Kupat Tahu Pak Budi, Resep yang Sama Sejak 1957

Kupat tahu kidul SGM.

Kupat Tahu Pak Budi Yogyakarta

Kupat Tahu Pak Budi

Pak Budi mengubah resep kupat tahu khas Magelang dari kuah bumbu kacang menjadi kecap dan gula jawa. Selama 65 tahun kemudian, resep itu masih bertahan dan tetap membuat orang rela antre menikmatinya.

***

Hujan di Bulan Juni membuat saya berkali-kali menghindari bepergian. Pasalnya, tiga hari kemarin hujan datang berturut-turut sedari pagi dan baru berakhir ketika malam tiba. Seperti hari ini, Selasa 7 Juni 2022, sinar matahari pagi menghilang begitu saja tertutup mendung. Padahal motor sudah saya keluarkan dari garasi. Niatnya, saya ingin makan pagi sekaligus menulis salah satu warung kupat tahu legendaris di Yogyakarta. 

Sudah kepalang tanggung, saya terlanjur bersolek. Daripada membuang make up percuma, saya memilih segera melajukan kendaraan secepat mungkin dari Godean ke arah Kota Yogya. Dua puluh menit kemudian, ketika langit meneteskan rintik air hujan, saya sudah tiba di warung makan itu. Warung Makan Kupat Tahu Pak Budi. 

Lokasinya di Jalan Veteran, Muja-Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta atau tepat di ujung lampu merah selatan Pabrik Sarihusada Generasi Mahardika (SGM).

Kok gasik Mbak? Selak neng kantor po?,” tanya seorang pekerja Kupat Tahu Pak Budi yang masih menata cobek. Saya lihat jam, masih pukul 07.30. Saya yang ditanya pun hanya mesam-mesem lantaran menjadi orang paling kesusu hanya perkara langit mendung dan gerimis yang datang.

Usut punya usut, para pekerja Kupat Tahu Pak Budi rupanya tinggal di belakang warung makan ini. Mereka diberikan fasilitas berupa kos yang sudah disediakan oleh pemilik Kupat Tahu Pak Budi. Setiap pukul 06.00 WIB, enam orang pekerja itu akan berjalan kaki untuk mulai menata tempat, alat memasak, dan menggoreng tahu seperti yang dilakukan sekarang ini.

“Asalnya jauh-jauh Mbak, ada sek dari Klaten, Gunung Kidul, Magelang, dan Purworejo,” ujarnya sembari mempersilahkan saya duduk dan menunggu sampai Kupat Tahu Pak Budi siap melayani pembeli.

Cerita awal mula Kupat Tahu Pak Budi

Saya memilih menunggu di kursi kayu panjang sembari mengamati interior di warung makan ini. Warungnya didominasi warna hijau kukus, mulai dari sekat kayu untuk memasak, tiang-tiang penyangga warung, meja, dan kursi. Tak menunggu lama, pembeli lain mulai berdatangan dan mengantre di Kupat Tahu Pak Budi. Ketika jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 08.00 WIB, para pembeli mulai dilayani. Beberapa memilih pesan untuk dibawa pulang, sedangkan sisanya dinikmati di warung ini.

Menu Kupat Tahu Pak Budi. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Saya pun memesan satu kupat tahu spesial dan satu kupat tahu biasa lengkap dengan cabai rawit. Untuk minumnya saya memilih es kelapa muda dan teh hangat. Keempat menu yang rencananya akan saya habiskan seorang diri.

Butuh waktu 5 menit, agar semua menu yang saya pesan dapat tersaji di meja. Rupanya, perbedaan kupat tahu spesial dengan kupat tahu biasa hanya terletak pada tambahan bakwan dan telur ceplok saja. Namun, dari dilihat dari penataan makanan, piring putih yang berisi kupat tahu spesial tampak lebih penuh. Meski demikian, keduanya tetap menggugah selera.

