Mengintip Strategi Warteg Bahari yang Ingin Mewartegkan Jogja, Saingi Padang Murah dan Warmindo

Ilustrasi Warteg yang Menginvasi Jogja, Mengintip Strategi Menyaingi Padang Murah dan Warmindo. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Warung tegal (warteg) bukan hal populer di Jogja. Tapi enam bulan belakangan, kehadiran sebuah jenama waralaba bernama Warteg Kharisma Bahari muncul secara masif. Dalam waktu singkat sudah membuka 20 cabang warteg. Targetnya setiap jarak 500 meter, orang akan menemukan warteg ini di Jogja.

Mojok berbincang dengan pengelola dan manajemen untuk mengetahui strategi mereka menghidupkan kultur warung kebanggaan warga Tegal ini di Jogja. Mampukah mereka bertahan di tengah dominasi warmindo dan kuliner yang disebut murah lainnya?

***

Enam bulan terakhir saya mengamati ada satu dua warteg di bawah naungan jenama waralaba Warteg Kharisma Bahari (WKB) bermunculan di Jogja. Tiga bulan terakhir, warung yang biasa disebut warteg bahari ini jumlahnya semakin bertambah pesat.

Di sekitar Depok, Sleman, saya menjumpai sudah ada tiga warteg berdekatan. Ada di seberang gedung FE UII, utara Terminal Condongcatur, dan Kledokan, Babarsari. Setidaknya ada tiga itu yang saya amati belakangan.

Saya belum pernah menjajal makanan di WKB. Sampai pada awal Maret 2023 ini, seorang teman mengajak saya untuk makan siang di WKB Cabang Utara Terminal Condongcatur.

“Lauknya banyak dan bersih tempatnya, enak,” katanya saat menawarkan.

Menyambangi warteg bahari yang mulai menginvasi 

Saat menyambangi warung itu, kesan pertama memang bersih. Di luar, cat warung ini berwarna oranye menyala dengan stiker “Warteg Kharisma Bahari Premier” tertempel di dinding kaca. Tembok bagian dalam tersusun dari keramik putih yang kinclong. Siang hari di sana, lampu neon juga menyala, membuat warung berukuran sekitar empat kali lima meter ini jauh dari kesan suram.

Warteg Kharisma Bahari di utara Terminal Condongcatur. MOJOK.CO
Warteg Kharisma Bahari Premier di utara Terminal Condongcatur. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Deretan menu terlihat menggugah selera tertata di etalase kaca. Salah satu ciri khas warteg, penataan menu berada di etalase rendah dua tingkat yang dikelilingi dengan tempat duduk memanjang.

Ada lebih dari tiga puluh pilihan menu berupa sayur dan lauk yang tersedia. Seperti namanya yang bernuansa pesisir, ada banyak pilihan menu olahan hasil laut. Mulai dari kerang, cumi, hingga beberapa ikan.

Saat sang pengelola menyapa dan menanyakan pesanan, logat ngapak pesisir utara Jawa Tengah juga terdengar jelas. Endang, seorang penjaga warteg itu berujar kalau dia memang berasal dari Brebes.

“Kalau warteg sekarang memang pengelolanya dari Tegal dan Brebes. Kalau dulu sih, memang Tegal kebanyakan,” kata Endang.

Secara umum, warung ini tak terlalu luas. Ada dua tempat duduk panjang mengitari etalase menu. Selain itu ada tiga meja tambahan. 

Saat itu saya memesan nasi dengan satu jenis sayur ditambah lauk empat butir telur puyuh. Saya kemudian menambahkan dua tempe goreng tepung. Total biaya yang harus saya bayar Rp14 ribu. Salah satu yang istimewa di warung ini adalah es tehnya gratis!

Beberapa waktu berselang, saya berkunjung kembali untuk sarapan. Tampak sejak pagi, sirkulasi warung ini sudah cukup ramai. Selalu ada orang yang membeli untuk makan di tempat maupun bungkus. Endang yang kembali saya temui juga mengutarakan kalau omzet dari warung yang baru buka sejak Februari ini lumayan.

“Lumayan ini baru sebulan. Saya rencana juga mau buka sendiri,” kata Endang. 

Di warung ini, Endang ikut membantu saudaranya. Mereka berlaku sebagai pengelola warung yang terafiliasi ke manajemen WKB. Pengelola mendapat bagi hasil 50:50 dengan investor yang sebelumnya telah membayar biaya waralaba ke manajemen.

