Kisah Sukses Cilok Gajahan yang Berukuran Mini

Cilok Gajahan sudah jadi ikon dunia percilokan di Yogyakarta. Berawal dari berdagang keliling, kini Cilok Gajahan memiliki beberapa gerai yang tersebar di Yogyakarta dan sekitarnya.

***

Akhir- akhir ini, Yogya kerap dilanda hujan. Seperti malam itu, Jumat (11/3/2022), tanpa rasa iba gerimis tiba-tiba datang. Seketika saya langsung mempercepat laju motor agar cepat sampai tujuan. Kurang dari sepuluh menit dari tempat saya di seputaran Tamansari, kini saya sudah berada di gerai Cilok Gajahan yang berada di Jl. Kemetiran Kidul No. 57, Kota Yogyakarta.

Gerainya sederhana. Bentuknya memanjang mengikuti arah jalan. Ada banner besar bertuliskan “Cilok Gajahan”. Tapi, jika mata tak jeli besar kemungkinan akan terlewat. Sebab, gerai Cilok Gajahan ini tidak terlalu mencolok, membaur dengan rumah-rumah ataupun warung kelontong milik warga.

“Halo, Mbak. Saya Syahrul.” Seorang pria tiba- tiba muncul melalui rolling door yang setengah terbuka. Saya cukup terkejut karena tak menyadari jika ia ada di dalam. Saya pun melangkah masuk.

Menjadi pedagang keliling

Syahrul Guci (46), sekitar tahun 1992 memutuskan untuk merantau ke Kota Yogyakarta. Dalam angannya, ia akan mencoba pekerjaan apa saja demi memperoleh kehidupan yang lebih layak. Syahrul menaruh harapan besar pada kota ini.

“Mas, asli Jawa Barat?” ucap saya penasaran. Syahrul hanya geleng- geleng dan terkekeh tanpa menjawab pertanyaan saya.

Saya yang mulai dibuat penasaran bertanya lagi: “Asli mana, Mas?”

Syahrul tampak menimang- nimang. “Seingatku, belum ada yang tahu darimana asal saya,” ucapnya.

Beberapa detik kemudian ia tersenyum tipis, meminta saya untuk berjanji tidak membeberkan kota asalnya dalam tulisan. Entah apa alasan kuatnya, yang jelas ia tak mau.

Awal merantau ke Yogya, Syahrul bukanlah penjual cilok. Namun, ia adalah penjual rujak, nasi padang, dan jajanan keliling lainnya. Semua hal udah ia coba jual, tapi hasilnya kurang memuaskan.

syahrul guci mojok.co
Syahrul Guci perintis Cilok Gajahan. (R.A. Nabilla/Mojok.co)

Selang beberapa tahun kemudian, ketika Syahrul sedang mangkal di depan sekolah untuk menjajakan dagangan, tidak sengaja bersebelahan dengan penjual cilok asli Tasikmalaya. Mereka berteman akrab, ngobrol ngalor-ngidul, saling curhat seputaran susahnya cari uang.

Sampai akhirnya, penjual cilok Tasikmalaya itu menawari Syahrul untuk belajar membuat cilok bersama. Syahrul sangat senang, sebab pada masa itu penjual cilok belum begitu banyak.

Sejak mendapat ilmu dari penjual cilok Tasikmalaya, Syahrul bersama sang istri mulai coba-coba membuat cilok di rumah kontrakannya. Hingga pada tahun 2008, Syahrul banting setir menjadi penjual cilok keliling di sekolah-sekolah yang tak jauh dari Jalan Kemetiran. Tiap pukul 7 pagi, ia mulai berangkat dengan tujuan utama sekolah-sekolah. Jika sudah sore, ia pun berpindah di Alun-alun Kidul.

Asal usul nama ‘Gajahan’

Kala itu, menurut penuturan Syahrul, Alun-alun Kidul tempat Syahrul menjajakan cilok sore hari belum seramai sekarang. Hanya ada sedikit penjual cilok. Namun, seiring berjalannya waktu kini Alun-alun kidul kini bak surga jajanan. Apalagi penjual cilok. Baru beberapa puluh meter jalan kaki pasti akan bertemu pedagang cilok.

“Nggak sebanyak sekarang, jadi kami bisa jauh-jauhan jualnya,” ucap Syahrul terkekeh mengingat masa-masa itu.

Ia ingat betul, jika ada penjual cilok di sisi barat, maka ia akan berada di sisi selatan. Begitu sebaliknya. Namun, seringkali Syahrul akan memilih lokasi di depan kandang gajah milik Keraton Yogyakarta. Bekas kandang gajah itu sekarang sudah diubah menjadi toliet umum, dan gajahnya telah dipindahkan ke kebun binatang Gembira Loka.

Logo Cilok Gajahan yang melegenda. (R.A. Nabilla/Mojok.co)

Di sini lah kata “Gajahan” bermula. Karena Syahrul biasa menjajakan ciloknya tepat di depan kandang gajah. Akhirnya, ia memilih untuk mengganti nama cilok yang sebelumnya hanya “Cilok Bandung” menjadi “Cilok Gajahan”. Nama ini rupanya punya hoki tersendiri.