Kupat Tahu Pak Budi ini memiliki isian kupat, tahu, tempe bacem, bawang goreng, daun jeruk, seledri, kobis, kecambah, dan cabai rawit lalu dituang kuah berwarna cokelat keemasan. Pada suapan pertama, lidah saya langsung disambut oleh rasa manis dengan sedikit aksen gurih yang diduga berasal dari perpaduan kecap dan gula jawa pada kuah. 

Sedangkan pada suapan kedua, saya bisa merasakan kesegaran daun jeruk dan sayuran. Rasa ini semakin berpadu ketika ditambahkan cabai rawit dengan cita rasa pedas dan tentunya membuat siapa saja yang memakannya, gobyos.

Tanpa terasa, suapan demi suapan saya lalui. Ketagihan, dua piring kupat tahu itu ludes tak bersisa. Pun dengan es kelapa muda dan teh hangat yang menyisakan gelas saja.

Menu Kupat tahu spesial. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Setelah perut terasa kenyang, saya melanjutkan misi untuk mencari tahu perjalanan Kupat Tahu Pak Budi. Mata saya menangkap seorang Ibu paruh baya yang duduk di balik meja kasir. Beliau dalam balutan pakaian lengan panjang berwarna hitam dan kerudung krem. 

Senyum tetap tercetak di bibirnya, meskipun ia sibuk melayani banyak pembeli yang mengantre untuk membayar. Sesekali tangannya menekan angka di kalkulator yang terletak di meja. Kemudian mulai menghitung kembalian yang akan diberikan pada pembeli.

 

Saya mendekat sekaligus membayar menu yang saya pesan. Beliau adalah Bu Wasini (63), penerus Kupat Tahu Pak Budi. Saya bertanya tentang bagaimana perjalanan warung yang dikelolanya sekarang. “Akan saya ceritakan seperti yang saya pernah dengar ya Mbak,” ungkapnya.

Bu Wasini lahir dan besar di Wonogiri, ketika merantau ke Yogyakarta, ia menikah dan dikaruniai 2 anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Pada tahun 2007, ia harus kehilangan suaminya. Di tengah kesendiriannya, saat menginjak usia 53 tahun, ia dijodohkan oleh polisi, seorang langganan Kupat Tahu Pak Budi, dengan pemiliknya.

“Namanya Pak Budi. Usianya sudah 75 tahun. Di keluarganya, Pak Budi merupakan anak tunggal. Ayah dan Ibunya sudah meninggal dunia. Pun istrinya yang juga meninggal tahun 2000 karena sakit. Pak Budi dan istrinya tidak dikaruniai anak,” cerita Bu Wasini.

Di usia tua, keduanya sama-sama membutuhkan teman untuk bercerita. Setelah melewati tahap penjajakan, Pak Budi akhirnya melamar Bu Wasini. Meskipun harus mempersiapkan pernikahan seorang diri karena Pak Budi sedang naik haji, keduanya menikah tahun 2013.

Mata Bu Wasini menerawang, berusaha mengingat perjalanan Kupat Tahu Pak Budi agar tetap sama seperti yang pernah diceritakan oleh suaminya.

“Kupat Tahu Pak Budi ini dimulai sejak Pak Budi umur 20 tahun. Saat itu, Pak Budi sudah menikah. Tapi, warungnya belum sebesar ini. Masih berupa angkringan dengan tenda. Letaknya di trotoar seberang jalan,” ucap Bu Wasini sembari tangannya menunjukkan perkiraan letak warung di tahun 1957. Sepengetahuannya, harga satu porsi kupat tahu masih 600 perak. Ramai pembeli menjadi modal awal Pak Budi untuk membeli los di ujung jalan yang digunakan sampai saat ini.

“Yang saya tahu, setelah kami menikah, harga satu porsi kupat tahu sudah Rp8 ribu,” ungkapnya.

Wasiat Pak Budi sebelum meninggal

Kupat tahu, makanan khas Magelang, Jawa Tengah, kemudian oleh Pak Budi diadopsi dengan cita rasa khas Yogyakarta. “Setahu saya, dulu Pak Budi yang meracik dan mencari resep sendiri. Kuahnya tidak dengan kacang tanah seperti biasa, melainkan dengan kecap dan gula jawa,” ungkap Bu Wasini.

