW)

Warung Mak Adi terletak di selatan SPBU Jejeran, tepatnya di Jalan Imogiri Timur KM 9. Mojok pernah berkunjung untuk menggali kisah awal bagaimana warung ini mempopulerkan kronyos.

Kronyos merupakan hidangan berbahan dasar bagian daging kambing yang berlemak atau sanding lemur. Menu ini paling banyak dicari pelanggan. Sehingga tak heran, paling cepat habis di antara yang lain.

Kisah awal kemunculan kronyos juga terbilang tak sengaja. Saat itu, seorang karyawan Sate Klathak Mak Adi sedang ingin memakan camilan. Ia pun mencoba mengolah beberapa bahan yang ada di warung.

“Jadi saat itu kan di warung nggak ada camilan, terus karyawan nggoreng sandung lamur. Terus kan diletakan di meja. Ada pelanggan lihat dan tanya, ‘itu apa? Kelihatannya enak’. Terus dia coba dan katanya enak,” kata Indah Susanti (45) pemilik Kronyos Mak Adi, kepada Mojok, Jumat (7/10/2022). 

Penamaan kronyos juga mirip dengan sate klathak yakni berdasarkan bunyi yang muncul saat proses memasak. Berbahan dasar bagian berlemak, menu ini akan berbunyi ‘nyoss’ saat proses penggorangan.

“Pas digoreng kan ada bunyi ‘nyoss’, ada yang menyebutnya juga krenyos, ada juga krengseng,” ujar Indah. 

Banyak peminat, pasti ludes

Setiap hari hanya ada sekitar 50 porsi kronyos yang tersedia. Jumlah tersebut hampir pasti ludes lantaran banyaknya peminat.

Tekstur kronyos saat disantap terasa garing di bagian luar. Namun ketika digigit, kekenyalan bagian dalamnya akan terasa. Sensasi mengunyah bagian berlemak ini menjadi kenikmatan tersendiri bagi para penyuka kronyos.

Menurut Indah, kronyos menjadi sepopuler sekarang lantaran ada banyak pesohor yang menyantap dan membagikannya di media sosial. Salah satunya Iqbaal Ramadhan yang berulang kali datang.

“Setiap datang atau shooting ke Jogja, Iqbaal Ramadhan itu hampir pasti mampir ke sini,” kata Indah. 

Namun, sebelum Iqbaal, artis pertama yang mencicipi kronyos adalah Zaskia Adya Mecca dan suaminya, Hanung Bramantryo. Dugaan Indah, Hanung lah yang membuat Iqbaal mampir. Sebab Iqbaal sempat main di film arahan Hanung yakni Bumi Manusia yang salah satu  lokasinya shooting-nya di Jogja.

Baceman kepala yang memikat Bondan Winarno

Dua kuliner kambing khas Jogja tadi bermula dari daerah selatan yakni Bantul. Namun, ada satu kuliner yang tak kalah menarik dan nikmat dan datang dari bagian sedikit ke utara yakni baceman kepala. Olahan ini bermula dari warung Haji Sukirman di Pasar Colombo, Sleman.

Saya mengunjungi warung itu pada Jumat (16/12/2022) lalu dan berjumpa dengan Sujinten (77). Ia merupakan istri dari Sukirman yang sudah tutup usia beberapa tahun lalu. 

Warung ini menjual baceman dari setiap bagian kepala kambing. Mulai dari kepala komplit, lidah, cingur, otak, hingga mata. Selain itu masih ada daging, kikil, sampai jerohan. Harganya berkisar antara Rp15 ribu hingga Rp160 ribu per porsi.

Saat itu saya memesan lidah setengah. Menu lidah utuh harganya Rp65 ribu sedangkan setengahnya Rp35 ribu.

Baceman kepala kambing Haji Sukirman di Pasar Colombo, Sleman. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Jujur, awalnya agak ragu menyantap bagian kepala kambing yang hanya dibacem dengan bumbu terbilang sederhana. Apalagi saat itu saya menjadikan menu ini sebagai santapan pagi.

Setelah menunggu masakan itu sampai di hadapan saya. Saya cicip perlahan dan ternyata makan lidah kambing untuk sarapan terasa nikmat. Baceman berpadu dengan sambal cabai yang rasanya dominan manis. 

Sebenarnya, jika meminta agar lebih pedas pun bisa. Rasanya saya yakin lebih nikmat juga.

Mengolah kepala kambing memang butuh ketelatenan dan pengalaman. Di tangan orang yang salah, mungkin akan menyisakan aroma kambing yang menyengat. 

Tak heran kalau tak banyak tempat lain di Jogja yang menjajakan baceman kepala kambing.

Baceman kambing yang jadi legenda sejak 1967

Sukirman dan Sujinten memulai usaha ini sejak 1967 silam. Sebelum bertempat di bangunan dekat Pasar Colombo ini, Sujinten berdagang dari pasar ke pasar.

Resep yang ia gunakan juga merupakan warisan dari orang tuanya. Sehingga tak salah jika warung ini terbilang legendaris. Resepnya sudah melintasi zaman.

Mengolah kepala kambing memang butuh ketelatenan dan pengalaman. Di tangan orang yang salah, mungkin akan menyisakan aroma kambing yang menyengat. 

Tak heran kalau tak banyak tempat lain di Jogja yang menjajakan baceman kepala kambing.  Tempat ini, bahkan bisa dibilang satu-satunya. 

Kekhasan olahan warung ini membuat beberapa pesohor pernah berkunjung. Salah satunya Bondan Winarno yang lebih dari sekali menikmati baceman kepala semasa hidupnya. Bondan pertama berkunjung pada 2006.

“Dulu datang bersama rombongan lima atau enam orang gitu, saya agak lupa,” katanya.

Beliau bilang maknyuss,” imbuh Sujinten.

Jika berkunjung ke Jogja, baceman kepala kambing legendaris ini bisa jadi salah satu destinasi kuliner yang patut dikunjungi. Di Google Maps, warung ini memang buka sejak jam 09.00 sampai 22.00.

Jogja, urusan kuliner kambing memang punya ragam menu khas. Selain kuliner-kuliner yang khas ini, banyak warung yang menjajakan olahan kambing dari berbagai daerah. Selain memanjakan penikmat kambing setempat, tentu bisa jadi variasi kuliner tujuan para pelancong dari berbagai daerah.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Jogja Gila Kambing: Jejak Rasa Ribuan Ton Daging yang Tak Kalah dengan Surakarta dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.

Exit mobile version