Kisah Deni, Santri Asal Banten yang Cium Tangan Paus Fransiskus dengan Khusyuk

Sang guru minta kitab kuning yang ada di Vatikan

Ilustrasi Kisah Deni, Santri Asal Banten yang Cium Tangan Paus Fransiskus dengan Khusyuk (Ega Fansuri/Mojok.co)

Seorang santri mahasiswa asal, Pandeglang, Banten, Indonesia mencium tangan paus dengan khusyuk. Bersarung dan berpeci, ia meraih tangan kanan Paus Fransiskus ketika tamu-tamu lainnya mencium tangan kiri pemimpin agama Katolik tersebut.

***

Dari seorang teman, saya menerima sebuah foto seseorang dengan sarung dan peci yang terlihat mencium tangan Paus Fransiskus dengan khusyuk. Tentu ini pemandangan yang tidak biasa. 

Saya langsung meminta nomor telepon bersangkutan dari teman saya. Begitu tersambung ia lantas bercerita banyak kepada Mojok.co tentang apa yang terjadi di balik foto itu, Minggu (20/8/2023). Termasuk tentang pesan gurunya di pesantren yang merestuinya untuk kembali ke Vatikan.

Namanya, Deni Iskandar ia adalah sosok yang mencium tangan Paus Fransiskus saat berada di Basilika Santo Petrus Vatikan pada, Rabu (28/6/2023). Hari itu sekaligus menandai berakhirnya masa kuliah selama 6 bulan yang difasilitasi beasiswa dari Yayasan Nostra Aetate, Vatikan untuk Studi Hubungan AntarAgama.

“Jadi itu acara audiensi untuk umum. Nah, ini uniknya yang membuat saya kagum, biasanya kalau di Islam kan kita yang mendatangi kiai. Ini sebaliknya. Kalau kita pikir, Paus itu kan tokoh dunia, tokoh gereja Katolik, Kepala Negaranya Vatikan. Tiba-tiba dia menyambangi semua,” kata Deni. 

Alasan Deni mencium tangan Paus Fransiskus

Deni saat itu melihat, orang-orang menyalami tangan kiri Paus yang saat itu duduk di kursi roda. Ketika gilirannya tiba, ia tahu dalam Islam sebaiknya menggunakan tangan kanan. Maka ia memberanikan diri meraih tangan kanan Paus kemudian menciumnya seperti ia mencium kiai.

“Walau yang lain meraih tangan kiri Paus, saya ambil tangan kanannya dan menciumnya,” kata Deni. 

Ada tiga alasan yang membuatnya mencium pemimpin tertinggi Agama Katolik di dunia itu. “Saya kedepankan adab. Pertama, saya hormat pada ilmunya, pada kebijaksanaannya, dan saya itu jauh lebih muda dari beliau. Adabnya kita harus menghormat orang tua,” kata Deni memberikan alasan. 

Menurut Deni, saat mencium tangan Paus Fransiskus tidak ada agama, yang ada, adab atau etika. 

Dalam foto, Deni juga tampak menunjukkan kertas putih ke Paus. “Itu tulisannya ajakan ke beliau kalau ada waktu untuk berkunjung ke Indonesia, khusunya Banten,” kata Deni. 

Santri asal Banten cium tangan Paus Fransiskus. MOJOK.CO
Deni menunjukkan kertas bertuliskan undangan ke Paus untuk datang ke Banten. (Istimewa)

Yang membawa Deni kuliah di Vatikan dan bertemu Paus

Banten juga yang mengantar Deni ke Vatikan untuk merasakan kuliah di Universitas Kepausan St. THomas Aquinas, Angelicum yang berlokasi di Roma. Ceritanya saat itu ia menyelesaikan skripsi di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia mengambil penelitian tentang kebebasan beragama di Banten, khususnya umat Katolik. 

