Baceman Kepala Kambing H Sukirman adalah satu warung kuliner yang legendaris di Jogja. Bukan cuma karena usianya yang memang sudah tua dan kenikmatannya, tapi juga disebabkan tak banyak yang mampu mengolah kepala kambing jadi masakan enak.
Kemasyhuran warung ini pun membuat Bondan Winarno semasa hidupnya sempat berkunjung ke sini. Sosok legenda dunia kuliner Indonesia itu memberikan predikat “maknyuss” pada masakan di Baceman Kepala Kambing H Sukirman. Mojok merangkum kisah perjalanan dan kenikmatan racikan warung ini.
***
Kasta terenak dari menu olahan kambing
Kepala Suku Mojok, Puthut EA pernah bilang kalau kepala kambing menduduki kasta tertinggi masakan paling enak untuk dikonsumsi. Bagian itu punya kenikmatan yang paripurna. Secara berurutan, setelah kepala barulah kaki, daging, dan disusul jeroan.
Ia juga memberikan beberapa urutan bagian kepala kambing yang paling lezat untuk disantap. Pertama lidah, otak, cingur (hidung), telinga, lalu mata. Urusan kambing, Puthut EA memang tidak pernah main-main.
“Hidup di Jogja, kalau tidak suka masakan manis itu masih bisa terselamatkan kalau doyan kambing. Jogja, urusan kambing memang surganya,” katanya pada suatu forum santai di Kantor Mojok.
Urusan ini yang kemudian membawa saya berkunjung ke Warung Baceman Kepala Kambing H Sukirman. Letaknya di Jalan Kenanga I No 7, Kentungan, Depok, Sleman. Tak jauh dari Pasar Colombo.
Mas Puthut menugaskan saya untuk berkunjung ke Baceman Kepala Kambing H Sukirman sejak pagi. Untuk melihat langsung proses memasaknya yang katanya khas dan butuh waktu lama. Di Google Maps, warung ini memang buka sejak jam 09.00 sampai 22.00.
Awalnya, saya merasakan keraguan. Saya memang suka menikmati olahan kambing. Tapi jujur, jarang menikmati bagian kepala. Apalagi, menyantapnya untuk sarapan saat perut masih kosong.
Saat tiba di sana, Jumat (16/12) sekitar pukul sembilan lewat beberapa menit, keraguan itu bertambah. Hal itu disebabkan warung ini masih tampak belum siap. Rolling door warungnya saja belum dibuka.
Hanya pintu di sebelah rolling door yang sudah terbuka setengah. Di depan, kepada seorang lelaki yang sedang duduk di teras, saya melempar pertanyaan, “Ini sudah buka belum ya Pak?”
“Oh sudah, monggo Mas masuk saja,” katanya sambil berdiri, lalu membukakan pintu lebar-lebar. Ternyata, mereka baru benar-benar membuka warungnya di sore hari sekitar pukul setengah empat. Sejak jam sembilan, mereka melayani pelanggan, biasanya dari luar kota.
“Memang warungnya ini belum dibuka dari pagi sampai siang. Tapi kalau pelanggan datang, tetap dilayani,” terang sang lelaki sambil mengantar saya masuk ke dalam.
Di dalam, dua orang perempuan langsung menyapa. Mereka berdua yakni Sujinten (77) yang merupakan istri dari Sukirman dan anaknya yang bernama Wahyuni. Keduanya mempersilahkan saya melihat menu yang tersedia.
Ada baceman setiap bagian dari kepala kambing. Mulai dari kepala komplit, lidah, cingur, otak, hingga mata. Selain itu ada juga daging, kikil, hingga jeroan. Harganya mulai dari Rp15 ribu hingga Rp160 ribu per porsi.
“Saya pesan lidah setengah, Bu,” ujar saya. Menu lidah utuh dibanderol seharga Rp65 ribu sedangkan setengah Rp35 ribu.
Wahyuni dengan cekatan langsung pergi ke dapur. Mempersiapkan bumbu-bumbu yang diperlukan untuk membuat sambal. Saya datang sedikit terlambat untuk menyaksikan pengolahan kepala yang sudah dilakukan sejak pagi. Bagian-bagian kepala itu, sudah ditiriskan di sebuah tampah yang tergeletak di samping perapian.
Saat Wahyuni sibuk menyiapkan bumbu, Sujinten menemani saya sambil bercerita bagaimana proses pembuatan masakan di tempatnya. Semua proses tersebut berawal dari pembersihan kepala kambing dari bulu-bulunya.
Dulu saat awal berjualan, proses itu dilakukan Sukirman. Namun, seiring berkembangnya usaha, sang suami kewalahan. Sehingga proses pembersihan dilimpahkan ke tetangga.
“Jadi ada tetangga yang membersihkan kepalanya. Kami langganan di sana,” terang Sujinten.
Proses pengerokan bulu pun tidak dibakar. Proses pembakaran bisa membuat kepala berwarna hitam dan bau asap. Sehingga kepala ini direbus saja sebelum dikerok bersih. Hanya ada sedikit proses pembakaran setelahnya, menggunakan kompor sekadar untuk memastikan tidak ada rambut yang tersisa.
Selepas itu, kepala akan “dibongkar”. Dibagi menjadi beberapa bagian sebelum proses pemasakan. Masaknya pun tidak sembarangan. Apalagi untuk bagian otak yang rentan hancur saat direbus. Sehingga, otak dibungkus pakai daun pisang.
“Untuk merebusnya bisa dua jam kalau pakai kayu bakar. Kalau pakai kompor bisa empat jam karena panasnya lain, kan,” ujar Sujinten. Di usia senja, penjelasannya masih terdengar jelas.
