Minuman keras atau miras, menjadi kultur yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sebagian organisasi mahasiswa di kampus. Katanya, ini merupakan cara efektif untuk bonding dan menjadikan diskusi makin asyik.
Mojok ngobrol dengan empat orang yang menceritakan bagaimana minuman keras menjadi kultur di dalam kehidupan kampus. Ada yang berasal dari lembaga paling prestise di kampus, himpunan jurusan, organisasi mahasiswa ekstra kampus (omek), dan organisasi mahasiswa intra kampus atau unit kegiatan mahasiswa (UKM).
***
Minum-minum di sekretariat organisasi dan gazebo kampus
Alamanda (25) adalah mahasiswa salah satu kampus swasta di Yogyakarta. Sudah lulus tahun 2019, tapi pengalamannya mengikuti salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) tak akan pernah terlupakan. Ia hapal betul bagaimana teman-temannya dari malam hingga pagi nongkrong di sekret (sekretariat) dengan botol-botol ciu. Ia tahu ciu karena temannya pernah mengajaknya membeli di sekitar warung dekat kampus.
Sekret tersebut berada di belakang kampus yang berhadapan dengan unit percetakan. Sudah seperti rumah kedua buat anggota UKM yang ia ikuti. Jadi langganan numpang tidur para mahasiswa dan tempat menikmati miras. Keesokan harinya, mereka masuk kelas.
“Ada 4-5 orang di sekret (tiap minum). Tapi kalau ada acara HUT organisasi, malam keakraban, atau kumpul ketika menyambut anggota baru,” ujar Alamanda. Bukan cuma anggota aktif, biasanya senior yang sudah demisioner pun datang dan meramaikan minum-minum tersebut kalau acara di luar kampus.
Menurut Alamanda, UKM yang ia ikuti itu sudah berusia puluhan tahun dan kultur minum-minum itu pun ada jauh sebelum ia datang.
“Bisa disebut kebiasaan sih, tapi kebiasaan ini kebiasaan jelek,” katanya sembari menyisipkan emot tertawa pada pesan obrolannnya. Iya, saya bertemu Alamanda di Twitter yang kebetulan membuat cuitan kalau minum-minum di organisasinya sudah hal biasa.
Kultur yang justru mahasiswa lestarikan
Lain cerita dengan Mas R (23), ia merupakan demisioner organisasi himpunan salah satu kampus ternama di Malang. Ia dan teman-temannya biasa minum di gazebo belakang gedung perkuliahan utama. Mahasiswa yang lagi nunggu jadwal sidang skripsi ini menjelaskan biasanya ada lebih 30 orang yang hadir tiap acara minum-minum.
“Kalau kelar acara (proker) jam 10-an, mulai muter (mutarin botol minuman keras) paling lambat jam 12-an, sampai sebelum subuh,” kata Mas R. Usai minum-minum, mereka langsung membereskan botol dan membuangnya di luar wilayah kampus.
Minum-minum di lingkaran Mas R bukanlah inisiasi pribadi, melainkan memang kultur yang dilestarikan oleh mahasiswa jurusannya dengan maksud tertentu. Melalui departemen internal himpunan, mereka bilang. Minum miras jadi jembatan antara mahasiswa baru dan kakak tingkat.
Agar dapat menggunakan gazebo belakang untuk minum-minum, mahasiswa melakukan tektok dengan satpam fakultas. “Satpam udah hapal lah sama anak-anak, masalah pendekatan aja sama satpam biar dibolehin,” terang Mas R.
Ketahuan minum miras, kampus bekukan organisasi
Pihak kampus pernah membekukan rganisasi yang Alamanda ikuti. Selama setengah tahun, UKM yang ia ikuti tidak boleh melakukan aktivitas. Hal ini karena ketahuan mengonsumsi miras di jam operasional kampus.
“Ada dosen yang melihat pas masih jam operasional kampus, kemudian melaporkan ke pihak pimpinan,” katanya. Bukan hanya soal minum, dapur sekret pun menjadi sorotan karena layaknya rumah kedua anggota mapala. Alhasil sekretariat pindah ke lobi bawah kampus yang sudah tidak terpakai. Namun, bukannya kapok, para mahasiswa tetap minum-minum.
Organisasi tersebut baru dapat izin kembali saat penerimaan anggota baru angkatan selanjutnya, dengan syarat sekret hanya untuk kegiatan UKM dan tak boleh sampai malam. Alhasil kegiatan minum-minum itu pindah ke kosan.
Kegiatan minum-minum Mas R dan sejumlah mahasiswa se-jurusan di gazebo belakang itu pun pernah ketahuan oleh wakil dekan kemahasiswaan.
“Pas Pak Wadek tau, dikabari satpam. Disuruh buruan bubar dan kelar,” ujar Mas R. Acara kultural itu segera berakhir karena menurut Mas R, durasinya juga sudah lama. Selain itu juga bentuk ‘respect’ kepada satpam agar tak dapat masalah serius.
Minum-minum di waktu senggang proker dan after party atau closingan
Mahasiswa biasanya menyebut acara tambahan sehabis proker sebagai after party atau closingan. Sengaja mereka buat untuk memberi penyegaran setelah lelah mengerjakan proker, serta merekatkan sesama anggota maupun dengan kating dan alumni, atau jadi sarana berdiskusi.
Sebelum membahas after party, saya menemukan di UKM yang Alamanda ikuti, minum-minum dilakukan di waktu senggang proker berjalan. Sebut saja saat acara penerimaan anggota baru, ada saja yang sembunyi-sembunyi bawa minuman keras. Miras itu biasanya untuk senior yang biasanya sudah tak ikut kegiatan atau hanya datang saja, walaupun tak jarang beberapa yang ikut kegiatan juga ikutan.