Hasil skripsi itu kemudian ia buat menjadi buku. Dari buku itu kemudian ada yang menawarinya, apakah mau kuliah di Vatikan. “Saya menganggapnya saat itu bercanda. Saya mengukur diri lah, saya itu siapa, Bang” kata anak seorang ibu single parent yang jualan kopi di Pasar Kambing, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Meski bercanda, Deni tetap mengurus administrasi yang dibutuhkan. Ia baru tahu, bahwa kuliah di Universitas Kepausan milik Vatikan itu bukan hal mudah. Sepintar apa pun sejenius apa pun, tanpa ada restu dan rekomendasi, tidak bisa.

Ia merasa harus berterimakasih kepada orang-orang yang menawari studi seperti Pastor bernama Michael Endro, Putut Prabantoro, Melki Laka Lena, serta Paulus Tasik Galle, Alumni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kemudian juga direkomendasikan oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Kardinal Suharyo, dengan Uskup Sufragan Bogor, Mgr Paskalis Bruno Syukur. OFM.

Baca halaman selanjutnya…

Cerita Deni kuliah pakai sarung di Vatikan

Cerita Deni kuliah pakai sarung di Vatikan

Selama satu semester atau enam bulan, Deni Iskandar kuliah di tiga tempat yaitu Pontifica Universita St Thomas Aquinas-Angelicum, di Pontifica Universita Gregoriana, dan di Nostra Aetate.

Selama di Vatikan, ada hari-hari Deni kuliah sambil sarungan. Yang hampir pasti ia lakukan adalah saat kuliah di hari Jumat. Dari tempat tinggalnya, ia mengenakan sarung ke kampus. “Jadi kalau Jumat itu kan di sana waktu salat Jumatnya jam 14.00. Jadi daripada pulang, mending langsung saja pakai sarung ke kampus,” kata Deni. 

Deni juga meluruskan pandangan kegiatan agama lain tidak ada di Vatikan atau Roma. Justru ia merasakan hak ibadah terpenuhi. “Di Roma itu ada masjid, banyak musala. Bahkan saat saya puasa, aktivitas tarawih itu ada, Lebaran juga bisa. Bahkan teman-teman kuliah saya ikut pas buka bersama, mereka senang-senang saja, saya malah yang merasa aneh,” kata Deni tertawa. 

Deni Iskandar (kiri) bersama mahasiswa asal Filipina memegang undangan khusus untuk beraudiensi dengan Paus Fransiskus, di Basilica Santo Petrus, Vatikan, Rabu (28/6/2023). (Istimewa)

Selama menempuh pendidikan di Vatikan dan Roma, ia menyimpulkan bahwa dalam melihat kehidupan saat ini, bukan perkara surga dan neraka. Justru ia melihat manusia sebagai manusia, dengan begitu munculah rasa kemanusiaan.

Deni mengakui, keputusannya untuk kuliah di Vatikan, bahkan mencium tangan Paus pasti menimbulkan pro kontra. Ada yang sepakat dan tidak sepakat. Termasuk teman-temannya di PB HMI dimana ia menjadi bendahara umum. “Bahkan ada yang bilang saya agen,” kata Deni tertawa. 

Selama di Vatikan mengamati banyak hal yang menurutnya luar biasa. Misalnya saja, ia melihat perjalanan intelektual dan spiritual seorang imam Katolik ternyata nggak mudah. Mereka benar-benar belajar, baik secara spiritual dan intelektual.

Tatanan dunia berubah, musuh bukan lagi antarpemeluk agama

“Jadi memang harus kita akui bahwa, Gereja Katolik itu pasca Konsili Vatikan II ini, lebih terbuka dan progresif. Terlebih dalam hal memajukan dialog lintas agama, dengan semangat Living Together itu,” katanya 

“Ada banyak dokumen maupun ensiklik Gereja Katolik yang bicara tentang konsep dialog lintas agama, yang terbaru adalah, dokumen Human Fraternity. Itu adalah dokumen apostolik Paus Fransiskus saat bersilaturahmi dengan Grand Syekh Tayyeb, Imam besar al-Azhar, yang bertempat di Abu Dhabi.

