Dawet Jabung merupakan salah satu kuliner yang khas di Ponorogo. Salah satu yang mempelopori hadirnya dawet Jabung adalah Warung Bu Sumini. Bagaimana kisahnya? berikut ini laporan dari kontributor Mojok.
***
Ponorogo sedang diterpa cuaca tidak menentu akhir-akhir ini. Kadang panas, kadang dingin. Begitu pula dengan siang itu, Rabu (6/7/2022). Hawa panas memaksa saya segera keluar dari kos yang terasa begitu pengap.
Saya memutuskan pergi ke selatan menuju Kecamatan Mlarak lalu ke perempatan Jabung. Tujuan saya adalah singgah di warung dawet khas Ponorogo. Tak ada salahnya menuju ke sana ketimbang suntuk di dalam kamar.
Berdasarkan informasi yang saya dapat, dari sekian banyak warung dawet yang tercecer di perempatan Jabung, ada satu warung yang jadi pelopornya. Namanya Warung Dawet Jabung Bu Sumini.
Saya parkirkan motor. Ada dua mobil yang terlebih dahulu datang. Di dalam warung, tiga meja panjang disusun menjadi huruf “U”. Formasi meja ini jadi pembatas antara peracik dawet dengan para pelanggannya.
Empat meja panjang mengelilingi peracik dawet yang duduk manis di tengah. Ia bernama Bu Sri (38). Rupa-rupa jajanan tersaji di atas meja, mulai dari tahu isi, lento, kemplang, pisang goreng, pia-pia, tempe goreng dan lain-lain.
“Bu, dawet satu nggih,” ucap saya setelah duduk di kursi.
Sembari menunggu, dua potong tahu isi saya sikat. Tangan Bu Sri tampak cekatan menyajikan satu per satu dawet yang langsung disodorkan ke para pembeli di depannya.
Bu Sri menyodorkan mangkuk di atas lepek. Dengan canggung, saya mencoba meraih lepek di bawah mangkuk. Bu Sri tersenyum.
“Mangkoknya saja, Mas,” kata Bu Sri.
Saya sruput satu sendok dan membiarkannya mengalir melewati tenggorokan. Segerrr! Cita rasanya unik. Manis bercampur gurih. Ada rasa asin yang tipis. Gempol dan tape masuk dalam isian. Paduan rasanya begitu pas.
Saya perhatikan sirkulasi pembeli di Warung Dawet Jabung Bu Sumini tergolong cepat. Jika semua sudah terlayani mereka akan ngobrol sebentar dan bergegas pergi. Bukannya mereka tidak betah, tapi sudah ada rombongan lain yang bersiap untuk duduk.
Beruntung saya datang sendirian. Posisi duduk saya yang berada di belakang Bu Sri sama sekali tidak terusik. Selesai menyantap satu mangkuk dawet, saya minta izin bertanya tentang sejarah Warung Dawet Jabung Bu Sumini. Bu Sri lantas mengarahkan pada suaminya, Pak Watno (47), yang merupakan generasi ketiga pemilik warung ini.
Mbah Martorejo
Dawet Jabung Bu Sumini bermula dari Mbah Martorejo. Ia adalah kakek dari Pak Watno. Pada tahun 60-an Mbah Martorejo jualan dawet keliling di Ponorogo. Sementara itu, Mbah Aminah, istrinya, jualan gorengan di pasar dekat rumah.
Sepengetahuan Pak Watno, saat itu hanya ada tiga penjual dawet di daerahnya: Satu dari Jabung yakni Mbah Martorejo. Satu lagi di daerah Demangan. Dan terakhir di daerah Bajang.
Kini hanya dawet milik Mbah Martorejo yang bertahan. Penjual di Demangan, lokasi berdagangnya sudah dijual, sedangkan yang di Bajang, tidak ada penerusnya.
