Bagi mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Bakso Dab Supri itu sudah jadi jenama tersendiri di hati mereka. Sejak 1990, warung ini mencatat perjalanan mahasiswa mulai dari kencan pertama, kisah asmara yang kandas, persahabatan, hingga lika-liku mencapai kelulusan.
***
Pagi itu, 3 Juni 2022, saya sengaja memulai hari tanpa sarapan di rumah. Bukan tanpa alasan, satu jam sebelumnya, seorang teman memberikan rekomendasi tempat sarapan di sebuah warung bakso dan mie ayam yang katanya legendaris di kalangan mahasiswa Universitas Sanata Dharma. Bakso dan Mie Ayam Dab Supri. Letaknya di Jalan STM Pembangunan No. 7, Mrican, Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
Sekilas, warung Bakso dan Mie Ayam Dab Supri tampak sempit dari luar. Temboknya memiliki perpaduan warna hijau, merah, dan kuning. Sebuah gerobak kayu mengambil alih perhatian saya. Di kaca gerobak kayu itu terdapat puluhan stiker tertempel saling bertumpukan.
Sebagian besar didominasi stiker Universitas Sanata Dharma lengkap dengan berbagai fakultasnya. Sementara itu, di bagian dalam terdapat lima meja kayu yang dilengkapi kursi plastik berwarna biru dipadati pembeli yang asyik menikmati semangkok bakso atau mie ayam.
“Halo Bos,” sapa Pak Supriyanto (64) dengan suara riang dan senyum ramah sesaat ketika saya memasuki warung Bakso dan Mie Ayam Dab Supri. Setelah memesan semangkok bakso komplit, saya memilih duduk di kursi yang tersisa, tepatnya di pojok warung.
Mata saya terus mengamati tangan ulet nan terampil itu bekerja. Mulai dari menaruh bakso ke mangkok, mengiris tahu, sampai dengan menuangkan kuah panas lalu mengantarkan ke meja. Semua itu dilakukan kurang dari lima menit.
Dalam satu mangkok, terdapat empat butir bakso, sembilan potong bakso goreng, empat iris tahu, tetelan tulang muda sapi, mie kuning, sawi hijau, taburan seledri, dan kuah panas yang mengeluarkan aroma nikmat. Mencium wanginya saja mampu membuat saya ingin segera menghabiskan sampai tandas.
Pada suapan pertama, kuah bening dengan rasa gurih bawang yang kuat namun tidak pengar berpadu dengan lemak sapi dan bakso yang halus, empuk, serta padat. Ditambah dengan potongan bakso goreng yang renyah membuat sensasi rasa pas di mulut. Benar saja, hanya perlu waktu sepuluh menit untuk saya menghabiskan semangkok bakso racikan Pak Supriyanto ini.
Awalnya jualan keliling demi anak istri
Melihat Pak Supriyanto duduk santai dan beristirahat, saya lantas mendekat untuk meminta waktu agar dapat sedikit berbincang. “Saya sudah jualan sejak tahun 1978” ujarnya dengan pandangan menerawang. Kala itu usianya masih 20 tahun. Demi bisa menafkahi Sang Istri, setelah menikah, Pak Supri, biasa ia dipanggil, yang berasal dari Gunung Kidul memilih merantau di Kota Yogyakarta.
Tidak serta merta langsung bisa membuat bakso, Pak Supri terlebih dahulu belajar dengan kakaknya yang bekerja sebagai juru masak di rumah makan Chinese Food. Kemudian, selama satu minggu ia mengotak-atik resep yang diberikan kakaknya. Mencari racikan rasa yang pas untuk bakso sapi miliknya.
Membuat kuah gurih dilakukan Pak Supri dengan cara menggongso bawang sebelum dicampur dengan air. Sedangkan, bakso ia buat dengan telaten agar setiap bulatan memiliki rasa, ukuran, dan tekstur yang sama yaitu gurih, lembut, serta halus.
Sementara bakso goreng menurutnya merupakan bagian paling sulit, di mana harus dibuat dengan hati-hati agar tidak gosong, sehingga tidak terasa pahit dan tekstur tetap renyah.
“Memang sulit, rewel, dan banyak pritilannya, namun setelah ketemu rasa yang pas, ada kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” ucapnya sembari tertawa. Resep itu pun ia pertahankan sampai sekarang.
Berbekal gerobak kayu berwarna cokelat tua, Pak Supri mencari peruntungan dengan berkeliling dari Stasiun Lempuyangan sampai Sekolah Menengah Atas Stella Duce Dua (Stero). Saat itu, satu mangkok bakso dijual dengan harga 25 perak. Tidak berjalan mulus, ia sering kali menelan kekecewaan ketika dagangannya sepi pembeli.
Namun, dengan gigih, Pak Supri terus mencoba mengumpulkan pelanggan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang mahasiswa IKIP Sanata Dharma (Red- sekarang merupakan Universitas Sanata Dharma).
