Joki SNBT Kedokteran di Jogja Pensiun Dini, Memilih Kerja Bergaji UMR Saja Ketimbang Dapat Puluhan Juta Tapi Hidupnya Tak Tenang

Pengakuan Joki SNBT Kedokteran Memilih Pensiun karena Kapok "Kerja di Bawah Tekanan", Memilih Hidup Tenang Meski Gajinya UMR Jogja.MOJOK.CO

Ilustrasi Pengakuan Joki SNBT Kedokteran Memilih Pensiun karena Kapok "Kerja di Bawah Tekanan", Memilih Hidup Tenang Meski Gajinya UMR Jogja (Mojok.co)

Pada 2016 lalu, Hendro* (36) berhasil meloloskan salah satu kliennya ke Jurusan Kedokteran salah satu kampus negeri. Uang segepok ia dapatkan hanya dalam hitungan hari. Namun, klien itu menjadi satu-satu orang yang pernah Hendro bantu karena setelahnya ia memilih berhenti dari pekerjaannya sebagai joki SNBT.

Hendro sendiri sebetulnya adalah seorang tentor di sebuah lembaga bimbingan belajar. Menjelang SNBT (dulu SBMPTN) 2016 lalu, salah seorang kenalannya menawarinya pekerjaan sebagai joki.

“Katanya, sih, timnya sedang butuh banyak joki karena permintaan juga banyak waktu itu. Makanya aku diajak sebagai freelance istilahnya,” kata Hendro, menceritakan awal pengalamannya mengenal dunia joki SNBT kepada Mojok, Kamis (18/4/2024) lalu.

Tim yang mengajaknya, sebut saja “Vendor Joki”, menawari Hendro bayaran yang tak sedikit. Rp30 juta bersih, dengan masa kerja kurang lebih dua minggu.

“Siapa yang bisa nolak coba. Dengan tawaran kerja yang sederhana, gaji segitu, waktu itu aku terima-terima saja,” jelasnya.

Tak boleh mengenal atau bertanya soal identitas klien joki SNBT

Meski bakal menjadi orang yang membantu meloloskan mereka ke PTN favorit, Hendro mengaku tak boleh bertanya banyak atau mengenal para klien. Eks joki SNBT ini menyebut, identitas klien hanya dikantongi oleh Vendor Joki.

“Intinya sih aku terima jadi begitu. Jadi aku nanti nggak tahu siapa yang aku bantu, ke kampus mana dia daftar. Pokoknya tugasku ya cuma mengerjakan soal-soal. Nggak tahu ini memang SOP, apa karena aku cuma freelance saja.”

Hendro hanya mengingat, sekitar H-7 menjelang SNBT 2016, para joki ini berkumpul di sebuah hotel di Jogja. Mereka mendapat pembekalan dan bimbingan teknis mengenai hal-hal apa saja yang harus mereka lakukan saat tes nanti.

Kata Hendro, dalam pembekalan tersebut, Vendor Joki memperlihatkan alat-alat canggih berupa camera kecil dan microphone untuk dipasang pada pakaian klien. Nantinya, joki bakal mengerjakan soal-soal SNBT berbekal rekaman kamera secara realtime, kemudian memberitahu jawabannya melalui microphone.

Ilustrasi kamera tersembunyi. Alat pendukung joki SNBT. (dok. Wikimedia Commons)

“Menurutku untuk tahun segitu itu canggih banget. Aku sempat mengira kalau kami-kami ini yang kudu masuk langsung ke ruangan tes. Tapi temanku memang ngasih tahu kalau aku nanti kerjanya jarak jauh,” jelasnya.

Kerja di ruangan ber-AC, tapi tetap berkeluh keringat karena tekanan yang hebat

Saat hari H SNBT 2016, Hendro dan para joki lain sudah bersiap. Kala itu, mereka mengerjakan soal di kamar-kamar hotel. Masing-masing kamar diisi dua joki SNBT.

Karena itu pengalaman pertamanya, Hendro tak bisa memungkiri bahwa setelah klien menyalakan kamera di pakaian mereka, rasa mual, pusing, dan degdegan langsung menghampirinya.

Ada banyak ketakutan yang ia rasakan. “Bagaimana kalau kena metal detector, kameranya ketahuan, mic-nya kedetect. Klien kena, aku juga bisa kena itu. Dipenjara waktu itu juga bisa,” ujar Hendro, menceritakan kepanikannya.

