Mati-matian Utang demi Lanjut Kuliah di Kampus Surabaya, Ijazah malah Lenyap

Mati-matian Utang buat Bayar UKT demi Lanjut Kuliah di Kampus Surabaya, Pas Tinggal Skripsi malah DO, Nggak Nyesel karena Ijazah Sarjana Nggak Laku. MOJOK.CO

Ilustrasi - Mati-matian utang UKT demi Lanjut Kuliah di Kampus Surabaya, pas tinggal skripsi malah DO dan nggak nyesel karena ijazah sarjana nggak laku. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Mati-matian utang buat bayar UKT agar bisa terus lanjut kuliah di kampus Surabaya, tapi ijazah malah lenyap begitu saja. Karena ketika tinggal skripsi malah lebih memilih DO, sehingga tak dapat ijazah kelulusan.

Pilihan DO dan tak punya ijazah sarjana itu tak membuat menyesal, sebab faktanya banyak ijazah sarjana yang nggak guna alias susah buat cari kerja. Begitu kira-kira jalan yang Wafa (27) pilih. Seorang mantan mahasiswa di Kampus Surabaya asal Blitar, Jawa Timur.

Kami akhirnya tersambung lewat telepon lewat tengah malam, Jumat (5/7/2024) pukul 00.30 WIB. Wafa baru saja pulang dari tempat kerjanya: sebuah tempat makan di Blitar.

Dari nada bicaranya, sepertinya ia sudah mulai ngantuk. Tapi meski begitu, ia tetap antusias bercerita. Karena kalau besok pagi, ia tak menjamin bisa mengangkat telepon.

“Karena kalau pagi sudah harus menyiapkan jualan susu kedelai. Itu nanti aku titipkan di warung-warung. Kalau sekolah masuk, biasanya aku juga nitip di kantin sekolah atau pesantren,” ujar mantan mahasiswa Surabaya itu.

Kuliah di kampus Surabaya demi perbaiki masa depan

Jauh sebelum hari ini, Wafa sempat mencicipi kuliah di sebuah kampus di Surabaya sejak 2017 silam. Sebenarnya ia lulus SMA pada 2016, tapi ia memilih gap year satu tahun untuk bekerja sebagai kru sound system milik saudaranya di Surabaya.

Satu tahun kemudian, setelah ia memiliki cukup tabungan, ia memutuskan untuk kuliah.

Awalnya ia mengaku tak begitu tertarik untuk kuliah. Sebab, kondisi ekonomi keluarga Wafa sebenarnya tidak terlalu bagus. Bapaknya sakit-sakitan, sehingga tak bisa menjadi tulang punggung keluarga. Alhasil, ibunya lah yang mengambil peran dengan jualan di sekolah. Ia juga masih punya dua adik yang pendidikannya perlu dipikirkan.

“Tapi ya setelah kupikir-pikir, kayaknya aku perlu kuliah demi masa depan yang lebih baik. Barangkali ijazah sebagai sarjana nanti bisa buat bantu keluarga,” terang Wafa.

Untuk keperluan kuliah, jelas tidak mungkin kalau Wafa minta sokongan dana dari sang ibu. Oleh karena itu, ia bertekad untuk membiayai kuliahnya sendiri. Caranya, mau tak mau ya harus kuliah sambil kerja.

Mati-matian biayai kuliah di kampus Surabaya

Pada 2017, Wafa akhirnya resmi menjadi mahasiswa Surabaya. Di semester pertama dan keduanya, ia kuliah nyambi sebagai kru sound system. Dari sana lah ia bisa bayar UKT atau untuk keperluan hidup sehari-hari.

“Cuma sering lah ninggal kuliah. Akhirnya ada beberapa matkul yang ngulang. Ya bagaimana lagi. Kalau buat pengajian atau selawatan yang hanya semalam, oke lah. Besoknya masih bisa kuliah. Tapi kalau buat acara kawinan misalnya, yang lebih dari sehari, wah kuliah yang tinggal dulu,” beber Wafa.

Ketika masuk semester 3, Wafa lantas memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya tersebut. Terlebih ia terlibat konflik dengan saudaranya si pemilik sound itu, Ia lalu mencoba mencari pekerjaan lain yang secara waktu masih bisa berkompromi dengan kuliah.