“Hampir setiap hari mahasiswa itu membeli bakso,” ujar Pak Supri. Usut punya usut, mahasiswa itu tergabung sebagai pengurus dalam unit kegiatan Koperasi Mahasiswa (Kopma). Pak Supri pun ditawarkan untuk ikut berjualan di Kopma Universitas Sanata Dharma Mrican.
Gayung bersambut, pada tahun 1990, usaha bakso milik Pak Supri menetap di lingkungan Universitas Sanata Dharma, tepatnya di Parkiran Barat Kampus Mrican. Menjadi pintu rezeki, usaha bakso miliknya laris manis di kalangan mahasiswa. Ia mendapatkan panggilan Dab dari para mahasiswa yang merupakan bahasa walikan dari kata Mas. Usaha bakso milik Pak Supri ini pun akhirnya diberi nama Bakso Dab Supri.
Menjadi penampung cerita dan kisah cinta
Berjalannya waktu, Bakso Dab Supri pernah pindah di utara Lapangan Realino, sebelum akhirnya tahun 1996, Pak Supri mendapat tawaran untuk membuka kembali warung baksonya di kantin Universitas Sanata Dharma bekas Fakultas Pendidikan Bahasa Indonesia Kampus Mrican.
Kedekatan dengan pelanggan membuat Pak Supri menjadi orang yang tahu banyak pengalaman dan perjalanan mahasiswa Universitas Sanata Dharma, mulai dari kencan pertama, kisah asmara yang kandas, persahabatan, bahkan lika-liku mencapai kelulusan.
Pak Supri terdiam, berusaha mengingat hal-hal berkesan selama berjualan Bakso Dab Supri di Universitas Sanata Dharma. “Dulu, ada mahasiswa namanya Catur Supatmono. Ketika saya berjualan, ia sudah menjadi mahasiswa, mungkin angkatan 1990-an. Saya tahu persis ketika ia berusaha keras untuk lulus kuliah. Sekarang sudah sukses menjadi guru matematika di SMA Kolese De Britto,” ungkapnya.
Pak Supri kembali terdiam, sebelum melanjutkan ceritanya. “Ada pula, mahasiswa yang mengutang demi menyenangkan hati pacarnya,” ucapnya tertawa. Kala itu siang hari, ketika sepasang mahasiswa yang diduga sebagai angkatan 2000 datang dan memesan dua mangkok bakso.
Tidak langsung duduk, mahasiswa laki-laki rupanya membisikkan kalimat bahwa pacarnya ingin makan bakso, namun ia belum mempunyai uang karena kiriman dari orang tua belum datang. Alhasil ia mengutang dan melunasinya dua hari kemudian tanpa sepengetahuan Sang Pacar.
Bukan itu saja, Pak Supri mengaku selalu mengingat momen penting, misalnya saja saat pergantian rektor, pergantian dekan, dan bahkan turut menahan kesedihan ketika dosen favorit mahasiswa tiba-tiba dikabarkan meninggal dunia.
Hampir setiap hari melayani mahasiswa yang membeli bakso, ia pun jadi tahu aneka kebiasaan makan unik. Misalnya saja, seorang mahasiswa yang ingin bakminya direbus lama menyerupai bubur, ada pula yang meminta tambahan kuah, ada yang meminta dua porsi bakso dalam satu mangkok, bahkan ia juga menemui mahasiswa yang meminta ditambahkan nasi atau kupat sehingga menyerupai lontong sayur.
Pada tahun 2005, Pak Supri menambahkan menu baru yaitu mie ayam. Pasarnya bertambah luas. Penjualannya pun semakin meningkat. Namanya pun turut berubah menjadi Bakso dan Mie Ayam Dab Supri.
Selama ini, kunci keberhasilan dalam usaha miliknya dekat dengan pelanggan. Ia punya kebiasaan berbincang dengan para pembeli. Jika ditanya apakah Pak Supri masih mengingat mahasiswa yang pernah makan di warung Bakso Dab Supri sejak tahun 1990 sampai sekarang, jawabannya adalah iya.
“Mungkin kalau nama sudah banyak yang lupa, tapi kalau wajah saya pasti ingat. Bertemu dan berbincang dengan mereka bagi saya adalah kesempatan berharga, sampai kapan pun akan terkenang,” ungkapnya.
Berbicara soal persaingan warung bakso dan mie ayam, Pak Supri mengaku tidak pernah merasa khawatir. Pasalnya rezeki sudah diatur oleh Tuhan. “Tidak pernah merasa punya saingan, santai saja, karena selera rasa itu beda-beda sehingga jika sudah cocok pasti akan dicari oleh pembeli, lagi pula semua juga sudah punya pelanggan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Pak Supri kemudian bercerita pernah membuka cabang di Bantul, tepatnya di sebalah timur Institut Seni Indonesia (ISI). Hanya saja, karena tidak ada yang menunggu dan sepi pelanggan, kontrakan senilai 40 juta yang baru dipakai selama kurang lebih lima bulan akhirnya dilepaskan begitu saja. Menurutnya, warung Bakso dan Mie Ayam Dab Supri miliknya kurang populer di telinga masyarakat Bantul.
