Kisah Mbah Harto, Perajin Tanduk Kerbau Terakhir di Yogyakarta

Hidup segan, mati pun enggan.

Mbah Harto sedang membuat kerajinan tanduk (Hermawan R./Mojok.co).

Bisnis kerajinan tanduk kerbau sedang di ujung tanduk. Setelah sempat berjaya di tahun 80-an nasibnya kini sedang tak pasti. Ia hampir tenggelam tergerus zaman. Mbah Harto adalah perajin tanduk kerbau yang tersisa di Yogyakarta. Kepada Mojok ia bercerita pasang surut kerajinan tanduk kerbau.

***

Dahinya yang sudah keriput makin berkerut. Bulir-bulir keringat membasahi celah kacamatanya. Matanya yang sudah tidak muda lagi, fokus menatap sebuah benda kecil di tangannya. Benda itu adalah pipa rokok dari tanduk kerbau yang panjangnya hanya sekitar 3 cm yang sedang dia amplas untuk memperhalus permukaannya.

“Di Jogja sekarang hanya tinggal saya yang masih buat kerajinan tanduk (kerbau dan sapi),” kata Harto Mulyono, Sabtu (18/12), saat berbincang dengan Mojok dengan menggunakan Bahasa Jawa.

Lahir tiga tahun sebelum merdeka, kini usianya sudah 80 tahun. Dia adalah satu-satunya perajin tanduk kerbau dan sapi yang masih ada di Yogyakarta, paling tidak itulah pengakuan dia. Rumahnya yang berada di sebuah gang sempit di Kampung Gedongan, Kelurahan Purbayan, Kapanewon Kotagede, Kota Yogyakarta, dia sulap menjadi seperti studio seni sederhana, tempatnya bekerja setiap hari.

Rumah Mbah Harto Mojok.co
Rumah sekaligus studio tempat bikin kerajinan tanduk kerbau milik Mbah Harto di Kotagede (Hermawan R./Mojok.co).

Untuk melihat, dia memang sudah harus dibantu dengan kacamata, kulitnya juga sudah keriput, tapi jangan ragukan kecepatan dan ketepatannya dalam menyulap tanduk-tanduk kerbau menjadi berbagai macam kerajinan. Mulai dari gelang, aksesoris jas, sisir, tusuk konde, cangkolan bendo (gagang pusaka abdi dalem), pipa rokok, alat totok untuk kesehatan, sampai peralatan makan seperti mangkuk dan sendok, semua dia buat. Harga kerajinannya berada di kisaran Rp7000 hingga Rp150.000.

“Mintanya apa, saya buatkan,” lanjutnya.

Mbah Harto, sapaan akrabnya, mulai menekuni usaha kerajinan tanduk sekitar tahun 1970. Sebelumnya, dia sempat menjadi buruh tani, penjual rokok keliling, sampai kuli bangunan. Hingga akhirnya, dia bertemu tetangganya yang seorang perajin tanduk. Dari dia lah Mbah Harto muda belajar membuat berbagai kerajinan, dengan sisa-sisa tanduk yang tak terpakai. Hingga perlahan, keterampilannya makin terasah.

Mbah Harto sedang menghaluskan tanduk kerbau (Hermawan R./Mojok.co).

“Benda pertama yang saya bikin itu gapit wayang, masih ingat saya,” kata Mbah Harto sambil tangannya terus mengamplas permukaan pipa rokok.

Dari gapit wayang, Mbah Harto mulai belajar membuat berbagai kerajinan lain. Selama beberapa tahun, dia akhirnya direkrut sebagai pengrajin tanduk di tempat tersebut. Hingga setengah abad berikutnya, Mbah Harto nyaris bisa membuat apapun dari tanduk kerbau. Palugada: apa lu mau, gue ada.

Kerajinan tanduk di ujung tanduk

Tahun 70-an hingga 80-an, menjadi masa keemasan usahanya setelah memutuskan untuk membangun usaha kerajinan sendiri di rumahnya. Kerajinan yang dia buat sangat digemari oleh turis lokal dan mancanegara. Apapun yang dia buat, toko-toko kerajinan, oleh-oleh, dan souvenir selalu bersedia untuk dititipkan. Seperti di lapak-lapak kerajinan yang ada di sepanjang Jalan Malioboro.

“Enggak ada yang menolak, karena pasti laku,” kata Mbah Harto yang mempunyai 5 orang anak.

Usahanya makin berkembang, Mbah Harto sampai punya puluhan karyawan. Dia pun diundang ke berbagai pameran. Pemerintah mengelu-elukan karyanya, sebagai salah satu kerajinan khas Yogyakarta. Bantuan dana untuk mengembangkan usaha juga datang silih berganti, baik dari pemerintah maupun dari swasta.

“Karyawan saya ada 20 orang lebih,” lanjutnya.

Tumpukan tanduk kerbau milik Mbah Harto (Hermawan R./Mojok.co).

Namun perlahan peminat kerajinan tanduk mulai turun. Penurunan paling terasa dia rasakan sejak insiden bom Bali tahun 2002 silam. Turis mancanegara makin sedikit yang datang ke Indonesia, termasuk ke Yogyakarta, karena insiden tersebut. Akibatnya, angka penjualan kerajinan tanduk kerbau makin anjlok.

