Ketika Salak Pondoh Tak Lagi Istimewa

Salak pondoh pernah menjadi komoditas spesial di Sleman. Dulu, harganya tinggi bikin petani tak pernah merugi. Namun, kini, salak pondoh harganya jatuh bikin petani gigit jari.

***

Waginem (68), warga dusun Banjarsari, Wonokerto, Turi, Sleman, mengajak saya kembali bernostalgia ke tahun 80-an tatkala ia masih muda. Saat itu ia melakoni banyak pekerjaan, mulai dari jualan beras dan buah pisang di Pasar Turi, hingga ia mulai menjadi petani salak sekitar tahun 1985.

Ketika bercerita, sesekali matanya menyiratkan kesedihan, mengingat kenangannya di masa itu. Waginem adalah gambaran seorang petani tradisional di pedesaan. Salak pondoh telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Buah itu punya seribu cerita buat Waginem. Pagi itu, ia membukanya lagi. Satu per satu.

petani salak mojok.co
Waginem, petani salak asal Turi. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Berawal dari oleh-oleh orang Belanda

Dalam khazanah wisata Sleman, salak pondoh (Salacca zalacca Gaertner Voss) adalah salah satu buah khas dari daerah ini. Di wilayah Sleman utara seperti di Kecamatan Pakem, Cangkringan, Turi, dan sebagian Tempel, hamparan kebun salak akan memanjakan mata. Di beberapa titik, papan petunjuk arah bertuliskan “agrowisata salak” mudah ditemui. Bahkan, ada pula sebuah ruas jalan di Turi bernama Jalan Agrowisata.

Berdasarkan informasi di situs resmi Kabupaten Sleman, sejarah salak pondoh dimulai pada tahun 1917 saat seorang jagabaya (perangkat keamanan desa) di Tempel bernama Partodiredjo mendapatkan oleh-oleh 4 biji salak dari seorang warga Belanda. Salak tersebut lalu ia tanam dan budidayakan. Ternyata menghasilkan buah salak yang manis dan tak kesat. Lalu, sekitar tahun 1948, budidaya buah salak dilanjutkan lagi oleh putranya.

Kembali ke Waginem, menurut penuturannya, salak bukanlah komoditas asli daerah Turi. Ia masih ingat betul semasa ia kecil lahan di dusunnya masih didominasi ladang atau tegalan yang tidak produktif. Hal ini karena susahnya mencari air irigasi di daerah tersebut. Lahan yang punya sumber air lebih baik hanya ditanami padi.

Ia mengenang salak mulai ramai di daerah Turi sekitar tahun 1979, bertepatan dengan kelahiran anak keduanya. “Waktu itu orang-orang di sini sudah mulai menanam salak tapi masih sering gagal karena tidak ada air (irigasi),” ungkapnya.

Masyarakat mulai masif menanam salak setelah adanya program ABRI Masuk Desa (AMD) pada tahun 1981. Saat itu, para tentara membuatkan saluran irigasi sehingga lahan-lahan bisa mendapatkan pengairan secara lebih baik. Setelah itu warga mulai berbondong-bondong menanam komoditas salak mengikuti petani lainnya yang sudah mulai lebih dulu.

Tugu tanda program ABRI masuk desa di tepi Jalan Agrowisata, Turi. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Perpindahan tanaman ke salak pondoh tidaklah mulus begitu saja. Kala itu, menurut Waginem, harga benih salak sangatlah mahal. Ia bahkan harus menjual dua ekor sapi untuk modal menanam salak pertamanya. “Saya lupa laku berapa. Jual dua ekor, sisa modal saya pakai buat beli sepeda jengki,” kenangnya.

Perempuan 3 cucu itu menambahkan, alasan perpindahan komoditas tanaman itu juga karena alasan teknis. Sebab, salak tidak terlalu membutuhkan perawatan rumit seperti tanaman lain. Salak pondoh juga punya nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan komoditas lain saat itu.

