Ketika Demo Tak Lagi Menarik di Mata Mahasiswa karena Kehidupan Makin Kapital

Ketika Mahasiswa Sudah Tak Tertarik Demo MOJOK.CO

Ilustrasi - Ketika demo tak lagi menarik di mata mahasiswa sekarang. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ditilik dari konteks sejarah, demonstrasi (kemudian kita sebut demo), memang lekat dengan mahasiswa. Sejarah  ’98 bahkan mencatat, kejatuhan rezim Soeharto tidak lepas dari gelombang aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Namun, masa kini (atau mungkin di setiap zaman), ada saja mahasiswa yang memilih apatis: memilih tak ikut turun ke jalan atas situasi-situasi yang tengah memanas.

***

Di zaman ketika fresh graduate dituntut memiliki pengalaman setara puluhan tahun hanya untuk satu pekerjaan seperti sekarang, Wanda (21) merasa bahwa kewajiban sosial bagi mahasiswa untuk melek isu dan terlibat dalam aktivisme terlalu berat untuk dia jalani.

Wanda dikenal sebagai mahasiswa yang cukup berprestasi. Berbekal pengetahuan akademiknya, dia ingin fokus mengasah keterampilannya guna menyokong portofolionya. Tujuannya tentu untuk mempersiapkan karier setelah lulus kuliah. Oleh karena itu, untuk isu-isu di luar interest-nya, Wanda mengaku tak terlalu mengikuti.

“Pada dasarnya saya memang tidak ingin menjerumuskan diri ke macam-macam masalah. Selain itu saya juga kurang suka mengkaji suatu topik selain untuk pengembangan diri saya sendiri,”  ungkap mahasiswa di salah kampus Solo tersebut saat berbincang dengan Mojok pada Rabu (6/10/2024). 

Memang terdengar sangat acuh. Namun, bagi Wanda, setiap orang punya porsinya masing-masing. Wanda merasa, mungkin saja porsinya bukan berada di lingkaran aktivisme. 

Demo mahasiswa di media sosial lebih efektif

Tidak jauh berbeda dengan Wanda, Ray (21) pun berpikir demikian.

Ray adalah mahasiswa semester tua di salah satu kampus Solo yang juga memiliki latar belakang hampir sama dengan Wanda: punya fokus pada aspek akademik. 

Hanya saja, dia tidak se-apatis Wanda. Meski tidak pernah langsung turun ke jalan, Ray mengaku bahwa dia cukup sering menyuarakan opininya terhadap bermacam-macam isu. 

“Jujur saja, menurutku demo yang orasi-orasi seperti itu sudah nggak efektif lagi. Lebih baik melakukan campaign di media sosial, mata, dan telinganya lebih banyak di sana,” ujarnya. 

Lebih baik fokus amankan karier

Selain itu, Ray memang cenderung menghindari masalah-masalah yang bisa saja dia alami kalau ikut demo. Misalnya, tertangkap aparat, jadi korban kekerasan, dan sejenisnya.

Dalam pandangan Ray, statusnya yang masih mahasiswa membuatnya berada di rantai paling bawah tatanan sosial, baik di lingkup akademik maupun masyarakat. Oleh sebab itu, menurutnya, masa depannya akan sangat mudah direnggut jika dia terlalu mengusik mereka yang memegang status quo. 

Bagi Ray, yang paling penting saat ini adalah “mengamankan” kariernya terlebih dulu setelah lulus. Menurutnya, kontribusinya akan lebih berarti saat dia sudah berada di posisi yang lebih aman dan bisa banyak berbuat. Dan itu bisa ditempuh jika posisi akademiknya aman terlebih dulu.

“Menurutku akan sangat sayang kalau aspirasi yang kita suarakan cuma jadi angin lalu dan tidak terdengar. Jadi ya membangun jalan karier dulu aja untuk nanti memperbaiki dari dalam” jabarnya.  

Padahal demo mahasiswa punya dampak besar

Pada dasarnya, ketidakpedulian akan bermuara pada ketidaktahuan. Mereka yang sudah menutup diri terhadap politik tidak akan tahu seberapa besar pengaruhnya di keseharian yang mereka jalani.

Selain itu, mereka juga tidak akan pham mengapa suatu isu dikategorikan sebagai masalah yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat secara kolektif.

Begitu lah pendapat Ichsan (21) tentang mahasiswa-mahasiswa yang memilih acuh terhadap aksi-aksi turun jalan. Sebagai Menteri Aksi dan Propaganda Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Solo (BEM UNS), dia cukup sering berhadapan dengan kesulitan mencari massa untuk suatu aksi. Padahal, demo mahasiswa memiliki dampak besar terhadap perubahan. Hanya saja, Ichsan mencoba maklum.

“Budaya di setiap fakultas memang berbeda-beda, karena yang dipelajari juga beda. Jadi wajar saja kalau yang paling sering ikut aksi ya mereka yang secara langsung mempelajari  hal-hal yang dekat dengan kegiatan aktivisme, seperti FISIP atau FH,” tuturnya.

Seandainya….

Ichsan pada akhirnya tidak berharap muluk-muluk agar teman-temannya selalu ikut turun ke jalan untuk mengawal suatu aksi. Baginya, para mahasiswa menyadari alias tidak menampik bahwa demo punya dampak perubahan besar saja sudah cukup. Jangan malah menganggapnya tidak penting sama sekali.

Dalam penilaian Ichsan, apatisme mahasiswa dalam ranah aktivisme salah satunya bisa disebabkan karena faktor pendidikan saat ini yang mengarah ke paham kapitalis. Mahasiswa dipaksa untuk sibuk menyelamatkan kebutuhan dasarnya setelah lulus, sehingga jadi apatis dan tidak memiliki kesadaran politik. 

Seandainya beberapa kebutuhan dasar mahasiswa dan fresh graduate tidak perlu terlalu mereka pusingkan, Ichsan yakin akan lebih banyak mahasiswa yang peduli terhadap konteks substansial dan kondisi di sekitar mereka.  

Saat ini, Ichsan dan teman-temanya di Kementrian Aksi dan Propaganda BEM UNS masih terus berusaha untuk meluruskan dan menyadarkan para mahasiswa perihal esensi demo mahasiswa dalam mengawal kebijakan sebuah negara yang bakal berdampak secara luas. 

Penulis: Dahayu Aida Yasmin

Editor: Muchamad Aly Reza

Catatan:

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo periode Oktober-November 2024

BACA JUGA: Keresahan Mahasiswa Kampus Solo, Magang dengan Prospek Karier Menjanjikan malah Dipermasalahkan Dosen

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

 

 

                               

Exit mobile version