Bu Wasini (63), penerus Kupat Tahu Pak Budi. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Pun setelah menikah, Bu Wasini masih sering melihat Pak Budi meracik kupat tahu dengan dibantu para pekerjanya. “Pak Budi itu sudah sepuh, tapi masih senang membuat kupat tahu dan melayani pembeli,” ujarnya. Sementara itu, Bu Wasini memilih di belakang meja kasir dan menerima uang dari para pembeli.

Tujuh tahun kehidupan yang harmonis. Berjualan kupat tahu bersama menjadi kebiasaan yang dilakukan sehari-hari oleh Bu Warsini dan Pak Budi. Hingga pada tahun 2019, semuanya berubah begitu saja.

“Saat itu, saya ndilalah masih di rumah, di Pandeyan, Umbulharjo. Pak Budi pamit mau pergi duluan ke warung. Lha, kok saya malah ditelepon dapat kabar kalau beliau tabrakan di Jalan Babaran,” ungkap Bu Wasini dengan mata berkaca-kaca. Kabar kecelakaan itu diperburuk dengan berita duka bahwa Pak Budi meninggal dunia.

Satu hal yang disyukuri oleh Bu Wasini, karena Pak Budi sudah mempersiapkan semuanya sebelum meninggal dunia. Bu Wasini bahkan sudah diberikan resep dan diajarkan untuk membuat kupat tahu. Berulang kali pula Bu Wasini menerima pesan bahwa ia tak boleh membuka cabang. “Nggak usah ngoyo, nanti repot, kalau tidak ada yang mengurus semuanya juga sia-sia,” ucap Bu Wasini menirukan pesan dari Pak Budi.

Tak hanya itu, Pak Budi juga selalu menekankan agar usaha Kupat Tahu Pak Budi ini tidak hilang ditelan zaman. “Jangan pernah dimatikan, ditekuni, tidak boleh berhenti. Dulu, Kupat Tahu Pak Budi ini pernah dibangun dengan susah payah, jatuh bangun. Sekarang sudah jalan, jangan sampai dihentikan karena makan dan rezeki sehari-hari berasal dari usaha ini. Yang penting cukup,” ucap Bu Wasini melanjutkan pesan yang pernah disampaikan Pak Budi.

Bu Wasini memegang amanah Pak Budi. Pasalnya, meski hanya duduk dan menerima uang dari para pembeli, di usianya yang sudah tua, ia tetap merasa lelah. Menurutnya meski raganya tidak bekerja keras, namun otak dan pikirannya tetap jalan. Karena itu, ia tak sekalipun berpikir untuk membuka cabang.

Selain itu, Bu Wasini juga mulai memberikan resep, mengajarkan membuat dan mengelola usaha Kupat Tahu Pak Budi pada kedua anaknya. Harapannya, ketika ia tidak ada nanti, amanah dari Pak Budi untuk terus mempertahankan tetap bisa dijalankan oleh anak-anaknya.

Bu Wasini berhenti untuk mengambil nafas sejenak. “Saya itu, kalau ingat Pak Budi masih kangen rasanya,” ungkapnya bergetar. Pasalnya, ketika dulu masih bersama berjualan di Kupat Tahu Pak Budi, ada yang bisa diajak untuk berunding, mengobrol, dan bahkan ketika selesai berjualan bisa menghitung dan mencocokkan bersama hasil dari penjualan.

“Kalau sekarang, ada masalah, ada hambatan, ya cuma saya sendiri, atau sama anak-anak,” ungkap Bu Wasini.

Pandemi sempat hampir tak bisa bayar pegawai

Meski telah ditinggal Pak Budi, namun cita rasa dari Kupat Tahu Pak Budi tak pernah berubah. Pasalnya, resep kupat tahu itu juga diberikan pada pekerja bagian produksi yang telah mengabdi selama lebih dari 10 tahun.

“Tahu ini digoreng dengan cara direndam minyak agar matang. Tapi teksturnya harus tetap basah, karena kalau terlalu kering nanti tidak enak. Karena itu, kalau sudah mulai kering pasti langsung di rendam air lagi,” ungkap Bu Warsini.

Karyawan Kupat Tahu Pak Budi menyiapkan masakan. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Kurang lebih setiap hari minyak yang dibutuhkan untuk menggoreng tahu sebanyak 8 liter. Belum lagi untuk menggoreng kerupuk sebanyak 4,5 liter. Maka dari itu, saat harga minyak melambung tinggi, Bu Warsini mau tidak mau harus tetap membeli meski bebannya bertambah untuk mencari cara agar bisa memperoleh keuntungan dari banyaknya modal yang dikeluarkan.

“Lebih banyak lagi gula jawa, Mbak. Setiap empat hari, saya habis 1,5 kuintal,” ungkap Bu Warsini.

Seluruh barang kebutuhan untuk berjualan Kupat Tahu Pak Budi dikirim dari pemasok tetap sejak 65 tahun yang lalu.

Dalam sehari, Kupat Tahu Pak Budi bisa menjual sampai 250 porsi. Sebenarnya jumlah itu menurun dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Katanya, dulu ia bisa menjual sampai 500 porsi. “Lebih sedih ketika puasa kemarin. Jika biasanya saat puasa saya memilih tutup, kemarin tidak ada uang sama sekali untuk membayar pekerja. Alhasil saya tetap buka meskipun paling banyak hanya bisa menjual 125 porsi,” ungkap Bu Warsini.

Demi bisa menggaet pelanggan lebih banyak, ia pun kemudian memasarkan melalui Go food  dan Shopee food.

Berbicara soal pelanggan, banyak hal unik dan menarik yang kerap Bu Warsini temukan. Misalnya saja pelanggan yang meminta kupat tahu menggunakan tahu mentah lantaran tidak boleh mengonsumsi minyak. Ada juga pelanggan yang setiap hari datang namun untuk membuatkan pesanan miliknya, cobek harus dicuci terlebih dahulu. Sedangkan pelanggan lain yang ia temukan berasal dari kantor ataupun alumni SMAN 8 Yogyakarta yang bercerita bahwa Kupat Tahu Pak Budi merupakan saksi dari ia yang sering lari-lari di saat jam istirahat agar bisa membungkus satu porsi.

“Sekarang, kami juga melayani pesanan untuk prasmanan acara ulang tahun dan pernikahan,” ungkap Bu Warsini.

Pak Sutrisno (60) datang bersama istrinya. Ia dan istrinya jadi langganan di warung tersebut sebelum mereka menikah. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Kupat Tahu Pak Budi buka mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB. Satu porsi kupat tahu spesial dipatok harga Rp20.000, sedangkan kupat tahu biasa dipatok harga Rp13.000. “Tapi dalam satu bulan ada tiga hari libur yang belum tentu tanggalnya,” pungkas Bu Warsini.  

Sebelum pulang, saya sempat mengobrol dengan sepasang suami-istri lanjut usia yang sedang menikmati kupat tahu. Pak Sutrisno (60), datang bersama istrinya menggunakan sepeda motor Astrea. “Saya itu lho Mbak, langganan sejak belum menikah,” ungkapnya tertawa.

Pak Sutrisno ingat betul ketika wanita di sampingnya diajak makan untuk pertama kali di Kupat Tahu Pak Budi. “Saya belum ngomong kalau dia ini pacar saya, eh Mas Budi sudah mendoakan supaya langgeng. Kok malah beneran sampai nikah dan sekarang anaknya sudah pada sukses merantau,” ungkapnya. Bagi Sutrisno dan istrinya, seporsi Kupat Tahu Pak Budi bukan hanya sekedar makanan, namun juga kenangan dan nostalgia cerita mereka berdua.

 

Penulis: Brigitta Adelia
Editor: Agunga Purwandono

BACA JUGA Penjaga Menara Suar: Berkawan dengan Macan dan Makhluk Tak Kasat Mata dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version