“Tapi kebanyakan orang malah sering mikir kalo Cilok Gajahan punya ukuran sebesar gajah,” ucap Syahrul tersenyum.

Pelanggannya pun juga tak pernah kecewa karena ternyata cilok Syahrul bukan cilok jumbo alias berukuran gajah seperti yang ada dipikiran mereka sebelumnya. Malahan banyak pengunjung yang kembali datang karena ketagihan. Rasanya gurih, dan sambalnya nagih! Begitu kata para pengunjung Syahrul.

Pemberian nama “Gajahan” membuat usaha cilok Syahrul berkembang pesat. Saat ini Cilok Gajahan mempunyai memiliki tujuh gerai. Gerai pertamanya adalah di tempat saya dan Syahrul berbincang saat ini, sedangkan yang lain tersebar di Godean, Jalan Kaliurang, Seturan, hingga Bantul.

Hanya menaikan harga 50 rupiah

Sayup-sayup suara gerimis hujan tak terdengar lagi. Saya mengamati sekeliling gerai Cilok Gajahan. Beberapa pigura dokumentasi terpasang di dinding. Sebuah foto menarik perhatian saya. Ada sekumpulan ibu-ibu yang sedang membentuk adonan cilok menjadi bulatan-bulatan seukuran kelereng. Semuanya dilakukan dengan tangan dan manual, bentuk bulatannya tak seragam.

Namun, Syahrul kemudian menerangkan bahwa proses menguleni adonan tetap memakai mesin. Pasalnya adonan yang dibutuhkan sangat banyak. Sekitar 60 kilogram tepung aci setiap harinya.

“Masalah produksi, saya ikut terjun langsung dibantu beberapa karyawan yang saya ambil dari warga sini,” ujar Syahrul.

Ia memang sengaja memberdayakan warga sekitar karena paham betul sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Bahkan, logo dengan gajah yang memegang beberapa tusuk cilok ini juga dibuat oleh salah seorang warga.

Seporsi Cilok Gajahan seharga Rp5 ribu. (R.A Nabilla/Mojok.co)

Saya kembali mengamati tiap sudut gerai bercat kuning ini. Pada bagian paling belakang terdapat sebuah gerobak berukuran cukup besar. Kata Syahrul, gerobak itulah yang menemaninya dari awal hingga sekarang.

Beberapa orang sering datang dan bertanya apakah gerobak itu dijual. Dengan tegas Syahrul tak mau menjualnya dengan harga berapapun. Dulu, ia berkeliling mencari pelanggan dengan gerobak tersebut. Hingga pada akhirnya, ciloknya viral dan sering dicari ketika berada di Alun-alun Kidul.

“Biar istirahat, sudah ndak pakai lagi karena saya sudah tidak jualan keliling, dan pindah jadi gerai ini,” ucap Syahrul.

Sebenarnya, keputusan Syahrul menetap dan membuka gerai merupakan hal yang berat bagi dirinya. Ia perlu waktu yang lama untuk berpikir. Akan lebih banyak risiko yang akan Syahrul hadapi. Tapi setelah berpikir panjang jika ia tidak berani berkembang ya hidupnya akan begitu- begitu saja.

Inovasi produk Cilok Gajahan kemasan vacuum. (R.A. Nabilla/Mojok.co)

Kini keberanian Syahrul membuahkan hasil. Ia yang dulu hanya mampu mengontrak satu ruangan untuk ditinggali keluarga kecilnya, sekarang sudah bisa membayar uang sewa satu rumah tinggal, satu rumah produksi, dan beberapa gerai Cilok Gajahan.

“Tapi walaupun begini, saya jarang naikin harga lho, Mbak,” ujarnya tiba-tiba. Saya mengernyitkan dahi, melirik sebuah kertas kecil bertulis 20 biji/Rp5 ribu, berarti satu biji cuma dihargai Rp250.

“Awal jualan harganya Rp200 sebiji,” ucap Syahrul yang membuat saya terkekeh heran karena hanya naik Rp50 rupiah setelah bertahun- tahun berjualan.

Soal harga Syahrul tak memusingkannya. Satu hal yang paling ia perhatikan adalah para pelanggan tetap bertahan dan makin laris. Kalau harga tetap murah tapi pelanggannya banyak maka ia tetap untung. Beda dengan harga mahal, tapi pelanggan menurun, malah bikin rugi.

Bahkan, kini Syahrul berinovasi dengan cilok vacuum yang bisa dibeli dengan harga Rp13.500 dan berisi 40 biji. Tak terlalu jauh dengan harga aslinya, hanya selisih Rp3.500 untuk biaya kemasan.

“Tapi sebenarnya kalau harga segini dan cuma punya satu gerai ya rugi sih,” ungkap Syahrul diikuti gelak tawa kami. Ya betul, untungnya Cilok Gajahan punya cukup banyak gerai sehingga masih bisa memberi harga ramah pada pelanggannya di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus naik.

Reporter: Rahma Ayu Nabilla
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Animal Communicator dan Bagaimana Mereka Mencari Kucing yang Hilang dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version