Mbah Martorejo berangkat memikul dawet dari satu kecamatan ke kecamatan lain naik kereta. Saat itu masih ada rel kereta api aktif yang beroperasi untuk mengangkut para pedagang pasar di Ponorogo. Kereta ini menjangkau hingga Kecamatan Slahung yang berbatasan dengan Kabupaten Pacitan.
Sayangnya, jalur kereta api yang menghubungkan Madiun, Ponorogo, hingga kecamatan Slahung itu ditutup tahun 1982. Jika dirunut, jalur tersebut dibangun pada tahun 1907 oleh perusahaan kereta api Belanda bernama Staatsspoorwegen. Jalur itu membawa hasil tambang berupa batu gamping yang melimpah dari Slahung dan sekitarnya.
“[Mbah Martorejo jualan] Berpindah-pindah setiap hari. Kalau hari ini panen tebu, ya ke daerah sana, berikutnya ada yang panen padi, ya ke sana, besok ada yang punya hajatan, ya ke sana juga.”
“Dan mungkin karena usia, akhirnya Mbah Martorejo digantikan istrinya, Mbah Aminah,” ucap Pak Watno.
Pak Watno juga tidak tahu persis kapan Mbah Martorejo istirahat, kemungkinan besar masih di tahun 1960-an. Saat itu Mbah Martorejo juga sudah berjualan menetap di lokasi yang sama dengan saat ini. Setelah itu, Mbah Aminah melanjutkan tahun 1970-an. Lalu Mbah Aminah digantikan Bu Sumini, anaknya, sekitar tahun 1980-an.
Bu Sumini terus berjualan hingga Pak Watno dan istrinya mendapat amanah untuk meneruskannya di tahun 2006. Walaupun menjadi penerus, nyatanya ia juga tidak selalu bersama Bu Sumini. Pada tahun 1994 sampai 2006, Pak Watno sempat mencoba peruntungan untuk bekerja di Papua sebagai karyawan pabrik.
“Kemudian disuruh kembali Ponorogo sama Ibu, ngopeni orang tua katanya,” kenang Pak Watno. Saat itu, dari tiga anak Bu Sumini, kebetulan hanya Pak Watno dan istrinya yang belum menetap.
Isian dawet Jabung
Resep dawet Jabung beberapa kali mengalami perubahan. Dulu, rasa manisnya berasal dari legen kelapa yang dipanen dari manggar atau bunga pohon kelapa di sekitar tempat tinggal Bu Sumini. Seingat Pak Watno, legen di masa itu bisa dipanen tiap sore.
Masuk tahun 1985, pohon kelapa di sekitar Bu Sumini banyak yang mati karena wabah kumbang tanduk. Bahan pemanis utama pindah ke gula kelapa. Soal isian, dalam satu mangkuk dawet Jabung berisi cendol, gempol, tape, juruh (gula), santan, garam, dan es. Penambahan garam dimaksudkan sebagai penyedap.
“Memang kalau tanpa garam bisa terasa manis, tapi juga hambar, ada yang kurang. Kalau ditambah garam, rasanya tambah gurih.” Ujar Pak Watno.
Isian dawet Jabung Bu Sumini pakemnya tidak langsung seperti sekarang. Pernah isian utamanya dari pisang seperti kolak. Kemudian, karena harga pisang mulai naik, ganti menjadi gempol, dan selanjutnya berganti menjadi tape.
“Proses pembuatan gempol susah. Awalnya dari tepung beras, dicetak, dikukus, lalu dicetak lagi, dikukus lagi, seterusnya hingga tiga sampai empat kali.” Ungkap Pak Watno yang memberi alasan mengapa gempol sampai bisa tergantikan tape. Namun, kini gempol sudah kembali ke mangkuk-mangkuk pelanggan, karena sudah ada pabrik gempol berdiri.
Pesan ibu
“Jenengku ojo diganti.” Demikian kata Bu Sumini saat mengamanahi Pak Watno untuk meneruskan usahanya.