Dengan menanam salak pondoh di lahan 3500 meter, Waginem sudah bisa menghidupi keluarganya. Berbagai contoh kisah sukses ia sebutkan. Mulai dari membiayai sekolah, menikahkan anak-anaknya, memperbaiki rumah, dan membeli aneka barang rumah tangga. Namun, saat saya bertanya tentang nominal keuntungannya, Waginem agak kesulitan menyebut dan mengingat jumlah pastinya.

Ia mengatakan, dalam sekali panen salak pondoh—yang bisa dilakukan sekitar 2-3 hari sekali, hasil panen akan ditukarkan dengan aneka kebutuhan rumah tangga, seperti aneka bumbu dapur, lauk pauk, termasuk beras. “Dulu tiap panen dibawa ke Pasar Turi, bawanya pakai tenggok (keranjang bambu). Di sana juga tidak ditimbang, harganya dipukul rata per tenggok,” kisahnya.

Jatuhnya harga salak pondoh

Kisah tentang kejayaan salak pondoh juga diamini oleh Harmadi (40), warga Merdikorejo, Tempel, Sleman. Ia mengatakan, masa keemasan salak pondoh terjadi pada dekade 90-an. Harga salak pondoh di sekitar tahun 1993 bisa mencapai Rp4.000 per kg. “Mungkin terdengar rendah, tapi saat itu harga bensin saja cuma Rp600,” ungkapnya. Jika diandaikan dengan inflasi harga sekarang berarti harga salak pondoh paling tidak mencapai hampir Rp70.000 per kg.

Harmadi mengenang pada dekade 80-an, para petani di desanya berbondong-bondong menanam salak. Modalnya memang tidak sedikit, orang tuanya pun bahkan harus menjual emas untuk modal. Tapi, itu semua bisa balik modal dengan cepat karena salak pondoh tidak ada di daerah lain. Tingkat permintaan sangat tinggi.

Harmadi, petani salak asal Tempel. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Ia lantas memberikan gambaran, secara teknis, lahan 1000 meter persegi bisa ditanami 250 rumpun salak. Satu rumpun terdiri dari 2-3 pohon. Dalam setahun, setiap rumpun bisa menghasilkan hingga 12 kg salak pondoh. Panennya sendiri bisa terjadi secara berurutan sehingga memungkinkan si petani bisa panen salak setiap hari.

“Banyak petani di sini bisa beli mobil, tanah, dan bangun rumah tingkat gara-gara salak,” kenangnya. “Ada pula yang bisa 3 kali naik haji gara-gara salak pondoh, kami menyebut dia kaji salak,” tambah Harmadi.

Menjelang tahun 2000, keadaan mulai berubah. Pasalnya diam-diam benih salak pondoh dijual bebas ke luar wilayah Sleman. Lama kelamaan harga salak pondoh anjlok. Ini tentu saja sangat berpengaruh ke nasib para petani salak seperti Waginem dan Harmadi.

Waginem misalnya, ia mengenang saat salak bisa mencapai harga Rp10.000 per kg dengan wajah gembira. Namun saat saya bertanya soal kondisinya salak pondoh sekarang, raut mukanya tiba-tiba berubah. Menurutnya, saat ini, nilai ekonomi salak pondoh sudah tidak lagi seperti di tahun 90-an. Harganya kini hanya berkisar antara Rp2.000 sampai Rp3.000 per kg. Paling rendah, salaknya pernah dihargai Rp800 per kg!

Kebun salak di Turi. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Walaupun kondisi sudah berbeda, ia mengaku enggan jika harus berpindah dari komoditas salak. Alasannya pun lebih ke teknis seperti tingkat hama lebih tinggi jika berpindah ke padi dan biaya mengubah lahan tidaklah sedikit. “Sekarang walaupun tidak lagi semahal dulu, alhamdulilah tetap laku dijual, tidak pernah sisa,” tuturnya.

