Cerita Mahasiswa UGM Hidup Prihatin Rp100 Ribu Buat Sebulan, tapi Tetap Bisa Party

Ilustrasi Cerita Mahasiswa UGM Hidup Prihatin Rp100 Ribu Buat Sebulan (Mojok)

Awalnya, saya cukup sanksi dengan cerita ini. Memang, sebelumnya reporter Mojok pernah menulis “Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan”. Namun, membayangkan ada mahasiswa UGM hanya menghabiskan rata-rata Rp100 ribu sebulan buat hidup, bagi saya ini hampir mustahil.

Keraguan ini makin menjadi-jadi tatkala dalam pertemuan dengan Tiko (20), mahasiswa UGM yang jadi narasumber untuk tulisan ini, saya melihatnya menghisap rokok mahal.

“Baru buat rokok saja sudah habis Rp25 ribu, bagaimana bisa Rp100 ribu sebulan,” pikir saya dalam hati yang makin penasaran.

Pepatah memang mengatakan, jangan menilai orang dari penampilan luarnya. Tapi melihat setelan outfit Tiko, rasa-rasanya cukup aneh membayangkan lelaki ini hanya menghabiskan uang Rp100 ribu sebulan. Kaos band skena yang ia pakai original, berpadu dengan jins hitam dan sepatu yang kelihatan mahal. Masa iya, dia hanya menghabiskan Rp100 ribu sebulan?

Sejak jadi maba UGM sudah hidup prihatin

Tiko masuk UGM pada 2022 lalu via jalur SBMPTN. Ia mendapat uang kuliah tunggal (UKT) Rp1,9 juta. Bagi mahasiswa lain yang berkategori mampu, jumlah ini mungkin kecil. Berdasarkan pengelompokkan UKT di laman resmi UGM sendiri, nominal itu termasuk yang paling rendah.

Sayangnya, Tiko berasal dari keluarga yang pas-pasan. Kedua orang tua mahasiswa UGM asal Kediri, Jawa Timur ini berprofesi sebagai petani gurem. Luas lahan sangat kecil, biasanya hasil panen hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

“Biasanya bapak sama ibu jadi buruh di lahan orang,” ujar Tiko, Kamis (8/2/2024) lalu. Selama kuliah, Tiko lebih sering dapat transferan uang saku dari kakaknya yang sedang kerja di Surabaya.

Karena hidupnya pas-pasan, ia pun kudu prihatin. Waktu awal-awal menjadi mahasiswa baru (maba) UGM, kakaknya memberi uang saku Rp250 ribu buat dua minggu. “Jelas enggak cukup karena belum tahu tempat makan yang murah,” kata dia.

Rata-rata, dalam sehari Tiko habis Rp30 ribu untuk dua kali makan. Untungnya lagi, jarak kampus dan kosnya begitu dekat. Bensin Rp20 ribu bisa buat beberapa hari.

Dapat kemujuran dari kakak tingkatnya

Dua bulan ngekos, Tiko dapat durian runtuh. Salah seorang seniornya di kampus ingin transfer kos. Alasannya seniornya itu sudah lulus, sementara kosnya masih tersisa empat bulan. Tiko menerima tawaran itu, kebetulan kamar kosnya juga lebih luas daripada yang ia tempati sebelumnya. Jarak ke kosnya ke UGM pun juga dekat. Kalau mau jalan kaki 5 pun menit langsung sampai.

Di luar dugaan, seniornya itu masih membonusinya dengan kasur bekas, mejikom, galon, rak sepatu, dan beberapa lembar kaos. “Dia nyuruh Rp500 ribu aja, all in. Katanya buat beli tiket kereta balik,” kisah Tiko. “Udah segitu aja. Katanya emang udah enggak perlu barang-barangnya juga.”

Karena merasa agak tidak enak atas sikap baik itu, sebisa mungkin Tiko masih berhubungan dengan seniornya itu. Yang dia tahu, seniornya itu sekarang kerja di Surabaya. “Pas pemilu kemarin dia aktif banget. Tapi enggak tahu, sih, jadi timses atau gimana.”

Bagaimana bisa bertahan dengan Rp100 ribu sebulan?

Sebenarnya, Tiko juga sama penasarannya dengan saya, kok bisa rata-rata hanya habis Rp100 ribu buat sebulan?

