Es Doger Balai Yasa sering jadi rujukan warga Jogja untuk menepi di kala cuaca sedang panas. Minum es di bawah rindang pohon adalah kenikmatan surgawi. Namun, di balik es doger yang viral ini, ada kisah panjang dan kenangan yang tertinggal di Lapas Cebongan.
***
Saya ingat betul, berulang kali, di tengah terik siang saat jam kosong perkuliahan, seorang teman mengajak saya ke Balai Yasa. Secara administratif, nama tempat itu Balai Yasa Pengok, lokasi reparasi bagi kereta-kereta milik PT. KAI.
Namun tujuan utamanya tentu bukan tempat reparasi kereta. Melainkan sisi utaranya, Jalan Kusbini, di mana dua lapak penjual es doger yang katanya istimewa berada. Tiga kata yang ia tekankan: segar, adem, syahdu.
Beberapa kali saya menolaknya. Alasannya sederhana, letak kampus saya di Babarsari dan penjual es dogernya di Pengok. Jaraknya hampir enam kilometer. Terlalu jauh untuk waktu kosong yang singkat.
Sampai suatu kali saya mengiyakan ajakan tersebut. Betul saja, tiga kata yang ia tekankan memang terasa. Ada rasa dan ada suasana. Pantas saja setiap siang menjelang, Es Doger Balai Yasa selalu dipenuhi manusia. Entah itu para mahasiswa, pekerja yang sedang mengambil jeda, hingga pengangguran yang butuh tempat teduh semata.
Seporsi es doger di sana jika diurutkan dari bawah tersusun dari jelly hijau, sagu mutiara, alpukat, roti tawar berbalut susu kental manis coklat, dan ditutup dengan parutan es dengan sirup. Manisnya sangat terasa, cocok dinikmati di siang yang panas. Segelas es doger dibanderol seharga Rp12 ribu.
Kerasnya kehidupan jalanan
Di balik teduhnya rindang pepohonan dan kesegaran yang diberikan setiap gelasnya, belakangan baru saya ketahui sebuah cerita getir bagaimana Es Doger Balai Yasa bermula. Saya berjumpa dengan sosok penjualnya pada Rabu (29/6/2022) pagi. Namanya terpampang jelas di gerobak “Es Doger Mas Chandra”.
Sebelum berbincang saya sempat menunggu lama. Sosok pemilik—yang saya ketahui berkat informasi dari seorang karyawan di sana—sedari tadi bolak balik dengan motor matic-nya. Ia masih sibuk melengkapi berbagai hal untuk berjualan.
Hampir satu jam menunggu, segelas es doger dan seporsi siomay yang saya pesan sudah tandas tak tersisa. Hingga akhirnya pria yang ditunggu nampak sudah luang waktunya. Saya pun menghampirinya.
“Pagi Pak Chandra, terima kasih sudah bersedia saya wawancara,” ujar saya menyapa.
“Nama saya bukan Chandra, Mas,” katanya seraya tertawa.
Ternyata nama aslinya adalah Maringan Tua (47). Ia bercerita bahwa ‘Chandra’ bukan nama aslinya. Sapaan itu datang dari kawan tongkrongan semasa muda. Ia sendiri tak tahu kenapa nama itu disematkan padanya. Namun ia justru menceritakan salah satu kawan tongkrongan yang selalu ia kenang.
“Kamu tau Diki? Diki Cebongan?” tanyanya.
Saya tak tahu siapa Diki. Namun ketika mendengar kata “Cebongan” disebut, pikiran saya melayang ke peristiwa besar yang terjadi tahun 2013. Kala itu sebuah sel tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Sleman diberondong tembakan senapan laras panjang oleh sekelompok Kopassus dengan motif balas dendam.
Empat tahanan tewas seketika dalam peristiwa nahas itu. Salah satunya bernama Hendrik Benyamin Angel Sahetapi alias Diki Ambon. Nama yang disebut Chandra tadi.