Saat ini Mbah Harto hanya punya satu orang karyawan, dari yang semula punya puluhan karyawan. Itupun tidak bekerja tiap hari, hanya ketika sedang ada pesanan saja.

“Enggak tentu, kadang seminggu baru ada pesanan, kadang dua minggu, kadang sampai sebulan,” ujar Mbah Harto sembari mengelap keringat di dahinya, permukaan pipa rokok di tangannya sudah semakin halus.

Tapi ternyata ada yang lebih mengerikan ketimbang bom Bali: pandemi COVID-19 yang mulai melanda pada awal 2020. Usahanya yang kian lesu, makin berada di ujung tanduk. Selama beberapa bulan, Mbah Harto bahkan sempat vakum karena benar-benar tak ada yang membeli kerajinan tanduk kerbaunya.

“Sekarang yang masih laku paling pipa rokok, soalnya makin banyak yang tingwe (nglinting dewe), rokok makin mahal,” ujarnya terkekeh.

Mangkok dan sendok dari tanduk kerbau bikinan Mbah Harto (Hermawan R./Mojok.co).

Satu-satunya yang jadi kendala bisnisnya saat ini adalah bagaimana memasarkan dan menjual produk kerajinannya. Soal teknis lainnya, semua tak ada masalah, termasuk untuk bahan baku. Bahan baku yang paling banyak dia gunakan selain tanduk kerbau adalah tanduk sapi jenis metal. Biasanya, dia beli dari pengepul di Magelang dan Klaten, yang sudah jadi langganannya selama puluhan tahun.

“Yang lain-lainnya enggak ada kendala, hanya susah jualnya saja,” kata Mbah Harto.

Satu per satu teman pergi, tersisa tunggak sawo tua

Sebelum memasuki tahun 2000-an, masih terdapat cukup banyak perajin tanduk di Yogyakarta, terutama di Kotagede. Apalagi saat masa keemasannya, ketika permintaan sedang tinggi-tingginya. Selain memiliki puluhan karyawan, ada juga belasan hingga puluhan perajin lain seperti Mbah Harto.

Namun seiring berjalannya waktu, satu per satu dari mereka berpulang. Dari belasan perajin tanduk di Yogyakarta, kini hanya tersisa Mbah Harto.

“Satu-satu meninggal karena sudah tua, sekarang cuman tinggal saya yang juga makin tua,” kata Mbah Harto sedikit menurunkan nada bicaranya.

Kini, yang masih setia menjadi temannya bekerja setiap hari hanyalah sebuah tunggak pohon sawo tua. Tunggak sawo tua itu menjadi tatakan ketika dia memotong, mengamplas, maupun membentuk tanduk kerbau menjadi berbagai macam kerajinan. Dia tidak mau membuang, atau mengganti tunggak itu dengan yang lebih modern.

“Karena banyak sejarahnya. Tunggak ini sudah ada sejak awal, saya beli dari juragan pertama saya dulu, ujarnya.

Tak ada penerus, kepunahan di depan mata

Dari semua permasalahan, barangkali yang paling menyedihkan adalah tidak adanya generasi penerus yang melanjutkan usaha kerajinan tanduk ini. Mbah Harto sebenarnya telah mencoba mewariskan keahliannya ke anak-anak muda di sekitar rumahnya. Sejumlah mahasiswa juga cukup sering mengunjungi studionya, baik untuk studi banding maupun penelitian.

“Tapi sampai sekarang enggak ada yang mau melanjutkan. Sama sekali,” ujarnya.

Faktor ekonomi tentu jadi alasan paling kuat kenapa tak ada anak muda yang mau menjadi perajin tanduk. Makin sedikitnya peminat kerajinan tanduk kerbau, membuatnya dinilai sebagai bisnis yang tidak menguntungkan. Sedangkan anak muda tentu akan mencari bisnis atau pekerjaan yang bisa menjamin kemapanannya.

“Mending jadi pegawai negeri, atau kerja di pabrik, hasilnya jelas,” kata dia.

Mbah Harto menunjukkan kerajinan tanduk kerbau bikinannnya (Hermawan R./Mojok.co).

Faktor lain, membuat kerajinan tanduk adalah pekerjaan yang tidak mudah. Semuanya harus dibarengi dengan kesabaran, ketepatan, dan ketelitian. Tergesa-gesa dan meleset sedikit saja, tanduk yang sedang dibentuk bisa patah. Dan ketika patah, maka sudah tidak bisa dipakai lagi.

Di sisi lain, anak-anak muda sekarang telah hidup di dalam era yang serba cepat. Hal itu menurut Mbah Harto membuat mereka kesulitan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut kesabaran.

“Inginnya kan serba instan, padahal bikin kerajinan tanduk harus pelan-pelan,” kata Mbah Harto, menunjukkan sebuah pipa rokok yang sedari tadi dia amplas dan gerinda. Pipa itu sudah jadi, dan siap dikirim ke toko tempatnya biasa menitipkan kerajinan tanduknya.

BACA JUGA Rahasia Ramuan Kejayaan Dua Abad Toko Jamu Babah Kuya Bandung  liputan menarik lainnya di Susul. 

Reporter : Hermawan R.
Editor : Purnawan Setyo Adi

Exit mobile version