Perubahan harga salak juga berpengaruh ke cara petani dalam merawat tanamannya. Waginem misalnya, kini tidak lagi secara rutin memupuk tanamannya. Ia cenderung membiarkan tanaman salaknya dan tidak lagi melalukan praktik pembuahan manual (mbibiti) secara rutin seperti dulu

Begitu juga dengan Harmadi. Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa soal jatuhnya harga salak pondoh, karena menurutnya itu adalah soal hukum ekonomi. Sebab, petani juga tergiur dengan benih salak yang dibeli dengan harga tinggi kala itu. Toh, bukan petani pula yang ia anggap aktor bocornya benih salak pondoh, namun jaringan para pedagang besar. “Dulu kan belum canggih, mana mungkin petani bisa jual benih salak pondoh ke luar kota?” tegasnya.

Salak pondoh tak hanya di Sleman

Kepala Balai Penyuluh Pertanian, Pangan, dan Perikanan (BP4) Pakem, Sigit Widianto (50), juga mengakui hilangnya kekhasan salak pondoh Sleman masa sekarang. Ia tahu soal benih salak pondoh dijual ke luar daerah. Ia juga mengakui, praktik itu terjadi karena benih salak pondoh dihargai mahal dan otomatis para petani tergoda menjualnya. Menurut Sigit, hal itu semakin diperparah dengan sistem tanam di daerah lain yang menggunakan lahan lebih luas. Sementara, di Sleman, lahan untuk salak pondoh hanya terbatas di wilayah tertentu.

Mengenai hal ini, Harmadi juga berpendapat bahwa salak kemudian menjadi komoditas pilihan petani di luar Sleman karena perawatannya mudah. Satu pohon salak bisa berbuah hingga berusia 25 tahun tanpa perlu diganti. Belum lagi biaya tanam murah dan proses pasca-panen mudah. “Tinggal dipetik dan dibersihkan sudah laku dijual, coba bandingkan dengan padi,” selorohnya.

Di sisi lain, fakta bahwa banyak petani salak mulai berubah haluan juga turut diiyakan oleh Sigit. Ia tahu, beberapa petani mulai mengubah lahan salak menjadi kolam ikan dan tanaman holtikultura. Harmadi misalnya, ia kini mengubah beberapa lahan salak dengan komoditas holtikultura agar dapurnya tetap bisa mengepul. Kini, kata Harmadi, lahan yang ia tanami salak sekitar 5000 meter dengan 2 varietas yaitu salak madu dan salak pondoh super.

Salak pondoh. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Hilangnya kekhasan salak pondoh tidak membuat buah ini serta merta kehilangan nilai ekonominya. Ia tetap saja laku dijual walaupun harganya murah. Baik Waginem maupun Harmadi mengatakan bahwa salak pondoh tidak bernasib seperti sayuran yang saat tidak laku bisa dibuang-buang oleh para petaninya.

Inovasi juga terus dilakukan untuk menyelamatkan petani salak. Dinas Pertanian Sleman misalnya, kata Sigit, mendorong Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk membuat produk olahan salak pondoh. Contoh produk yang telah dihasilkan adalah manisan salak pondoh dan kripik salak. Langkah ini dilakukan supaya saat harga salak rendah, petani tetap bisa mendapatkan keuntungan tambahan.

Inovasi lain adalah dengan budidaya jenis salak baru bernama salak madu. Dibandingkan salak pondoh, jenis ini punya ukuran buah lebih besar dan rasa lebih manis. Dalam perbincangannya, Sigit mengatakan bahwa salak madu digadang-gadang akan menjadi buah khas Sleman di masa mendatang. Sementara dari segi kebijakan, Sigit menambahkan bahwa ada rencana jangka panjang dari pemerintah pembukaan lahan baru untuk tanaman salak di daerah Sleman.

Namun, munculnya salak madu juga turut dibayang-bayangi bocornya benih ke luar daerah seperti pendahulunya (salak pondoh). Sigit sadar akan hal itu, ia hanya berharap petani bisa belajar dari pengalaman salak pondoh. Sementara, hal sebaliknya malah dikatakan oleh Harmadi, “Sudah, benihnya (salak madu) sudah sampai ke mana-mana. Sampai sekarang masih jalan terus,” pungkasnya.

Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Warung Nasi Pecel Tumpang Mbah Mi 1961, Sambalnya Ada di Serat Centhini dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version