“Dulu saya dekat, lama ikut bareng dia. Dua tahunan kayaknya,” katanya.
Chandra berasal dari Medan dan mulai merantau ke Jogja pada tahun 1994. Niat awalnya untuk kuliah. Ia masuk ke sebuah kampus pelayaran yang terletak di Jalan Magelang berbekal semangat untuk mengubah hidupnya.
“Awalnya saya kira kuliah, pakai seragam rapi, pasti masa depan cerah. Nyatanya nggak juga,” kenangnya.
Permasalahan ekonomi yang mendera semasa kuliah membuat Chandra memilih jalan lain. Ia kerap bergaul dengan teman-teman yang ia sebut sebagai gentho, salah satunya Diki tadi. Mencari rupiah di jalanan yang keras. Hidup menggelandang, bahkan ia bercerita pernah beberapa waktu tinggal di emperan Stasiun Lempuyangan.
“Dulu saya itu sering bongkarin mesin roulette [judi], nyuri duit dari situ sama beberapa teman. Ya itu nakalnya saya dulu untuk hidup,” kenangnya.
Lama terbawa teman-temannya, kuliah Chandra terbengkalai. Ia tak mampu membayar tunggakan biaya kuliah. Hingga akhirnya ia melepas status mahasiswanya.
Perlahan Jalan Kusbini tempat Chandra berjualan mulai ramai. Satu dua pengendara berhenti dan memesan es doger miliknya. Langit mulai cerah namun rimbun pepohonan membuat kawasan ini tetap terlindung dari panasnya cuaca. Setelah fokusnya kembali dari melihat pembeli yang datang, Chandra melanjutkan kisah hidupnya.
“Hidup itu begini Mas, nek nandangi wong masjid sitik-sitik yo dewe melu ngalime, nek nandangi wong gentho yo dewe kecipratan genthone. Saya nggak bisa menata hidup kalau masih ikut terus sama-teman-teman saya,” ujarnya.
Kendati demikian, ketika kelak Chandra mulai merintis usahanya sendiri, ia tetap terbuka pada kawan lamanya. Banyak di antara mereka yang mampir ke lapaknya saat awal berjualan. Namun yang jelas, Chandra sudah memilih jalannya sendiri.
Menolak putus asa
Hidup harus terus berlanjut. Setelah putus kuliah dan merasa tak nyaman dengan kehidupan lamanya, Chandra mencoba buka usaha. Es doger ia pilih karena dianggap sederhana dan mudah dipelajari pembuatannya. Pria berbadan gempal ini juga mengaku punya pengalaman kerja di restoran, waktu masih tinggal di Medan.
Chandra mulai membuka usaha es doger tahun 1998 di kawasan lembah UGM. Racikan es doger yang awalnya ia buat tentu berbeda dengan sekarang. Ia mengaku asal-asalan saja saat awal jualan.
“Mungkin karena dulu [di lembah UGM] masih jarang ada penjual. Jadi ya bisa laku dan lumayan ramai. Saya akhirnya mikir, kalau begini hasilnya bisa buat hidup nih,” ujarnya.
Hanya berselang beberapa bulan, Chandra sudah membuka cabang baru di dekat Kantor Telkom, Kota Baru, Yogyakarta. Keberanian itu muncul karena omzet penjualan di lembah UGM kala itu sehari sudah bisa berkisar Rp150-200 ribu rupiah.
Waktu berjalan, Chandra mengaku mendapat banyak masukan dari pembeli. Apa yang harus ditambahkan dalam minuman dan apa yang perlu ditiadakan. Usaha es doger miliknya berkembang karena adaptasi dan inovasi.
Dulunya, Chandra memasukkan tape ke dalam racikan minumannya. Namun lama kelamaan, ia menyadari bahwa banyak yang kurang cocok dengan olahan fermentasi singkong yang satu ini.
Sempat juga Chandra mencoba mencampurkan kelapa muda yang menambah kesegaran. Tapi ternyata, kelapa membuat proses pembuatan memakan waktu lama.