Hal itu pula yang mendasari Pak Supri enggan kembali ke Gunung Kidul dan membuka warung Bakso dan Mie Ayam Dab Supri yang dekat dengan rumahnya. Menurutnya di Gunung Kidul sudah banyak yang membuka warung bakso dan mie ayam, selain itu ia juga tidak mempunyai pelanggan karena sejak semula berjualan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Alhasil meski usianya tidak lagi muda, Pak Supri tetap menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor seminggu sekali untuk mengunjungi istri dan anaknya di Gunung Kidul, begitu pula jika ada hajatan. “Di sini hanya untuk saya dan tiga karyawan,” ungkapnya.
Sehari menjual 200 porsi
Ketika Pandemi Covid-19 membuat mahasiswa belajar dari rumah, Pak Supri pun terpaksa pindah dari Kantin Universitas Sanata Dharma. Ia sempat berjualan di Gang Surya selama tujuh bulan, sampai akhirnya menetap di tempat yang sekarang. “Nanti jika keadaan sudah membaik, mahasiswa sudah masuk, saya akan kembali membuka di Kantin dan tentu saja tetap mempertahankan warung di Jalan STM Pembangunan ini,” ujarnya.
Pak Supri tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. “Saya juga tidak punya ijazah,” ujarnya. Bakso dan Mie Ayam Dab Supri inilah satu-satunya mata pencaharian baginya untuk tetap menafkahi keluarga. Meski merasakan lelah, namun Pak Supri berusaha membangun energinya untuk selalu gembira. Barulah ketika ada waktu senggang, ia gunakan untuk beristirahat.
Seperti pagi hari, selepas pulang dari pasar untuk membeli 6 kilogram daging sapi, ia akan terlebih dahulu membuat bakso, kira-kira tiga jam lamanya sejak pukul 05.00-08.00 WIB. Setelah itu, ia memiliki waktu satu jam untuk beristirahat sebelum berangkat untuk membuka warungnya. Bakso dan Mie Ayam Dab Supri buka setiap hari (kecuali Minggu) pukul 09.00-21.00 WIB.
Dalam sehari, Pak Supri mampu menjual 200 porsi bakso dan mie ayam. “Pelanggannya banyak, ada dari Klaten, bahkan luar kota, biasanya alumni Universitas Sanata Dharma sering datang dan mengobrol di sini,” ungkapnya.
Pak Supri juga menandai jam ramai di warung bakso dan mie ayam miliknya. Jika siang hari pelanggan akan memadati Warung Bakso dan Mie Ayam Dab Supri sekitar pukul 11.00-14.00 WIB, sedangkan di sore hari pelanggan kembali memadati pukul 17.00-19.00 WIB. “Nanti kalau hujan akan sepi sekali, apalagi jika deras. Tapi kalau sudah reda, karena udaranya dingin, menjadi sangat ramai,” ungkapnya.
Warung Bakso dan Mie Ayam Dab supri telah membantu anaknya untuk mengenyam pendidikan sampai lulus dari jenjang sarjana. Sekarang, oleh Pak Supri, uang hasil jualannya pun digunakan untuk membantu menyekolahkan dua cucunya di Sekolah Menengah Atas dan menyisakan sedikit untuk ditabung sebagai persediaan di hari tua.
“Harapannya, Bakso dan Mie Ayam Dab Supri ini dapat dilanjutkan oleh anak dan cucu saya, karena bagaimana pun juga tersimpan memori yang kuat, mungkin jika hari ini yang menyantap bakso dan mie ayam adalah mahasiswa Universitas Sanata Dharma, beberapa tahun kemudian berganti anak dan cucunya yang menikmati sembari mengenang perjalanan orang tuanya,” ungkap Pak Supri.
Reta (24) yang kebetulan sedang menikmati mie ayam bersama temannya pun membenarkan hal tersebut. “Saya sebelumnya sudah tahu warung bakso dan mie ayam ini dari Ayah yang merupakan alumni Universitas Sanata Dharma. Di warung mie ayam dan bakso ini Ayah sering mengajak Ibu yang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta untuk makan bersama. Kata mereka saat itu harganya 75 perak,” ungkapnya.
Kebetulan, kantor Reta tidak jauh dari Universitas Sanata Dharma. Alhasil, hampir setiap minggu, sepulang bekerja, Reta mengajak teman-temannya untuk mampir dan menikmati Bakso dan Mie Ayam Dab Supri yang dibanderol dengan harga Rp12.000 saja per porsi.
Selesai berbincang dengan Pak Supri, saya pun berpamitan dan tidak lupa membungkus dua porsi bakso untuk oleh-oleh keluarga di rumah yang juga merupakan alumni Universitas Sanata Dharma.
Reporter: Brigitta Adelia D
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Fenomena Kos LV di Jogja, Dicari karena Bebas Bawa Pacar dan liputan menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.