Lalu ia bekerja di sebuah warung makan Madura di Surabaya. Gajinya memang lebih kecil dari saat menjadi kru sound system. Tapi paling tidak waktunya masih bisa ia atur. Meskipun tentu agak ngoyo. Pagi sampai sore ia akan kuliah, lanjut sore sampai tengah malam ia akan bekerja.

Namun karena gaji yang tak seberapa, Wafa agak sulit mengatur tabungan. Alhasil, saat hendak masuk semester 4, ia terpaksa ngutang ke teman-temannya demi bisa bayar UKT dan lanjut kuliah di kampus Surabaya tersebut.

Singkat cerita, begitulah kehidupan Wafa dari semester 4 hingga semester 12. Ia kerap kepepet utang saudara atau teman-temannya karena uang hasil kerjanya tak cukup untuk bayar UKT.

“Kalau mentok nggak ada yang bisa diutangi, terpaksa cuti dulu. Tapi waktu itu memang pikiranku, aku sudah ambil keputusan ini: kuliah sambil kerja di Surabaya. Jadi ya harus kujalani. Nggak ada alasan buat berhenti kuliah. Kalau nggak ada biaya buat UKT, maka harus cari gimana caranya. Terpaksa utang ya utang,” jelas Wafa diiringi tawa kecil.

Baca halaman selanjutnya…

Memilih DO padahal tinggal skripsi karena tahu ijazah sarjana susah buat cari kerja 

Memilih DO padahal tinggal skripsi

Sejak di semester 12 itu, sebenarnya Wafa sudah proses mengerjakan skripsi. Proposalnya bahkan sudah jadi, ia tinggal menyerahkan ke pihak dosen untuk kemudian menjalani sidang proposal.

Namun, saat memasuki semester 13, Wafa untuk kesekian kali tak punya uang untuk bayar UKT. Sementara ia sudah tak punya muka lagi jika harus utang ke saudara atau temannya.

“Karena buntu dan aku eman, sudah tinggal skripsi soalnya, aku akhirnya menghadap ke dosen. Barangkali ada solusi. Tapi solusinya ya cuti dulu biar nggak terbebani bayar UKT, terus ngumpulin duit buat bayar nanti pas aktif lagi,” kata Wafa.

Solusi yang, menurut Wafa, tentu sangat tidak membantu. Sebab dalam bayangan Wafa, ia berharap kampusnya di Surabaya itu bisa memberi pinjaman. Karena memang ada lembaga yang mengurus pinjaman buat mahasiswa-mahasiswa kepepet sepertinya.

Atau paling tidak ya ada keringanan UKT lah. Karena toh Wafa hanya tinggal skripsi saja. Tapi sayangnya, opsi-opsi itu tidak ada. Maka, untuk ketiga kalinya Wafa memilih cuti. Dan itu adalah batas maksimal jatah cuti di kampus Surabaya tersebut. Dengan kata lain, setelah itu Wafa tidak boleh mengambil cuti lagi.

Posisi Wafa saat itu bekerja di sebuah warung kopi di Surabaya. Setelah ia timbang-timbang dan ukur, ia akan kesulitan membayar UKT di dua sisa semesternya. Sebab, setiap gaji yang Wafa terima selama ini masih kerap ia bagi untuk ibunya di Blitar.

“Masuk semester 13, setelah masa cuti habis, aku memutuskan DO dan balik ke Blitar,” jelas Wafa.

Tak menyesal karena banyak sarjana susah cari kerja

Wafa menjadi satu dari sedikit teman-temannya yang memilih DO. Sementara mayoritas teman-temannya berhasil lulus menjadi sarjana dari kampus Surabaya tersebut.

Akan tetapi, Wafa tak menyesali keputusannya gagal menjadi sarjana, meski memang agak sayang karena ia tinggal skripsian. Terlebih, sebelumnya ia memperjuangka bisa lanjut kuliah dengan begitu matia-matian.

“Nggak nyeselnya karena ada beberapa temenku yang sarjana tapi nyatanya ijazahnya susah buat cari kerja,” ungkap pemuda ramah itu.

“Ada yang bisa cari kerja, tapi ya sama aja, penghasilannya nggak jauh lebih baik dariku juga,” sambung mantan mahasiswa Surabaya tersebut.

Malam makin larut, obrolan kami pun berakhir. Wafa pun perlu istirahat karena besok subuh ia harus lekas bangun untuk membuat susu kedalai.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Berprestasi di UNY malah Di-DO, Pindah Kampus untuk Ngulang Kuliah dari Awal malah Difitnah hingga Batal Lulus

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version