Untungnya, kliennya bisa masuk begitu saja ke dalam ruang tes yang bikin dia jadi plong. Saat itu, lokasi tes SNBT 2016 berada di UPN V Yogyakarta.

Kendati sedikit plong, Hendro tak sepenuhnya bisa santai. Sepanjang mengerjakan tes, otaknya harus terbagi: antara mikir jawaban-jawaban dari soal SNBT, dan di satu sisi juga terus overthinking dengan semua kemungkinan kalau ketahuan.

“Aku kok mikirnya ada orang dalam ya yang sudah kondisiin. Soalnya ya dari awal sampai akhir ternyata lancar-lancar saja. Sejak masuk ruangan sampai tes selesai, aman-aman saja,” kata Hendro.

Curiga ada orang dalam kampus kongkalikong dengan joki SNBT

Kecurigaan Hendro soal adanya orang dalam saat SNBT 2016 bukan tanpa sebab. Sejak awal, ia merasa dari pemilihan lokasi tes, penetapan tempat duduk, hingga gampangnya kliennya masuk tanpa screening yang ketat, mengindikasikan kalau memang kecurangan itu sudah dikondisikan.

“Ya itu dugaanku saja, ya. Mungkin ada orang dalam yang terlibat,” jelasnya.

Mojok sendiri telah mengubungi Humas UPN V Yogyakarta Markus Kusnardijanto untuk mengonfirmasi mengenai dugaan tersebut. Namun, hingga liputan ini tayang, belum ada jawaban dari pihak kampus.

Sebenarnya, kasus joki SNBT di UPN V Yogyakarta pernah terbongkar pada 2022 lalu. Kala itu, Rektor UPN V Yogyakarta Irhas Effendi membantah kalau ada keterlibatan orang dalam pada kecurangan tersebut, meski pelaku tertangkap di lingkungan kampusnya.

“Nggak-nggak [tak ada orang dalam]. Info itu nggak ada di kita, dan memang kecurangan-kecurangan itu mungkin saja terjadi dan terjadi di beberapa tempat,” jelas sang rektor waktu itu.

Kampus UPN V Yogyakarta, lokasi joki SNBT mengerjakan soal tes pada 2016 lalu (dok. upnvyk.ac.id)

Sementara Hendro sendiri juga tak mengetahui secara pasti, apakah orang-orang yang ditangkap pada 2022 lalu itu adalah bagian dari Vendor Joki tempatnya pernah bekerja.

“Kalau iya, aku bersyukur karena nggak lanjut. Kalau aku masih jadi joki, bisa saja aku yang ketangkep.”

Memilih hidup tenang, menjauhi joki dan menikmati gaji UMR Jogja

Seperti yang ditegaskan Hendro, ia cuma sekali saja menjadi joki. Itu pun ia tak tahu berapa nilai akhir kliennya dan diterima di kampus mana dia. Yang ia tahu, Vendor Joki mengatakan kalau klien lolos.

Saat itu, Hendro mengaku ada sedikit kebanggaan. Sebab, sejak awal dia sudah diberi dogma kalau joki ini adalah perlawanan curang vs yang lebih curang.

“Saat masuk kan aku didoktrin, ‘buat masuk PTN itu ada banyak orang beli kursi, pakai jalur orang dalam, mereka curang. Joki memang curang, tapi caranya lebih elegan’. Ya intinya doktrin kalau kami ini melawan calon mahasiswa jalur belakang tadi, begitu,” jelas mantan joki SNBT ini.

Sayangnya memang, Hendro merasakan kekecewaan. Nyatanya, uang Rp30 juta yang dijanjikan tak dia terima utuh. Ia hanya menerima dua puluhan juta, karena alasan “potongan pengadaan alat-alat canggih”.

Meski ada perasaan kecewa, Hendro berusaha bersikap lapang dada. Ia juga memutuskan meninggalkan pekerjaan yang penuh risiko tersebut. Memilih melanjutkan profesinya sebagai tentor bimbel, meski kalau dibandingkan dengan joki, penghasilannya jauh lebih kecil.

“Jadi budak UMR Jogja saja nggak apa-apa. Lebih baik begini ketimbang dapat puluhan juta secara cepat, tapi hidup nggak tenang serasa dikejar-kejar rasa bersalah,” tawa Hendro, menutup obrolan.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Rela Dukung dan Temani Keponakan UTBK, Seorang Lelaki Kenang Pahitnya Gagal Lolos UGM Berulang Kali 28 Tahun Lalu

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version