Menurut Deni, saat ini alam berubah dan berdampak pada tatanan dunia yang juga sudah berubah. Tantangan semua umat manusia, bukan lagi perang antaragama maupun saling hujat dan saling membenci satu sama lain atas nama agama. Lebih dari itu, tantangan pemeluk agama saat ini adalah kemiskinan, kesehatan global, perubahan iklim dan korupsi, yang itu sifatnya merugikan banyak orang. 

“Kita semua harus sadar bahwa, saat ini tatanan dunia sudah berubah, musuh kita bukan lagi antar pemeluk agama. Musuh nyata agama adalah kemiskinan, kesenjangan, perubahan iklim, kesehatan global juga perubahan iklim. Nah oleh karena itu, semua pemeluk agama itu harus bahu membahu menyelesaikan persoalan itu. Terlebih Islam dan Gereja Katolik, itu jelas punya tanggung jawab, terlebih saat ini sudah ada dokumen Human Fraternity itu kan, jadi standing-nya sudah jelas” tegasnya.

Deni berjumpa dengan Abuya KH Ahmad Muhtadi Dimyathi al-Bantani. Ia sekaligus meminta restu untuk berangkat lagi ke Vatikan, melanjutkan studinya. (Dok. Deni Iskandar/Mojok.co)

Deni mengaku bahwa dirinya sudah mendapat beasiswa studi lanjut dari Pontifical University (Universitas Kepausan) Saint Thomas Aquinas “Angelicum” di Roma. Namun, studi lanjut tersebut belum dapat ia realisasikan karena kendala biaya hidup dan penginapan atau tempat tinggal.

Dapat restu dari sang guru, minta dibawakan kitab kuning dari Vatikan

Putut Prabantoro, salah satu orang yang menyarangkan Deni untuk kuliah di Vatikan menilai sosok Deni sebagai sosok yang sederhana. Bahkan untuk mendapatkan fotonya bersama Paus Fransiskus di studio Vatikan, seorang suster dari Kongregasi Passionis yakni Sr Fransiska CP – seorang sahabat dan sekaligus “ibu angkat” yang menebus foto itu. Foto itu baru terkirim dua bulan setelah perjumpaannya dengan Paus Fransiskus.

Menurut Putut, ketika akhir Januari 2023 berangkat ke Roma, beberapa orang ikut urunan untuk membantunya bisa berangkat. Dari sepatu hingga jaket musim dingin semua didapat dari orang-orang yang mencintainya. Bahkan konon, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo memberikan uang saku untuk naik taksi dari bandara ke penginepannya. 

Kini, Putut juga mendukung keinginan dari Deni untuk studi lanjut di Roma. Ilmunya akan sangat berguna bagi Indonesia.

“Minta doanya saja, Mas, semoga segera dapat sponsor. Rencananya akan tinggal satu tahun karena diploma,” kata Deni. Ia juga sudah bertemu dengan gurunya waktu di pesantren, Abuya KH Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani, tokoh spiritual muslim yang disegani di Provinsi Banten. 

“Kemarin saya sudah ketemu beliau, nanya sudah beres atau belum belajarnya. Saya bilang, saya mau berangkat lagi. Beliau mendukung penuh,” katanya. ‘

Ada satu pesan khusus dari gurunya jika ia kembali ke Vatikan. “Beliau mau Kitab Kuning. Kan Koleksi Kitab Kuning di Universitas Dewan Kepausan itu lengkap, Bang. InsyaAllah saya akan copy PDF-nya untuk beliau,” kata Deni. 

Penulis: Agung Purwandono

BACA JUGA Memang Kenapa Kalau Saya Salaman dengan Paus Fransiskus di Vatikan?

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version