“Paling pas malam doang, katanya sih obat capek hahaha,” seloroh Alamanda. Kadang-kadang mahasiswa dari kampus lain turut memeriahkan minum-minum tersebut. Bagi Alamanda, kegiatan minum saat acara berlangsung bukan rahasia umum, tapi memang sesuatu yang semua orang di kampus tahu.
Alamanda tak lagi kaget sebab ia sudah tahu sejak sebelum memutuskan masuk ke UKM di kampusnya. Calon anggota baru disuruh main ke sekret, di sanalah ia tahu dan akhirnya terbiasa lihat orang minum alkohol.
Miras yang jadi pelepas penat
Mojok pula mewawancarai F, mahasiswa yang pernah jadi anggota salah satu organisasi paling prestise di kampus ternama Malang, ia mengaku sampai sekarang masih dapat tawaran closingan. Tapi kini ingin fokus akademik saja, katanya.
“Ada anggaran sisa atau nggak ada anggaran sisa, sebagai pelepas penat biasa ada closingan,” kata F. Closingan dilakukan setelah acara selesai di kala panitia sudah terkuras tenaganya dan butuh hiburan. Tahun lalu, F pernah ikut lima kali closingan.
Kalau Abdul beda cerita, walaupun ia pernah menjabat Presiden BEM di salah satu kampus Yogyakarta. Ia hanyalah pengobservasi, cukup tahu tapi tak ikutan.
Saat ia mahasiswa baru dan disatukan dalam sebuah acara besar se-universitas dari salah satu omek, ia mendengar adanya after party atau closingan minum-minum usai acara berlangsung. Namun, itu adalah forumnya senior, tidak untuk maba.
Sebelum wawancara dengan saya, Abdul memastikan kebenaran kabar tersebut kepada ketua pengurus omek fakultas. Ia memvalidasi meski tak menyebut siapa saja yang terlibat. Abdul memperlihatkan obrolannya tapi tak memperkenankan ceritanya masuk dalam tulisan ini.
Ruang diskusi dan bonding mahasiswa
Kepada empat orang yang saya ajak ngobrol perihal miras dan mahasiswa, hampir semuanya bilang kalau kultur minum-minum ini untuk membangun bonding atau kerekatan. Poinnya bukan mabuk-mabukan tapi jadi diri sendiri yang akhirnya memperkuat hubungan atau sekadar melepas kepenatan, seperti kata F.
“Sebenarnya dua-duanya ada (dapat), ada bonding dan tipsy (mabuk),” kata F. Anggota yang kelewat mabuk biasanya mereka antar pulang. Hal ini menjadi langkah preventif, memanfaatkan teman-teman yang tak minum untuk menjaga keamanan dan keselamatan bersama.
Bagi F, di internal organisasinya sendiri memang ada perdebatan mengenai boleh tidaknya minum-minum. Namun, karena kegiatan di luar nama proker, minum-minum tetap berlangsung bagi yang berkenan.
“Sebenarnya nggak ada sangkut pautnya dengan perkuliahan, kampus juga lepas tangan. Selama nggak ada kaitan dengan organisasi dan atribut dilepas saat minum, fine-fine aja,” kata F. Intinya bisa menanggung resiko lah.
Kalau Mas R memang punya jurusan yang mengutamakan kesolidan. Tujuan utama dari kultur minum-minum ini untuk merekatkan mahasiswa jurusan, termasuk dengan kating. Mereka biasanya melingkar dan berdiskusi terkait apa saja, termasuk mata kuliah, sambil menggilir gelas berisi miras.
“Kadang ada anak yang lebih ngerti kalau katingnya yang jelasin,” katanya. Sehingga yang ikut kegiatan ini nggak hanya yang doyan minum, kalau cuma mau ikut ngobrol boleh-boleh saja.
Menurut Mas R, kegiatan minum-minum seperti ini justru memberi ruang diskusi lebih santai dan terbuka bagi mahasiswa.
“Kalau dari segi moral memang nggak bermoral. Tapi namanya mahasiswa butuh ruang diskusi,” katanya lagi. Ia melihat kegiatan minum-minum saat ini sudah mulai dilakukan terang-terangan. Jadi ia berpesan supaya bisa mengontrol diri.
Pakai dana pribadi bukan uang proker
Semua narasumber menegaskan bahwa uang pembelian minuman keras berasal dari kantong pribadi bukan dari dana proker. Menurut cerita F, meskipun ada saja yang nyeletuk ‘kan ada duit sisa yang kemarin’, pihak-pihak tertentu sejak awal memang sudah wanti-wanti agar dana proker dan closingan dipastikan terpisah.
Begitupun di UKM dan organisasi Mas R. Biasanya semua pihak secara sukarela patungan untuk beli minuman. Kalau sepengalaman Mas R, katinglah yang justru menyumbang dana paling besar. Bisa sampai Rp200-300 ribu.
Selain itu, kating sebagai orang yang dituakan sekaligus bertindak sebagai pengontrol dan pengawas. Apalagi jika yang ikut maba-maba lucu dan baru kenal dengan alkohol, biasanya kating yang sudah berpengalaman bertindak memastikan keamanan untuk mencegah hal buruk terjadi.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah Pilu Mahasiswa Kesepian, Menangis dalam Kesendirian dan Ditinggalkan Teman
Cek berita dan artikel lainnya di Google News