Tiko bercerita, semua berawal dari pertengahan tahun 2023 lalu. Gara-gara transferan macet, ia kudu berhemat. Sisa duit Rp50 yang bisa ia tarik dari ATM, harus dia manfaatkan betul-betul tanpa tahu sampai kapan.

Buat mengakalinya, Tiko pun harus Puasa Daud–sehari puasa, sehari enggak. Ya, motivasinya sekadar biar ngirit aja, sih. Namun, karena seringnya malas bikin nasi dan beli sayur waktu sahur, Tiko makan apa saja yang ada di kosnya.

“Ada sisa roti ya saya makan. Biskuit juga. Kalau adanya air galon ya udah, minum aja sahurnya,” kata mahasiswa UGM ini, menceritakan bagaimana ini bermula.

Cerita Mahasiswa UGM Hidup Prihatin Rp100 Ribu Buat Sebulan.mojok.co
Ilustrasi transferan telat bikin Tiko harus menjalani Puasa Daud (Mojok/Effendi)

Ternyata meski hari-hari ia jalani dengan perut kosong, semua tetap baik-baik saja. Tiko seringnya hanya makan sekali, saat buka puasa, dengan bikin nasi sendiri dan membeli lauk. 

Kadang, kalau masih ada sisa nasi dan lauk, ia gunakan buat sahur sekalian. “Jadi, enggak ‘Ndaud-ndaud’ juga, sih. Soalnya malah kadang puasa tiap hari.”

Tak terasa seminggu lebih rutinitas itu ia jalani. Ia pun tak sadar kalau ternyata uang Rp50 ribunya masih sisa. “Aku pikir-pikir, kalau begini terus bisa ngirit banget kan.”

Baca halaman selanjutnya…

Tiko hidup prihatin, rajin menabung buat nonton konser musik

Makin terbantu dengan sikap baik Ibu Kos

Hingga sekarang, Tiko masih menjalani rutinitas ngirit itu. Saat saya menemui di salah satu burjo sekitar Lembah UGM pun, siangnya ia masih berpuasa.

Malahan, kata Tiko, dia dan beberapa anak kos lain makin terbantu dengan ibu kos. Gara-garanya, pemilik kos menyediakan kulkas umum sejak beberapa bulan terakhir. “Jadi bisa nyetok sayur, bumbu. Kadang bu kos juga bolehin pake sayur dia kalau butuh dimasak,” ujarnya.

Namun, sebenarnya yang paling bikin saya penasaran, bagaimana dia bisa benar-benar menghabiskan rata-rata Rp100 sebulan? Di kepala saya, bagaimana dengan uang bensinnya, duit beli rokok, atau kebutuhan lain?

Nah, Tiko membela diri. Kata dia, Rp100 ribu murni ia anggarkan buat makan saja. Memang kadang lebih. Tapi sangat jarang sampai yang berlebihan. “Rp100 ribu ini bener-bener udah aku anggarin buat makan. Sebisa mungkin jangan sampai lewat. Seringnya sih cukup, Mas.”

Mahasiswa UGM ini tetap bisa party

Sementara buat rokok dan bensin, ia mengaku pakai uang saku di luar anggaran makan. Untungnya, dia bukan tipe perokok nyepur, jadi satu bungkus bisa ia habiskan sampai seminggu. Malah kadang bisa ngerem tak merokok berhari-hari.

Buah hasil “ngirit total” ini nyatanya membawa hasil baginya. Dengan duit transferan yang amat terbatas, dia masih bisa nabung dikit-dikit. Bahkan, kalau sedang niat ngumpulin duit buat beli barang atau menghadiri acara tertentu, ia bisa ngirit sengirit-ngiritnya.

“Puasa tiap hari pun saya jalani kalau emang perlu,” kata dia.

Sebagai penikmat musik skena, meski jarang datang konser, Tiko kerap totalitas jika ada band yang ingin ia tonton. Dia akan menabung meski harus mengorbankan suara cacing-cacing di perutnya demi bisa sing along bareng musisi favoritnya.

“Lupa terakhir nonton konser apa. Tapi terakhir datang ke acara musik itu The Jeblogs, Januari kemarin,” katanya saat saya tanya konser terakhir yang ia datangi. “Yang penting bisa tetap party,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Beratnya Hidup Mahasiswa Kelaparan, Bertahan di Kos Murah Sudut Gang Sempit Sekitar UGM dan Kampus Jogja Lain

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version