MOJOK.CO – Kiprah perempuan di Keraton Yogyakarta mengalami pasang surut. Namun jauh sebelum era RA Kartini (1879-1904), perempuan sudah punya peran besar di kerajaan Islam.
Hal ini terungkap dalam diskusi ‘Kepemimpinan Perempuan di Sektor Publik dan Privat’ gelaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang disiarkan daring pertama kali pada Senin (18/4).
Salah satu putri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, mengakui bahwa, sebagai kerajaan Islam, peran perempuan Keraton Yogyakarta memang terbatas.
Namun di masa-masa awal kerajaan yang berdiri pada 1755 itu perempuan punya peran besar di masa itu. “Waktu zaman perang, sebelum Perang Jawa, banyak perempuan maju perang,” ujarnya.
Salah satu sosoknya adalah GKR Ageng, permaisuri HB I yang menjadi panglima perang. Di masa itu, ia memimpin Bregada Langen Kusuma, pasukan pengawal Sultan yang beranggota khusus perempuan
“Ini semacam paspampresnya Sultan. Anggotanya para putri pejabat daerah setingkat kecamatan atau kabupaten,” kata GKR Hayu.
Saat berperang, mereka juga piawai menggunakan senjata busur dan panah beracun, tombak, hingga senapan. Sayangnya saat kalah dalam suatu pertempuran, divisi ini dibubarkan di masa di HB II.
Bukan hanya di medan lagi, GKR Ageng juga punya peran dalam aspek intelektual. Sebagai penggemar sastra dan sufi, ia menulis Serat Menak Amir Hamzah yang beraksara pegon dan menjadi manuskrip tunggal paling tebal, 1500 lembar.
Menurut GKR Hayu, kitab ini termasuk aset Keraton Yogyakarta yang dirampas Raffles dan saat ini berada di British Library.
Di bidang pendidikan, GKR Ageng juga diberi wewenang sebagai wali HB V dan turut berperan mendidik Pangeran Diponegoro. “Jadi ia juga berperan besar dalam Perang Jawa. Boleh dibilang peran perempuan sangat signifikan dan di garda terdepan,” tuturnya.
Selain GKR Ageng, keraton juga memiliki tokoh perempuan lain seperti RA Yudokusumo, putri HB I yang menjadi panglima kavaleri Diponegoro di Mancanegara Timur, juga Nyi Ageng Serang istri HB II yang menjadi panglima Perang Jawa.
Selepas masa itu, peran perempuan di Keraton Yogyakarta makin tersingkir. Selain sekadar jadi kanca wingking, peran perempuan dibatasi di sektor domestik bahkan menjadi alat politik termasuk dalam pernikahan keluarga kerajaan.
“Jadi pernikahan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan di keraton itu very real karena saya sendiri merasakan, generasinya belum terlalu jauh dari saya,” ungkap GKR Hayu.
Kondisi itu mulai bergeser di era HB IX. Ia tidak mengangkat permaisuri dari empat istrinya tapi posisi mereka setara sebagai garwa padmi. Anak-anak perempuan di lingkungan keraton juga mulai tak dijodohkan. “Bude dan bulik saya pendidikannya sudah S1,” kata Hayu.
Hayu menyatakan peran perempuan di era HB X makin menguat. Ia dan empat saudarinya, misalnya, diharuskan kuliah di luar negeri. Sang ibu, GKR Hemas, berkiprah di sektor publik dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah empat periode.
“Ngarsa Dalem (HB X) memilih beristri satu dan anaknya perempuan semua. Ini berarti pergeseran nilai juga. Kami diberi tanggungjawab untuk memimpin lembaga di keraton,” kata Penghageng Tepas Tanda Yekti ini, yakni kepala divisi informasi keraton.
Kebijakan itu sebenarnya tradisi keraton di mana para putra raja mengepalai lembaga. Namun saat anak-anak raja itu perempuan, menurut Hayu, proses transisi ini tidak mudah.
Bahkan, kata dia, ada abdi dalem yang secara terbuka menyatakan tak mau punya atasan perempuan bahkan lebih muda. “Itu sampai ke Ngarsa Dalem dan keputusannya karena keraton ini monarki, kalau tidak mau (mengikuti keputusan raja), ya keluar dari keraton,” paparnya
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi menyatakan salah satu aspek penting transformasi sosial dan politik terpenting dalam satu dekade terakhir adalah mendorong pengarusutamaan kesetaraan gender.
“Salah satunya ditandai dengan membangun lingkungan, sistem kebijakan, dan gerakan untuk mendorong kepemimpinan perempuan di berbagai sektor,” ujarnya.
Menurutnya, dalam masa pandemi ini, banyak sekali cerita sukses terkait penanganan pandemi diinisiasi oleh pemimpin politik perempuan di berbagai Negara, seperti di Taiwan, Finlandia, dan Selandia Baru.
“Kenapa itu bisa terjadi, jangan-jangan karena karakteristik empati sosial yang sangat kuat dibawa perempuan. Bisa jadi kekuatan empati sosial itu membuat kebijakan pandemi jauh lebih bisa ditangani dan situasi menjadi lebih baik,” tuturnya.
Reporter: Arif Hernawan
Editor: Purnawan Setyo Adi