Sejarah warteg di Jogja, sudah lama tapi tidak berkembang pesat

Warteg sebenarnya bukan barang baru di Jogja. Sudah ada beberapa warteg milik orang asli Tegal yang muncul di Jogja pada akhir 1990-an. Namun, jumlahnya tidak berkembang banyak. Sehingga, kultur makan di warung ini kurang banyak dikenal.

Muhammad Cholid (41) adalah salah satu pengelola warteg tertua di Jogja. Orang tuanya hijrah ke Jogja untuk berjualan makanan pada akhir 1990-an. Sebelumnya mereka membuka usaha serupa di Jabodetabek.

“Dulu orang tua saya jualan warteg di Bekasi. Letaknya di dekat pabrik sepatu,” terang Cholid saat saya wawancarai beberapa waktu lalu.

Namun, akibat gelombang PHK pada krisis moneter 1998, orang tuanya ingin mencoba peruntungan di Jogja. Ia mengaku, dulu orang tuanya melakukan riset kecil-kecilan dan menemukan bahwa di Jogja belum ada warteg yang dikelola komunitas dari Tegal.

Etalase warteg yang dikelilingi tempat duduk. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Salah satu konsekuensi saat hijrah ke Jogja menurutnya adalah menekan harga jual. Berbeda dengan di Bekasi dan Jakarta, di Jogja pangsa pasar utama mereka adalah pelajar dan mahasiswa.

“Bekal untuk di Jogja, kami belajar dari melayani buruh pabrik. Mereka kan perlu harga terjangkau juga, porsi makannya cepat,” jelasnya.

Cholid menuturkan kalau di Jakarta, warteg punya kesan kuliner murah. Namun, kesan itu berubah saat ia berkunjung ke Jogja. Di wilayah ini, ia menemukan banyak kuliner yang memang tampil dengan branding makanan murah dan terjangkau.

“Harga banting-bantingannya luar biasa di Jogja. Warteg agak terasa mahal juga karena pasarnya kebanyakan anak sekolah,” terangnya. 

“Belum lagi warteg yang franchise, pasti harganya ada selisih (lebih mahal). Mereka kan punya perhitungan tersendiri,” terangnya.

Cholid sempat membuka beberapa cabang di Jogja. Namun, cabang-cabang itu tutup. Akhirnya ia saat ini hanya fokus mengelola satu cabang di Glagahsari. Cabang pertama yang sudah lebih dari 20 tahun ada di Jogja.

Alasan warteg ingin menginvasi pasar Jogja

Setelah lebih dari dua dekade tidak banyak bertebaran, kini warteg di bawah naungan waralaba besar mulai menjamur di Jogja. WKB pertama buka di Jogja sekitar November 2022 di depan gedung FE UII Condongcatur.

Dalam kurun waktu kurang dari enam bulan, jumlahnya kini sudah mencapai 20 cabang. Marketing WKB di Jogja, David, menurutkan kalau jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan minat investor yang begitu besar.

Jenama WKB sendiri sudah lama punya nama besar di kawasan Jabodetabek. WKB dirintis oleh orang asal Tegal bernama Sayudi di Jakarta Selatan pada 1996. Saat itu namanya masih Warteg MM (Modal Mertua).

Berawal dari sebuah bangunan semipermanen, WKB berkembang jadi jenama warteg paling populer. Ia kemudian menggunakan sistem waralaba sehingga cabangnya berkembang pesat.

“Kalau di Jakarta, kayanya hampir setiap 300 meter ada warteg. Kalau WKB sendiri sekarang sudah ada sekitar 1.500 cabang,” kata David yang saya temui pada Kamis (16/3).

David percaya bahwa Jogja punya potensi pasar yang besar. Seperti kota-kota besar lain, Jogja baginya merupakan tempat berkumpulnya pendatang dari berbagai daerah. Mereka selalu membutuhkan variasi menu makan yang beragam dan warteg menawarkan itu.

Warteg Kharisma Bahari di Gejayan. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

“Pekerja, pelajar, dan mahasiswa pasti kan makan nggak melulu di warmindo dan padang murah terus kan. Di warteg menu apa aja ada. Mulai dari urab sampai pepesan ada semua,” terang lelaki kelahiran Tegal ini.

Selain potensi pasar yang besar, David mengatakan bahwa gairah warteg di Jabodetabek mulai di titik jenuh. Perkembangan omzet ia rasa tidak mengalami kenaikan yang signifikan sehingga perlu membuka pasar baru.

Strategi bersaing dengan warmindo hingga padang murah

“Kalau ngomong makanan di Jogja memang identik dengan dua hal. Harga terjangkau dan cita rasa yang agak manis,” kata David.

David punya beberapa strategi untuk lebih diterima pasar Jogja. Ia menekankan bahwa kekuatan warteg terletak di varian menu yang beragam. Membuat pelanggan tidak bosan untuk datang kembali dan mencicipi ragam masakan yang ada.

“Memang agak beda misal dengan warmindo yang punya keunggulan untuk tempat nongkrong juga. Kami fokus di tempat makan,” ujarnya.

Sebelumnya, terdapat cuitan dari akun @nktshi yang merespons masifnya keberadaan WKB di Jogja. Beragam tanggapan bermunculan. Salah satu komentar warganet berujar, “Tim makan di warteg dan nongkrong di warmindo.” Hal itu sesuai dengan pandangan David yang ingin membuat warteg sebagai pilihan makan terdekat.

Selain itu, ia menggarap program gratis es teh untuk setiap pelanggan yang makan di tempat. Hal ini jadi daya tarik dan nilai tawar lebih dari WKB untuk menggaet pelanggan. Ada pula program Jumat Berkah yang membuat pelanggan bisa makan apa saja seharga Rp12 ribu pada jam 12.00-14.00 di hari itu.

Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan investor maupun pengelola agar bisa menerapkan ini. Baginya, memang ada sedikit keuntungan yang harus terbuang tapi itu demi menarik pelanggan lebih banyak.

“Sebenarnya kalau kita lihat, harga kami bersaing kok dengan warung sejenis,” tegasnya.

Sistem waralaba WKB

Kecepatan WKB melebarkan sayapnya tak lepas dari sistem waralaba yang ia terapkan. Ia mengaku masih banyak investor yang ingin menanam modal untuk cabang di Jogja. Namun, ia masih memperhatikan betul pemilihan setiap lokasi.

David sebagai perpanjangan tangan dari manajemen WKB akan menerima investor yang hendak membuka cabang. Menurutnya untuk Jogja, harga waralaba berkisar antara 180-220 juta per outlet. Sudah mencakup semua hal mulai dari renovasi ruko sampai dengan modal awal.

Setelah operasional warung berjalan, maka mekanisme bagi hasil terjadi antara investor dan pengelola dengan porsi 50:50. Pengelola sendiri merupakan SDM rekrutan manajemen yang merupakan orang Tegal dan Brebes.

“Kalau investor bebas dari mana saja tapi untuk pengelola kami khususkan dari dua daerah itu. Mereka sudah paham pengelolaan warteg dan paham kulturnya,” kata David.

Beberapa menu yang baru selesai dimasak di warteg. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

David mengakui kalau harga waralaba memang terkesan mahal. Namun, menurutnya ini merupakan nilai sepadan lantaran sistem waralaba putus. Manajemen tidak mendapat bagi hasil atau komisi apa pun setelah operasional berjalan.

“Tapi harganya bisa bervariasi tergantung lokasi outlet dan keinginan investor untuk model warteg-nya seperti apa. Ada yang minta pakai ac, tentu itu akan lebih mahal,” terangnya.

Di Jogja setidaknya ada dua jenis WKB yakni biasa dan premier. David menjadi marketing WKB kategori biasa yang punya ciri cat hijau. Sedangkan ada marketing lain yang mengurus WKB kategori premier yang bercorak oranye.

“Sebenarnya sama saja. Cuma agar ada ciri khas sendiri,” terangnya.

Siap-siap semakin banyak warteg membanjiri Jogja

Saat ini, ia mengaku masih mengatur agar jarak antara satu outlet dengan yang lain ada di radius satu kilometer. Namun nantinya, ia memprediksi akan memperpendek radius tersebut menjadi sekitar 500 meter.

“Nanti kalau sudah semakin banyak akan sedikit kami dekatkan radiusnya,” ujarnya.

Hal ini lantaran ia memprediksi akan semakin banyak warteg bermunculan di Jogja. Untuk WKB, tak ada target khusus akan mengejar jumlah outlet tertentu. David mengaku semampunya selama potensinya masih bagus.

“Tapi ini nanti akan ada banyak brand warteg lain dari Jabodetabek yang masuk kalau sudah menyadari potensi pasar Jogja,” paparnya.

Bukan hal yang muskil, beberapa waktu ke depan akan semakin banyak logat-logat ngapak terdengar di sudut-sudut jalan Jogja. Tentu kita perlu melihat seberapa jauh warung ini mendapat penerimaan pasar.

Di sisi lain, WKB juga sedang persiapan untuk membuka sejumlah outletnya di Solo dan Semarang. Warteg akan mewarnai Joglosemar.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Warteg Pertama di Jogja Merekam Kebiasaan Makan Mahasiswa dan reportase menarik lainnya di Liputan.

 

Exit mobile version