Kenangan kencan pertama sepasang kakek nenek, membuat rumah makan yang sudah berusia 43 tahun ini memiliki energi untuk terus hidup. Dari sebuah warung es krim dan tempat nongkrong mahasiswa di masa lalu, Rumah Makan Moerni 78 merawat nostalgia melalui menu-menu yang dijualnya.
*****
Dulu, tempat nongkrong mahasiswa pada zamannya
Ini adalah kali kedua saya mengunjungi RM Moerni 78. Sebelum pandemi, saya pernah ke sini sekali. Saya ingat betul, ibu lah yang mengajak kesini untuk menemaninya mengenang masa-masa kuliahnya dulu di Jogja. Katanya, rumah makan ini menjadi salah satu rumah makan favorit untuk nongkrong seusai kuliah bersama teman- teman.
Kata ibu, banyak kenangan ataupun cerita lahir di rumah makan yang sedari dulu terletak di Jl. Tukangan, sebelah barat stasiun Lempuyangan ini. Orang-orang rela kembali ke RM Moerni 78 hanya untuk nostalgia atau mengenalkan pada anak-cucu, meski dirinya sudah tak tinggal di Yogya lagi. Itu yang ibu lakukan ke saya.
Kata ibu, bangunan ini tak banyak berubah, tetap mempertahankan bangunan rumah lawas dengan ubin-ubin yang tertata di dinding rumah, seperti rumah nenek saya dulu. Teralis lawas pun masih terpasang sebagai penyekat jendela, hanya ada sebagian dinding yang di cat ulang, tapi tak menghilangkan kesan kalem dan lawasan.
Kemarin, di hari Selasa, 17 Agustus saat mengunjungi rumah makan ini lagi, saya disambut langsung oleh Mas Oki yang memberikan daftar menu kepada saya. Rupanya ia adalah owner sekaligus cucu dari pemilik awal. Walau sudah turun temurun hingga generasi ketiga, rumah makan yang dahulu dikenal dengan Warung Es Moerni 83 ini tetap konsisten menjaga value-nya demi para pelanggan.
Hanya saja, sempat terjadi perubahan angka dari 83 menjadi 78, karena banyaknya anggapan angka 83 adalah tahun berdirinya RM Moerni. Padahal, kakek Oki memilih angka 83 karena sesuai dengan nomor rumah tempat RM Moerni didirikan.
Rumah tempat saya makan ini dulunya adalah kediaman keluarga kakek Oki. Sekitar empat puluh tiga tahun yang lalu, sang kakek berkeinginan untuk membuka usaha kuliner dengan mencoba keberuntungan pada olahan es krim yang dibuat sendiri. Pada awal berdirinya, rumah makan yang dari dulu sudah diberi nama ‘Moerni’ ini hanya menyediakan es lilin dan es puter. “Dulu kami bukan rumah makan, cuma jualan biasa. Esnya pun bukan pakai susu, tapi pakai santan,” ucap Oki.
Tak hanya dijual secara langsung, kakek Oki juga menerima pesanan katering untuk hajatan ataupun sunatan. Selang beberapa waktu, dirinya mulai merambah ke menu es lain yang fenomenal hingga sekarang, yaitu es teler.
Kata para pelanggan lama, kekhasan es buatan kakek Oki terletak pada satu bahan yaitu manalaga. Konon, manalaga merupakan semacam anggur yang cukup populer di kalangan orang zaman dulu. Racikan es dicampur dengan manalaga memberi sensasi dingin sekaligus hangat di dalam tubuh bagi para pembelinya. “Kata orang-orang kayak minum es jahe, dingin tapi hangat,” ucap Oki.
Tak heran, banyak orang yang berbondong-bondong kemari untuk sekadar memuaskan rasa penasaran atau menjadi pelanggan tetap. Sayangnya racikan es dengan manalaga tak bertahan lama.
“Kakek mulai kesulitan cari manalaga, kayaknya udah mulai ketat perizinan alkohol waktu itu.” Oki melanjutkan, meski demikian pelanggan warung es kakeknya tak serta-merta langsung pergi. Mereka tetap setia pada es lilin dan es teler milik kakek, bahkan terus menurun hingga generasi-generasi selanjutnya.
Tak dimungkiri Oki, salah satu kekuatan dari rumah makan ini adalah bantuan dari pelanggan lama yang merekomendasikan RM Moerni 78 pada anak-cucunya. “Sering banget tiba-tiba orang datang kesini dan bilang kalau tau warung ini dari neneknya atau ayahnya dulu,” ujar Oki sambil tertawa.
Meski cukup populer pada zamannya, kakek Oki terus memberikan inovasi pada warung yang baru saja dirintis. Sukses dengan menu es lilin dan es teler, sang kakek mulai merambah ke menu-menu makanan rumahan. Penambahan beberapa menu juga dilakukan secara perlahan demi menuruti permintaan pelanggannya.
Dari es lilin dan es puter ke rumah makan rumahan
Transformasi warung es menjadi rumah makan diawali dengan peluncuran masakan pertama dari RM Moerni 78, yaitu bistik sapi. Bahkan, ketenaran bistik sapi ala RM Moerni 78 ini tetap bertahan hingga sekarang.
Kebetulan, saya juga pernah mencicip bistik sapi saat berkunjung bersama ibu saya. Rasanya manis asam, gurih, dan khas. Seperti bistik kebanyakan, penyajiannya menggunakan beberapa sayuran dan kentang sebagai sumber karbohidrat. Orang-orang sering menyebutnya hampir mirip seperti selat Solo. Hanya saja, daging yang disajikan merupakan daging giling olahan seperti patty burger.
“Resepnya murni dari kakek, soal rasa banyak yang bilang masih sama seperti dulu,” cerita Oki. Rasa yang tetap terjaga menjadi salah satu alasan orang-orang kembali datang untuk memesan bistik sapi.
Selain bistik sapi, kakek Oki juga mengembangkan menu makanan rumahan lainnya yaitu lontong opor dan nasi bakmoy yang menjadi makanan terlaris hingga kini. Kemarin saat saya datang, saya mencicip kedua makanan itu. Satu makanan yang menurut saya berkesan adalah lontong opor. Perpaduan lontong, opor ayam, krecek, dan telur langsung mengingatkan hidangan rumah saya ketika menjelang hari raya. Apalagi ditambah bubuk dele kesukaan nenek saya zaman dulu. Rasanya benar- benar seperti nostalgia!
“Nasi bakmoy, lontong opor, bistik, dan es teler lah yang sering dicari-cari orang,” ucap Oki. Pria berkaos hijau itu menceritakan, walau sudah punya menu-menu laris, dirinya tak mau berhenti untuk terus berinovasi dan mengembangkan RM Moerni 78, salah satunya dengan menambah beberapa menu makanan lain seperti bakso, yamie, rawon, hingga pempek.
“Kita ngikut lidah orang Indonesia, kalua gak nasi, mie, ya bakso, Atau daripada bingung mau makan apa, ke sini aja, ada semua,” lanjut Oki sambal tertawa renyah.
Penamaan RM Moerni 78, diambil dari kata ‘murni’. Sesederhana namanya, murni memiliki arti kemurnian dan keaslian yang selalu dijaga rumah makan ini dalam menyajikan minuman dan masakan mereka. Sejak masih berjualan es lilin dan es puter, kakek Oki tetap kekeuh mempertahankan bahan alami sebagai komposisi esnya.
Mulai santan hingga gula, beliau tak pernah mau memakai bahan- bahan sintesis yang mungkin bisa lebih murah. Seperti wasiat di balik nama ‘Moerni’, hingga kini Oki selalu berusaha untuk tetap memakai bahan-bahan murni pada setiap minuman dan makanannya. “Saya berani menjamin, bahan yang kami pakai itu murni semua, tanpa pemanis buatan,” ujarnya.
Akan tetapi, pergantian karyawan juga tak dimungkiri menjadi salah satu kendala yang dihadapi rumah makan yang sudah berdiri lama ini. Pada tiap generasi, pastinya ada karyawan yang datang dan pergi silih berganti. Hal ini diakui oleh Oki menjadi tantangan tersendiri untuk tetap menjaga rasa setiap masakan agar tetap sama. Resep memang sudah ada sejak zaman kakeknya, namun beda tangan si pemasak bisa saja membuat rasanya menjadi lain, bahkan sangat berbeda.
“Padahal, garamnya sama, gulanya sama, sendoknya sama, pokoknya sama sesuai resep,” ucap Oki terheran-heran, namun ada satu cara antisipasi yang dimiliki oleh pria asli Jogja itu.
“Saya tahu cara mengolahnya, dan saya hafal betul standar rasa di RM Moerni 78 seperti apa. Jadi, saya dan kakak yang biasanya memastikan rasanya tetap sama,” lanjutnya.
Kenangan kencan pertama
Semasa remaja, terkadang ia dan kakaknya memang ikut membantu untuk menjaga rumah makan atau sekadar belajar cara pengolahannya. Kegiatan-kegiatan Oki dulu lah yang sangat membantu Oki untuk menghandle rumah makannya, terutama dalam bidang cek rasa.
Namun, pada masa itu, dirinya memang tidak kepikiran dan memiliki niat sekalipun untuk meneruskan usaha milik kakeknya. Tapi pilihannya sekarang sangat disyukuri dan tak pernah menjadi penyesalan bagi kehidupan Oki. Berjuang untuk menjaga RM Moerni 78 yang ia lakukan bersama kakaknya ini menjadi tantangan dan cerita sendiri baginya.
Bahkan, banyak cerita dari pelanggan yang membuat Oki semakin termotivasi. Tak dimungkiri Oki, salah satu kekuatan dari rumah makan ini adalah bantuan dari pelanggan lama yang merekomendasikan RM Moerni 78 pada anak-cucunya. “Sering banget tiba-tiba orang datang ke sini dan bilang kalau tau warung ini dari neneknya atau ayahnya dulu,” ujar Oki sambil tertawa.
Pernah suatu waktu, ada satu pasangan yang sudah cukup tua datang ke RM Moerni 78. Mereka menghampiri Oki yang sedang berjaga di depan meja kasir. Oki tersenyum ramah sambil memberikan daftar menu seperti biasanya.
“Ini dulu rumah makan kencan kami pertama, loh,” ucapan pasangan tua itu membuat Oki terenyuh, ternyata di rumah makan yang tua ini menyimpan banyak makna bagi sebagian orang.
Sepasang orang tua itu mungkin sekadar mengenang kencan pertama dan es krim yang di pesannya. Namun, bagi Oki, sepasang orang tua itu membuatnya bersemangat mengelola RM Moerni. Sejak kedatangan pasangan tua itu dan orang-orang yang bercerita ke Oki tentang kenangannya bersama rumah makan ini, ia memiliki tekad untuk tetap menjaga nilai-nilai yang sudah kakeknya bangun demi para pelanggannya.
Saya mengangguk-angguk sambil iseng bertanya, “hmm, nggak mau diubah ala-ala anak muda aja nih, mas?”
Mendengar pertanyaan saya, Oki tertawa lagi. Ia mengaku sempat kepikiran hal itu, namun tentunya perubahan konsep yang lebih ‘milenial’ tidak akan ia lakukan pada lokasi asli RM Moerni 78 yang saat ini menjadi tempat kami mengobrol.
Bangunan bekas rumah kakeknya tetap ia pertahankan walau bagaimanapun kondisinya, renovasi kecil-kecilan juga dilakukan secara hati-hati agar tidak ada perubahan yang sangat ketara bagi pelanggan lamanya.
Ya, lagi-lagi karena alasan pelanggan lama. Oki tidak mau pelanggan lamanya merasa kehilangan tempat nostalgia jika RM Moerni 78 dirombak habis-habisan, apalagi dengan gaya milenial. “Yang di sini, biar aja kayak gini suasananya. Anak muda juga bisa kok makan di sini, tapi kalau pengen suasana yang lebih ‘muda banget’ memang udah direncanakan ada di cabang baru nanti,” ujarnya.
Ditanya tentang calon lokasi cabang barunya nanti, Oki nyengir lagi. Katanya, lokasi baru memang belum ditentukan secara pasti namun untuk konsep sudah ada. “Tunggu kondisi pandemi cepat membaik, baru kami fokus kesana,” ujarnya.
Walau belum ada cabang baru, tapi Oki telah memiliki anak RM Moerni 78 berbentuk toko es krim yang dibangun di sebelah rumah makan ini. Mata saya melirik di sebelah kanan tempat saya duduk, memang ada toko kecil bernama ‘Conefetti Ice Cream’ dengan nuansa yang lebih muda dibanding rumah makannya.
“Selain buat anak muda yang hobi nongkrong, Conefetti Ice Cream ini juga kami bangun bagi orang-orang yang rindu dengan es puter ataupun es lilin kakek saya, kan di rumah makan ini menu tersebut sudah tidak ada,” ujarnya.
Ojek online, penyelamat di masa pandemi
Menjadi generasi ketiga penerus RM Moerni 78, membuat Oki terus belajar dari pengalaman- pengalaman pendahulunya. Sudah bukan rahasia lagi jika usaha apalagi di bidang kuliner sering mengalami naik turun. Salah satu yang sangat diingat Oki adalah ketika ayahnya menjadi pengelola rumah makan ini.
Masa itu adalah masa transisi bagi ayah Oki, beradaptasi dengan kondisi bisnis rumah makan ditambah dengan mulainya perkembangan era digital. ”Warungnya sempat sepi, sepi banget dan sempat kelimpungan,” ujarnya.
Beruntungnya, ayah Oki tetap mampu mempertahankan RM Moerni 78. Sedikit demi sedikit beradaptasi dengan perkembangan teknologi walau hanya seadanya.Cara sederhana itu dicontoh oleh Oki dalam menghadapi kondisi saat ini, apalagi ditambah oleh adanya pandemi yang tak kunjung usai. “Waktu awal pandemi tahun lalu, pendapatan hampir menurun 50%,” keluhnya.
Meski demikian, ia mengaku adanya perkembangan teknologi, khususnya tren ojek online membantu Oki dalam membangkitkan kembali rumah makan ini. Ketika orang-orang merasa takut untuk keluar rumah mencari makan, ojek online menjadi jawaban bagi Oki. Banyak orderan masuk dari ojek online membantu meningkatkan pendapatan rumah makan yang sudah cukup tua ini.
Walau terkadang, berjualan melalui fitur ojek online ternyata tidak semudah yang Oki bayangkan sebelumnya. Tidak adanya komunikasi langsung antara Oki dan para pembeli, membuat terjadi kesalahpahaman antara dia, pembeli, dan driver. “Tapi bukan suatu masalah besar. Jarang terjadi, tapi sempat ada komplain,” ucap Oki.
Obrolan kami berdua diakhiri karena hari sudah menjelang sore, meski RM Moerni 78 tutup hingga pukul 8 malam (selama PPKM) namun Oki tidak berada di sana seharian penuh. Seperti para karyawannya, Oki juga bekerja secara sistem shift dengan sang kakak.
Tak dimungkiri Oki, salah satu kekuatan dari rumah makan ini adalah bantuan dari pelanggan lama yang merekomendasikan RM Moerni 78 pada anak-cucunya. “Sering banget tiba- tiba orang datang kesini dan bilang kalau tau warung ini dari neneknya atau ayahnya dulu,” ujar Oki sambil tertawa.
Sejak kedatangan pasangan tua itu dan orang-orang yang bercerita ke Oki tentang kenangannya bersama rumah makan ini, Oki memiliki tekad untuk tetap menjaga nilai-nilai yang sudah kakeknya bangun demi para pelanggannya.
BACA JUGA Fried Chicken Cak Yunus Memang Kaki Lima, tapi Istimewa dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.