Pak Watno pun menenangkan sang ibunda: “Iya, tetap saya pakai, tidak mungkin diganti.” Jadilah sampai sekarang nama Bu Sumini bertengger sebagai nama warung dawet Jabung yang dinahkodai Pak Watno.
Sementara itu, di sekitar lokasi warungnya perlahan mulai bertambah satu per satu penjual dawet yang sama. Jika Anda pernah bepergian ke arah Desa Jabung dari arah perempatan Jetis ke utara maupun perkotaan Ponorogo ke selatan, saya bisa jamin, Anda pasti heran karena radius lima ratus meter dari perempatan Jabung, sudah banyak warung dawet yang berbaris.
“Sekitar tahun 80-an satu dua pedagang mulai muncul, tahun 90-an jumlahnya semakin bertambah. Lebih banyak lagi, di tahun 2000-an ke atas,” ungkap Pak Watno.
Menurut pandangan Pak Watno, tahun 2000-an ke atas, orang-orang yang kerja di Jakarta, Jawa Barat, sampai luar Jawa datang berduyun-duyun ke Ponorogo untuk mudik. Sebagian besar dari mereka biasanya menyempatkan mampir ke warung ini.
Pak Watno meneruskan: “Perempatan ini Mas, aslinya milik tiga desa, tetapi namanya diubah jadi perempatan Jabung.” Pengubahan nama tersebut memperkuat posisi dawet jabung sebagai jajanan khas yang jadi tumpuan hidup warga sekitar.
“Memang pernah dengar cerita dari orang dulu, daerah Jabung besok akan ramai orang jualan dawet. Ternyata terbukti sampai sekarang yang semakin ramai. Itu, katanya para pemuka agama dulu,” ucap Pak Watno.
“Lha nama Jabung yang menempel di belakang kata dawet, itu sejak kapan, Pak?” tanya saya.
“Waktu itu cuma ada nama Bu Sumini, kemudian karena semakin dikenal dan banyak pedagang lain, lama-lama ditambah kata Jabung yang berasal dari nama desanya. Memang yang menghasilkan pati juga dari desa sini, awal mula yang jualan juga orang asli Jabung.”
Sejak tahun 2000, di sekitar sana sudah berderet macam-macam nama warung dawet Jabung. Pak Watno memperkirakan, di sekitar perempatan Jabung saja, kalau dihitung bisa ada sekitar 30-an pedagang, dan kemungkinan jumlahnya akan terus bertambah.
Hampir tiap musim liburan, kawasan dawet Jabung ini selalu ramai dengan pengunjung. Beberapa pembeli, juga ada yang sengaja datang untuk berkeliling Ponorogo seraya mencoba satu per satu kuliner khasnya, seperti jenang Mirah, sate ayam, dan nasi pecel.
Kini, Warung Dawet Jabung Bu Sumini yang diurus Pak Watno, setiap hari buka dari pukul sembilan pagi sampai pukul empat sore. Ia bisa menyajikan ratusan mangkuk dawet untuk para pelanggan. Menjelang pukul setengah lima, habis nggak habis, Pak Watno akan menutup warungnya.
“Lha seperti ini, gorengan yang sisa nggak bisa dijual besok, Mas. Kasian pelanggannya. Biasanya kita bagikan ke pelanggan terakhir atau tetangga. Eman-eman, kan masih bisa dimakan. Kecuali kalau sudah rusak, nanti dibuang.”
Selesai ngobrol panjang dengan Pak Watno saya pun kemudian pamit. Tak terasa waktu sudah mau masuk sore. Tiba-tiba, anak Pak Watno yang paling besar menyodori saya satu kresek penuh kemplang. “Lho, Pak, ini kenapa?” saya kebingungan. “Bawa saja, Mas,” katanya. Saya pun mengucapkan terima kasih dan pulang membawa oleh-oleh.
Reporter: Prima Ardiansah
Editor: Purnawan Setyo Adi