“Kuliner itu nggak harus sempurna, yang penting simpel dan laku,” katanya seraya tersenyum.
Meski beberapa hal kerap diubah, Chandra enggan coba-coba di dua komponen perasa utama minuman yakni sirup dan susu kental manis. Baginya itu hal vital.
“Ada sirup terkenal, harganya cukup mahal. Enak sebenarnya, tapi buat campuran es ini nggak cocok. Malah jadi kaya bubur bayi,” terangnya.
Chandra sebetulnya sudah punya dua cabang, namun beberapa kendala datang. Penjualan di lembah UGM tak selancar masa-masa awal. Dagangan di Telkom juga harus ia sudahi karena kawasan itu hendak ditata ulang oleh pemerintah kota.
Akhirnya ia mencari tempat yang diharapkan bisa membawa peruntungan baru. Pencarian itu membawanya ke Balai Yasa. Tempat teduh di utara bengkel kereta. Sebagaimana racikan es dogernya yang sudah berbeda, lokasi berjualan yang bisa pengunjung lihat sekarang juga rupanya berbeda dengan saat awal Chandra datang.
“Dulu itu rumputnya masih segini ini, Mas,” jelasnya sambil memegang pinggang, menggambarkan tingginya rerumputan.
Sekarang, pengunjung bisa duduk rapi di deretan kursi plastik pendek yang berjejer rapi di atas paving. Lain halnya dengan pengunjung Es Doger Balai Yasa awal 2000-an, saat Chandra baru babat alas di sana. Para pembeli harus duduk beralaskan tikar yang digelar paksa menindih rerumputan.
Tapi ternyata di tempat inilah keberuntungan Chandra melimpah. Dagangannya terus berkembang dan bertahan hingga kini. Chandra sudah lebih dari dua puluh tahun berjualan di lokasi ini.
Beberapa tahun belakangan pembeli yang datang ke Balai Yasa akan melihat ada dua penjual es doger yang berdekatan. Keduanya bukanlah saingan melainkan kakak dan adik yang sama-sama berjualan.
Di sisi barat ada Es Doger Mas Chandra milik Maringan Tua. Sedangkan di sebelah timurnya ada Es Doger Bang Firman, milik adiknya. Dahulu sang adik membantu Chandra berjualan, kemudian sang kakak mendorongnya untuk membuka warung sendiri sekitar tahun 2010-an.
Bedanya, Es Doger Mas Chandra dilengkapi dua menu lain yakni siomay dan batagor. Sedangkan milik adiknya khusus es doger saja. Soal rasa, Chandra mengaku keduanya sama saja.
Kemujuran Chandra dalam berjualan membuatnya bisa mengajak keluarga dari Medan untuk hidup di Jogja. Chandra merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara. Pemilik Es Doger Bang Firman merupakan anak kedelapan. Saat bercerita tentang keluarga, Chandra lantas menunjuk dua wanita yang sedang ada di dalam tenda.
“Itu yang sepuh ibu saya. Kalau itu yang agak muda adik saya yang paling terakhir, Lilis namanya. Mereka saya ajak tinggal di sini sekalian,” ujarnya.
Saat ditanya berapa porsi yang ludes dalam sehari, ia mengaku tak pernah menghitungnya.
“Buat saya yang penting untung. Bisa buat bayar karyawan. Sisanya buat saya. Ini memang manajemen rumah tangga saja,” katanya.
Meski mengaku tak menghitung, jika dilihat saat ramai, ratusan gelas es doger bisa terjual setiap hari. Kendati begitu, Chandra menolak jika dibilang beruntung karena mendapatkan tempat strategis dengan biaya ekonomis. Baginya yang namanya lokasi strategis hanyalah sawang sinawang.
“Orang bilang ini strategis karena ramai. Kalau sepi, pasti bilangnya lain. Kalau sepi ya dibilangnya karena ngeri di bawah pohoh besar,” ucapnya terkekeh.
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi