Sebelum era bus Trans Jogja, Yogyakarta adalah rumah bagi Kopata, Aspada, Kobutri, Puskopkar, dan Damri. Armada bus kota ini pernah memberi warna dalam hidup orang-orang yang menyusuri jalanan Kota Pelajar.
***
Dina Indriyani (24) yang ketika itu masih SMP, sibuk membenarkan rambutnya di pinggiran Jalan M.T. Haryono. Tiap pulang sekolah, Dina selalu di sana menunggu bus kota. Dina anak orang kaya, bisa saja ia dijemput oleh supir pribadi ayahnya. Namun, ada satu alasan khusus yang membuat dirinya memilih untuk tetap pulang sekolah naik bus Kopata jalur 01. Apalagi jika bukan laki-laki bertubuh jangkung yang saat itu adalah murid SMA 7 Yogyakarta yang juga naik rute yang sama dengannya.
“Dia turun di Jalan Veteran, sedang aku turun di Jalan Pramuka. Dia adalah alasan aku mau-maunya pulang sekolah naik bus kota. Dan juga mau-maunya mencium bau kampas rem dan bau ketiak abang kondektur,” kenang Dina ketika membahas bus kota di Jogja akhir Februari lalu.
Dengan naik bus kota, itu adalah satu-satunya cara Dina untuk melihat laki-laki jangkung itu berlama-lama. Di balik atap bus yang sudah mengelupas, dan pegangan bus yang sudah berkarat, pipi Dina merona.
Kisah Dina hanyalah satu segmen dari jutaan kisah yang tersimpan dalam bus kota di Jogja—yakni Kopata, Kobutri, Aspada, Puskopkar, dan Damri—dalam tiap jalurnya, 01 sampai 19. Yang akan Anda baca, adalah beberapa kisah lainnya. Hanya beberapa saja, karena tak mungkin kami himpun semua kisah indah, sedih, dan menarik di bus kota Jogja dalam satu laporan liputan.
Kenangan memalukan di dalam bus kota
Leony Sherena Melati (23) baru saja pulang sekolah dari SMP N 1 Depok, Sleman. Ia bersama kawannya bergegas dari Terminal Condongcatur menuju rumahnya di daerah Jalan Gejayan, belakang Universitas Sanata Dharma. Leony yang lelah sehabis pulang sekolah, menyandarkan kepalanya di jendela bus. Leony bersandar di kaca jendela bus kota yang saat itu ada semacam teralis besi melintang dan besi itu sudah berkarat.
Bus Kopata berjalan cepat, sopir bus bekerja sendirian. Ia tidak ditemani oleh kondektur. Ketika bus sudah mendekati Lapangan Realino, dekat Sanata Dharma, mata Leony kian lelah dan hampir tertidur, supir bus Kopata langsung berteriak, “Realino, Realino, ndang mudun selak mubeng meneh!”
Leony yang kaget pun langsung mencoba berdiri dan berlari menuju pintu keluar bus. Sayang sekali, tubuhnya kembali terpelanting ke kerusi karena kerudung model tekuk khas mendhes era 2010-an yang saat itu dipakai Leony tersangkut di teralis besi jendela bus. Leony tak bisa melepaskannya, sedang kawannya entah sudah ke mana.
Leony masih panik dan grusah-grusuh karena sopir bus Kopata katanya mau cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba saja kerudung yang dipakai Leony lepas dan kawan sebelahnya tertawa ngakak. “Goblok! Ndase meh ucul!”
“Supir bus ndlogok!” kata Leony ketika mengenang kisah tersebut. Kisah hampir serupa juga pernah dialami oleh banyak penumpang selain Leony. Saat turun dari bus kota, adalah saat yang paling menentukan. Seperti ujian, saat turun dari bus kota tingkat kesulitannya setara dengan obstacle BentengTakeshi.
Bagi Brigitta Adelia Dewandari (21), ketika SD, jatuh dan kesandung adalah makanan sehari-hari. Bahkan sampai ia kuliah dan beranjak dewasa, jatuh dan kesandung masih sering ia alami. Namun, jika membicarakan tentang bus kota dan sisi ketidakhati-hatiannya, ada satu kejadian yang tak akan pernah dilupakan oleh perempuan yang akrab disapa Gita ini.
“Aku jatuh dari bus kota dua kali,” katanya dengan nada bangga, walau saya tak tahu apa yang layak dibanggakan dari hal tersebut. Di hadapan Gita, semua jadi makna, pelajaran, sekaligus perenungan. Dua kali jatuh dari bus kota adalah dua kejadian yang serupa. Ketika ia hendak turun dari bus, belum kakinya menapak ke tanah, tiba-tiba supir bus sudah kembali melakukan akselerasi untuk melanjutkan perjalanan.
Jatuh yang pertama, beruntung tubuh Gita terhuyung ke depan dan menabrak tembok rumah warga. Tubuh Gita selamat dan tidak sampai ndlungup dan juga tidak sampai cedera serius. Gita mengatakan bahwa tragedi di tahun 2010 itu terjadi ketika ia naik Aspada jalur 15 dari SD Pangudi Luhur I menuju rumahnya di Sidoarum, Godean.
Gita selalu menghafal, jika Puskopkar, kecepatannya masih bisa diterima akal sehat. “Aspada ki tobat tenan kae,” katanya. Saat itu, Gita dihadapkan dua pilihan. Menunggu bus selanjutnya, atau langsung masuk ke Aspada jalur 15 yang sedang ngetem di pangkalan bus dekat BNI Trikora. Pilihan yang sulit untuk anak SD yang ingin cepat-cepat pulang ke rumah.
Kondisi bus tanpa kondektur. Kata Gita, hal tersebut sudah jadi pemandangan yang biasa. Sampai di Indomaret Sidoarum, Gita buru-buru turun. Supir bus mengambil ancang-ancang untuk kembali ambil gas. Belum kaki Gita menapak tanah, bus sudah melaju. Alhasil, tubuh Gita terpental ke jalanan dan bus Aspada jalur 15 melaju terus meninggalkan Gita seperti gebetanmu yang suka ghosting.
“Aku ditolongin mas-mas Indomaret,” kata Gita yang dalam ceritanya, mas-mas Indomaret itu memapah Gita sampai kompleks rumahnya. Kaki Gita keseleo, tidak masuk selama tiga hari, dan ketika masuk kelas, ditanya guru, Gita menjawab bahwa kakinya keseleo karena habis jatuh dari bus Aspada, pecah lah tawa kawan-kawannya dan menjadi omongan sampai sekarang. Tidak ada pelajaran dari kisah Gita selain, kadang menjaga privasi itu penting.
Bertanya langsung kepada mantan sopir dan kondektur bus kota
Kejadian yang dialami oleh Leony dan Gita mendorong saya untuk mencari tahu sebab apa para supir ini selalu grusah-grusuh. “Ya, jelas kejar setoran,” kata Durmaji (48). Ia merupakan bekas supir bus kota. Durmaji saya temui saat ia memberi makan ayam-ayamnya. Kini dirinya memang sibuk ngurusin ternak ayam demi menyambung hidup.
Saya menceritakan kisah dan kekesalan Leony dan Gita kepada Durmaji, ia tertawa ngakak sampai-sampai membuat ayam-ayamnya yang ia ternak lari ketakutan. Kata Durmaji, tipikal tiap supir bus kota itu beda-beda. Ada yang peduli dengan penumpang, ada juga yang luweh dan mengutamakan ngejar setoran. “Banyaknya supir-supir yang seperti diceritakan mbak-mbaknya tadi, bikin supir bus kota dicap begitu (jelek dan ugal-ugalan) semua,” katanya.
Durmaji adalah supir bus kota jalur 02 dengan trayek dari Terminal Giwangan menuju Bunderan UGM. Rute jalur 02 memiliki rute dari Terminal Giwangan, melewati Ring Road Selatan, dan menuju Jalan Parangtritis. Durmaji mengenang, yang naik dulu kebanyakan anak sekolah dan juga mahasiswa. Para pelajar yang berhamburan menaiki busnya, benar-benar menggambarkan bahwa sebab itulah Jogja memiliki julukan sebagai Kota Pelajar.
“Yang naik, kalau pagi, bahkan sampai nggandul,” kata Durmaji. Nggandul di sini artinya sampai penuh sesak dan ada yang bergelantungan di pintu bus. Durmaji sebelum memegang jalur 02, ia pernah juga menyupiri bus kota jalur 10 pada tahun 1988, ketika Ring Road masih pating gronjal tapi rejeki sudah alhamdulillah, begitu menurut keterangan Durmaji.
Kenapa banyak pelajar yang tertarik menggunakan bus kota saat itu? Durmaji berpendapat bahwa pelajar saat itu punya keistimewaan. Tarif untuk pelajar itu hanya setengah harga dari penumpang umum. Ia mencontohkan pada tahun 1995, tarif untuk pelajar hanya 100 rupiah, sedangkan umum 300 rupiah. Masih ada satu keuntungan lagi, mau itu perjalanan jauh atau dekat, ongkos untuk pelajar tidak akan dikenai tambahan sepeser pun.
Durmaji pernah mengantarkan seorang mahasiswa yang ketiduran di dalam busnya. “Mungkin capek,” katanya. Yang seharusnya ia turun di Pujokusuman, Keparakan, malah mblandang ke Terminal Umbulharjo. Saat itu sudah hampir mendekati Magrib, langit Jogja sudah luruh hampir dimakan gelap, namun Durmaji tetap mengantarkan mahasiswa tersebut bahkan sampai depan rumahnya.
Untuk menghafal trayek, sebelum bus kota digantikan dengan Trans Jogja, Durmaji mengatakan bahwa jalur 01 sampai 07 itu menuju ke Bunderan UGM. Sedangkan untuk rute masing-masing jalur, baik itu 01 sampai 07 punya rute berbeda-beda. Untuk jalur sisanya, 08-19 kebanyakan menuju terminal-terminal kecil di Jogja dan melewati Ring Road, lantas ambil jalur ke dalam kota.
Menurut kisah Leony dan Gita, bus kota yang mereka naiki kadang tidak ada kondekturnya. Durmaji menjawab keresahan tersebut. Katanya, ia selalu membawa kondektur ketika memacu busnya dan mencari penumpang. Durmaji beranggapan bahwa jika tidak membawa kondektur, ia akan kesulitan untuk menerima ongkos dan juga mendengarkan penumpang ketika mau turun.
Sarjono (60) adalah mantan kondektur Kobutri, bus yang memiliki kepanjangan Koperasi Bina Usaha Transport Republik Indonesia dan berbentuk angkot dengan sasis Isuzu Bison keluaran 1984.
Menurut keterangan Sarjono, ketika Kobutri tidak ada kondektur, itu berarti si kondektur sedang istirahat makan siang, jadi supir ngider sendiri. Karena ukuran Kobutri relatif kecil seperti angkot, supir kadang tidak kesulitan untuk melihat penumpang sudah turun dari bus atau belum.
Angkutan umum lain di Jogja adalah armada kuning ini, namanya KOBUTRI.
Sampai sekarang saya ngga ngerti kepanjangan KOBUTRI itu apa, tapi waktu muda, saya menangkapnya sebagai KOPERASI BUSTANIL ARIFIN. Tajir juga Pak Bustanil Arifin* punya usaha angkot.
(*mantan Kabulog/Menkop) pic.twitter.com/6dSpsVFTMg
— Fajar Nugros (@fajarnugros) June 23, 2020
Mantan kondektur Kobutri yang saat ini berdagang unggas dan codot berkisah bahwa sering sekali penumpangnya ada yang tidak membayar. “Ikhlaskan saja,” kata Sarjono. Banyak alasan penumpangnya tidak membayar. Mulai dari alasan tidak punya uang, kecopetan, sampai lupa membawa dompet.
Kobutri yang dibawa oleh Sarjono ini memiliki trayek jalur 16 dan 17. Pada tahun 2000-an awal, jika jalur 16 itu disebut A, maka 17 itu disebut B. Sebenarnya jalur itu sama saja, yang membedakan hanya pulang dan perginya. Sederhananya, jika bus berangkat dari terminal, maka ia adalah jalur 16 atau A, maka ketika balik menuju terminal maka bus itu adalah jalur 17 atau B.
Laki-laki yang sebelumnya bekerja di PT. Hardaya Aneka Shoes Industry ini mebeberkan hal menarik. Hasil sehari ketika tahun 2000-an awal, ia bisa mendapatkan 10 ribu rupiah, hasil yang terbilang besar di zamannya karena satu penumpang dikenai biaya 300 rupiah, sedang pelajar 100 rupiah. Hasil itu didapat dari mulai berangkat pada pukul enam pagi sampai enam petang. Pembagian setorannya adalah, untuk owner 1/3 sedangkan untuk kru bus 2/3 dari hasil.
Saya mencoba menghubungi Endah Yanti, salah satu owner sekaligus pemegang saham Kobutri untuk menanyai tentang penghasilan rata-rata sebulan, ia belum bisa memberikan data karena kesibukannya sekarang. “Masih sibuk ngurus usaha, Mas. Belum sempat buka-buka buku (buku rekap),” katanya.
Bus kota terakhir yang melintasi Yogyakarta
Pada 2018, Kopata yang sudah terlihat lelah dengan sasis bus yang sudah ketinggalan zaman itu masuk ke Terminal Giwangan. Bus tersebut adalah bus jalur 01, 04, dan 12. Jalur 01 ini bertujuan ke Tugu via Pojok Beteng Wetan. Jalur 04 tujuan Bunderan UGM via Gembiraloka. Sedang jalur 12 memiliki tujuan ke Bunderan UGM via Kantor Pos Jogja.
Hanya ada beberapa Kopata yang melintas di Jogja, sedang sisi jalan lainnya diisi oleh bus baru berwarna hijau, terdapat halte yang melindungi calon penumpang dari terik dan hujan, pula berpendingin ruangan. Bus yang dinaungi oleh Dinas Perhubungan ini bernama Trans Jogja. Tahun 2018, Kopata menjadi bus kota terakhir sebelum kemudian terintegrasi menjadi Trans Jogja seutuhnya.
Namun, sebelum melihat senjakala bus kota terakhir yang melintasi Yogyakarta, ada baiknya kita kembali ke tahun 1980-an, tahun di mana bus kota berukuran medium ini pertama kali ada, tumbuh, dan berkembang di Jogja.
Bus-bus ini menjamur dalam dekade ‘80-an, di mana kebanyakan dari mereka yang melintasi UGM, disebut dengan Bus Kampus. Dari sinilah banyak hal-hal puitis yang muncul, mengaitkan antara UGM dengan moda transportasi ini.
Sebelum Kopata muncul untuk pertama kalinya di Jogja, Broto Darmadi di sebuah postingan Facebook mengatakan ada bus berbentuk angkot bernama PPJT, PPJR, PPJP. Masing-masing memiliki arti Persatuan Pengemudi Jalur Timoho, Jalur Rahayu, dan Jalur Pingit. Ketika peminatnya membludak, barulah bus dengan sasis Mitsubishi Colt Diesel seperti Kopata, Aspada, dan Puskopkar berdatangan.
Bus Kopata (Koperasi Angkutan Umum Perkotaan) yang pertama hadir pada 1980-an adalah bus pertama yang dikelola secara baik dan memiliki izin trayek resmi. Setelahnya hadir Aspada, Puskopkar, dan Kobutri yang juga dikelola oleh koperasi-koperasi angkutan kota. Dekade ini adalah puncak jaya bagi moda transportasi umum yang selalu mengisi arteri jalanan Kota Jogja. Akhir dekade 80-an, tepatnya pada 1989, muncul Damri yang lepas dari perusahaan angkutan berbadan hukum koperasi.
Di masa ini, muncul banyak kisah. Mulai dari kejadian susah yang dialami oleh Leony dan Gita di atas, maupun kejadian penuh kasih seperti yang dialami oleh Dina Indriyani yang rela mencium aroma ketiak kondektur demi bersua dengan laki-laki idamannya di dalam bus. Atau kejadian penuh haru karena bus kota banyak berjasa mengantarkan mereka dari dan ke rumah menuju sekolah.
Trayek bus kota ditentukan oleh koperasi masing-masing bus itu bernaung, sehingga menghasilkan tumpang tindih dan semrawut (sebelum ada aturan rolling). Bayarannya ditentukan melalui setoran, bukan ketetapan bulanan. Itu tandanya, makin ngebut, makin banyak penumpang yang dibawa, makin banyak pula pundi-pundi rupiah yang dibawa. Itu adalah salah satu alasan jatuhnya bus kota di Jogja dan digantikan dengan adanya Trans Jogja.
Reporter: Gusti Aditya
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sejarah Panjang Dawet Ayu Banjarnegara: Tak Mau Mematenkan Malah Bagi Resep dan liputan menarik lainnya di Susul.