Di perapian, racikan untuk bumbu sambal tampak masih dalam proses perebusan. Buih-buih air kecoklatan yang berpadu dengan daun jeruk, serai, dan ubo rampe lain. Sebelum nantinya ditambahkan biji-biji cabai untuk menambah sensasi pedas.
Resep warisan keluarga yang berawal dari pasar
Mata Sujinten memandang ke sudut-sudut ruang. Foto-foto yang tampak sudah usang terpampang di dinding. Biasanya, foto-foto ini jadi penanda legendarisnya suatu tempat makan. Usaha ini, buat Sujinten, jadi jalan menghidupi keluarga yang telah menemaninya sejak 1967 silam.
Sebelum bertempat di Pasar Colombo ini, dahulu Sujinten berjualan dari pasar ke pasar. Ia bercerita kalau mengolah dan menjual racikan kepala kambing sudah diturunkan dari orang tuanya. Dulu, orang tuanya berjualan di Pasar Demangan.
Resep yang ia gunakan juga merupakan warisan dari orang tuanya. Sehingga tak salah jika warung ini dibilang legendaris. Resepnya sudah melintasi zaman.
“Kalau saya mulai berjualan 1967. Awalnya di Pasar Terban,” katanya.
Sambil tersenyum, ia mengenang kalau dulu harus berangkat jalan kaki ke pasar untuk berjualan. Pulangnya, terkadang dijemput sang suami jika ia sudah selesai membeli kambing untuk dimasak keesokan hari. Namun, jika belum, Sujinten akan berjalan kembali.
Saat Pasar Terban dirombak, Sujinten pun berpindah tempat. Sempat berjualan di Pasar Setup, lalu Pasar Gentan, sebelum akhirnya menetap di Pasar Colombo yang ditempatinya sampai sekarang.
Sampai akhirnya jualan di lapak sendiri, Sujinten dan Sukirman hanya berjualan berdua. Tak pernah dibantu karyawan. Ketika kelima anaknya mulai dewasa, barulah mereka mendapat tambahan tenaga untuk mengelola warungnya.
Kini, Sukirman telah tiada. Sosok yang diabadikan di nama warung ini tutup usia pada 2019 lalu. Sehingga Sujinten kini dibantu anak-anaknya untuk menjalankan usaha.
“Siapa saja yang di rumah bantu. Ya, Wahyuni ini yang sering,” katanya. Hal itu juga yang membuat Sujinten dan Sukirman sejak dulu enggan buka cabang.
Baca halaman selanjutnya
Baceman kepala yang jadi primadona
Baceman kepala yang jadi primadona
Belakangan, menurut Sujinten, warung ini memang tidak seramai dahulu. Dulu sehari rata-rata menghabiskan 25-30 potong kepala. Saat ramai bahkan bisa mencapai 40 potong.
Pelanggannya datang dari beragam kalangan. Mulai dari orang tua hingga yang muda-muda. Banyak di antara pelanggan lama, yang sering menikmati baceman kepala saat muda, lalu kembali lagi setelah lama meninggalkan Jogja.
“Sering ada yang datang dari Jakarta atau daerah lain, biasanya dulu mereka pelanggan sini, kalau sedang di Jogja ya mampir lagi,” ucapnya.
Momen paling ramai biasanya memang saat awal bulan. Di dekat tempat ini ada markas Batalyon Infanteri Mekanis 403. Sehingga biasanya, saat jadwal gajian, para anggota TNI ini berbondong-bondong menikmati baceman kepala kambing.
“Dulu Bondan Winarno juga pernah ke sini,” celetuknya.
Sujinten lalu tertawa melihat saya yang tiba-tiba antusias dan minta diceritakan saat almarhum Bondan Winarno datang. Sosok legendaris di dunia kuliner Indonesia itu pertama berkunjung pada 2006.
“Dulu datang bersama rombongan lima atau enam orang gitu, saya agak lupa,” katanya.
Setelahnya, Bondan sempat datang kembali. Merindukan masakan di sini. Sujinten mengaku lupa dengan perbincangan yang terjadi di antara mereka. Tapi ia ingat satu kata yang Bondan katakan, “Beliau bilang maknyuss,” ujar Sujinten.
Di tengah perbincangan kami, Wahyuni tiba-tiba menghampiri dan bertanya, “Mau pedas banget atau sedang saja?”
Aslinya, saya penikmat makanan pedas. Tapi berhubung masih pagi dan perut kosong, kali ini saya minta yang sedang saja.
Tak berselang lama, pesanan pun datang. Saya lumat perlahan. Ternyata, makan lidah kambing untuk sarapan tidak semenakutkan yang saya bayangkan sebelumnya. Sambalnya memang terasa manis. Terasa lebih sempurna kalau minta dibuat lebih pedas.
Saya mengacungkan jempol ke Sujinten di belakang setelah seporsi lidah hampir tandas.
“Enak, Bu.”
“Sudah dibilang, kalau doyan, kepala kambing itu enak dimakan kapan saja, termasuk sarapan,” jawabnya tertawa.
Mengolah kepala kambing memang butuh ketelatenan dan pengalaman. Di tangan orang yang salah, mungkin akan menyisakan aroma kambing yang menyengat.
Tak heran kalau tak banyak tempat lain di Jogja yang menjajakan baceman kepala kambing. Tempat ini, bahkan bisa dibilang satu-satunya. Sehingga rasanya, perlu lah, kalian mampir sesekali. Sayang rasanya hidup tanpa mencicipi kepala kambing ini.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono