Orang-orang seringkali menyebut martabak jika mendengar kata Bangka, mungkin karena makanan tersebut sudah identik dan melanglang buana ke berbagai daerah di Indonesia. Namun, belum banyak yang tahu bahwa selain hok lo pan (nama lain dari martabak), ternyata ada lempah kuning yang menjadi kuliner khas Pulau Bangka yang tak kalah enak.
***
Makanan sebagai kebutuhan primer jelas menjadi hal penting dalam keseharian hidup tiap seseorang. Sejatinya, setiap masakan atau kudapan mampu memberikan history tersendiri untuk yang menyantapnya. Selain sebagai asupan tenaga, makanan pun mampu merangkai cerita, itulah mengapa jika ada seseorang yang sedang bersedih, kadang makanan lah yang menjadi cara tercepat untuk menghibur diri. Begitupun jika sedang bahagia, makanan turut ambil bagian dalam sebuah perayaan.
“Jika dilihat dari kebiasaan masyarakat Bangka yang cenderung menggunakan ikan sebagai bahan utama, maka lempah kuning merupakan cerminan dari adaptasi terhadap lingkungan Bangka yang secara geografis adalah wilayah pesisir yang kaya dengan sumber daya alam hasil laut. Cerminan adaptasi ini disebut juga sebagai pola makan atau food pattern yang menjadi kebiasaan memilih dan mengkonsumsi makanan yang dipengaruhi oleh unsur sosial budaya setempat,” kata Dr. Fitri Harahap, seorang Sosiolog di Universitas Bangka Belitung.
Sebagai kuliner autentik
Lempah kuning merupakan salah satu hidangan rakyat yang tak mengenal strata sosial. Bisa dilihat setiap hari di Pasar Mambo, Kota Pangkalpinang kita dapat menjumpai berbagai kalangan mulai dari pejabat, pengusaha, pekerja lepas, sampai pengangguran yang memilih menu ini sebagai menu santap siangnya. Tak hanya itu, kuliner ini juga populer sebagai pelengkap sajian dalam berbagai macam acara-acara tertentu di wilayah Bangka-Belitung.
Untuk di wilayah Belitung sendiri, istilah lempah kuning itu akrab disebut dengan nama ‘gangan’. Gangan terbagi menjadi dua jenis, ada lempah kuning darat dan lempah kuning laut. Perbedaannya di jenis bahan utama, lempah kuning darat itu menggunakan daging sapi atau ayam, sedangkan lempah kuning laut menggunakan ikan sebagai bahan utamanya.
“Makna sosial yang dihadirkan oleh lempah kuning terlihat dari bagaimana kesederhanaan, keterbukaan dan kehangatan sebagai bentuk ikatan sosial dengan menjadikan lempah kuning sebagai menu utama baik sehari-hari maupun saat momen khusus. Sebagai contoh, ini dapat dilihat dari bagaimana masyarakat Bangka menyambut tamu dan menjamu makan bersama dengan menu lempah kuning,” tutur Dr. Fitri Harahap kembali.
Seorang chef Renatta pun pernah mengomentari sekaligus memuji kelezatan lempah kuning, saat itu Faiz N Habibie salah satu finalis acara Masterchef Indonesia, Season 7 membuat menu tersebut yang mana mengundang tanggapan para juri. Dengan racikan beragam bumbu rempah yang menimbulkan rasa asam pedas, makanan ini bisa dikategorikan kuliner yang cocok dengan lidah orang Indonesia pada umumnya.
Warung-warung atau rumah makan lempah kuning banyak ditemukan di Bangka atau Belitung, beragam konsep mulai dari warung kecil sederhana sampai rumah makan yang bisa dikatakan middle class bisa menjadi pilihan.
Di Kota Pangkalpinang, mencari tempat makan atau kuliner lempah kuning itu tidak sulit. Untuk beberapa warung yang sudah beradaptasi dengan teknologi modern, kita bisa dengan mudah menemukan menu tersebut di berbagai platform digital dengan berselancar di internet melalui kolom pencarian media sosial. Bisa juga dengan cara lain seperti mengelilingi sudut-sudut kota.
Warisan turun temurun
Di bawah kendur matahari yang mulai mendung, siang itu saya mengunjungi warung Lempah Kuning Mambo (LKM), yang cukup terkenal di Jl. M.H.Muhidin, Kota Pangkalpinang. Pemilik warung, Hayati (52) bercerita tentang bagaimana dia membangun bisnis kuliner tersebut. Dengan menu khas ikan Hoyle, Hayati mematok harga 25 ribu rupiah, untuk satu porsi menu di warungnya.
“Warung ini berdiri dua belas tahun lalu, tepatnya tahun 2010. Setelah saya beralih profesi dari guru TK dan memutuskan untuk berjualan lempah kuning bersama suami saya. Tapi kalau warung milik bapak sudah ada dari dulu. Sekitar tahun 1982, saat saya masih sekolah, lokasinya di Pasar Besak,” ucap Hayati.
Sebelum membuka warung di Pasar Mambo, suami Hayati bekerja di Lempah Kuning H. Nasrudin, milik ayahnya yang berdiri sejak tahun 1982. Lokasinya berada di terminal pusat kota, sekarang lebih akrab dikenal dengan pasar besak samping Ramayana dengan nama Lempah Kuning Iwan.
Kini, warung H. Nasrudin itu diteruskan oleh kakak pertama dari Hayati. Mereka menganggap, profesi ini bisa dikatakan sebagai warisan yang diturunkan secara turun-temurun dari keluarga. Maka tak heran, jika warung mereka bisa survive sampai puluhan tahun.
“Cari pelanggan itu gak mudah, harus tekun dan sabar kuncinya. Warung kami saja bisa sampai enam tahun baru punya pelanggan. Jadi kalau mau jual lempah kuning itu jangan hanya modal bisa masak saja,” kata Hayati lagi.
Selain Hayati, saya menemui salah satu penjual lainnya. Fadil (25) salah satu pemilik Dilempah OMB, yang terletak di Jl. Stania, Kota Pangkalpinang. Warung satu ini menawarkan warung lempah dengan konsep tempat cukup kekinian yang berada di samping coffee-shop.
“Sejak kecil, saya senang bantu ibu masak lempah kuning. Ternyata hobi itu terbawa sampai sekarang. Awalnya sih sering masak di rumah untuk teman-teman, dan ternyata mereka suka. Ya, kenapa gak sekalian saja saya berani jualan, belajar pun otodidak berdasarkan resep keluarga,” ujar Fadil memberikan alasan mengapa ia memilih jualan makanan khas Pulau Bangka ini.
“Di dalam lempah kuning juga terdapat kandungan obat-obatan, selain memang pengaruh dari bumbu rempah-rempah. Bisa juga jadi obat perut biar kenyang, hahaha,” kelakarnya.
Punya manfaat kesehatan
Ternyata kelakar Fadil itu bukan hanya sebatas guyonan semata, masyarakat pun mengamini bahwa lempah kuning bisa jadi salah satu penangkal penyakit seperti kanker. Dengan kondisi wilayah yang mempunyai kandungan mineral cukup tinggi, ada kemungkinan penyakit kanker ini dampak dari paparan radioaktif alamiah.
Dengan kondisi tersebut, mengkonsumsi lempah kuning bisa jadi pilihan alternatif sebagai salah satu cara mencegah penyakit kanker. Alasannya, rempah-rempah yang digunakan dalam masakan ini didominasi tanaman dari famili Zingiberaceae (jenis jahe-jahean) seperti lengkuas, kunyit dan sebagainya.
Tak sedikit penelitian dan artikel menyebutkan bahwa efek anti-kanker terdapat pada rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu lempah kuning seperti lada, lengkuas, asam kandis, nanas, dan kemiri.
Dikutip dari Mongabay.co.id yang ditulis oleh Nopri Ismi, ada salah satu peneliti etnobiologi dari Universitas Bangka Belitung, Henri M.Si, mengatakan bahwa “Jenis Zingiberaceae, seperti kunyit yang porsinya cukup besar, memang mengandung kurkumin sebagai senyawa aktif, yang terbukti dapat menghambat atau bahkan membunuh pertumbuhan sel kanker. Namun, secara perlahan.”
Bagian dari warisan budaya
Apabila kita tarik ke belakang, jika dilihat dari sudut pandang masyarakat adat, maka Suku Lom/Mapur (salah satu Suku Melayu tertua) juga ternyata memiliki resep memasak hidangan lempah kuning, hal tersebut menandakan bahwa hidangan ini telah dikonsumsi masyarakat Bangka semenjak ratusan tahun lalu yang bisa menunjukan adanya keharmonisan hubungan antara manusia dan alam.
Lempah kuning juga merupakan salah satu bentuk warisan budaya masyarakat Bangka sebagai menu turun menurun yang didapatkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan ditetapkannya kuliner ini sebagai warisan budaya tak benda Indonesia yang berasal dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2010.
“Penetapan ini menjadi penguat bahwa lempah kuning menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Bangka Belitung yang harus dijaga dan dilestarikan. Dengan demikian maka lempah kuning memiliki kekhasan yang menjadi penciri bagi masyarakat Bangka secara sosial dan budaya, juga memiliki ciri wilayah pesisir yang khas dan kaya,” kata Dr. Fitri Harahap.
Menurut Akhmad Elvian, salah satu budayawan Bangka Belitung, lempah kuning telah menjadi makanan akulturasi budaya orang darat dan orang laut pribumi di sini. “Dalam kebudayaan masyarakat Bangka Belitung, ada istilah yang dikenal dengan “orang laut” seperti Suku Laut Sekak atau Sawang yang tinggal di pesisir atau pulau-pulau kecil dan “orang darat” yang didominasi oleh etnis Melayu,” jelasnya.
Bisa dilihat dari bahan baku utamanya yakni berupa ikan laut, dimasak bersamaan dengan beragam rempah yang digunakan sebagai bumbu lempah kuning seperti lengkuas, jahe, lada, kemiri, cabai, asam kandis, nanas, dan kunyit yang menghasilkan kuah berwarna kuning. “Warna kuning bisa diartikan sebagai simbol kekayaan, kebahagiaan, dan kejayaan.” katanya dengan tegas.
Reporter: Rofi Jaelani
Editor: Agung Purwandono