Ada dua opsi yang selalu diperdebatkan oleh orang-orang yang tak lolos UTBK, yakni gap year dan mendaftar ke PTS. Kira-kira, dari kedua opsi ini, mana yang lebih baik?
***
Banyak orang bersukacita pada Kamis (13/6/2024) lalu. Penyebabnya, beberapa dari mereka berhasil lolos SNBT-UTBK 2024.
Ada yang bahagianya combo karena diterima di kampus dambaan, seperti UGM, UI, Undip, bahkan UNY sekalipun. Dan, ada juga yang fine-fine saja meski tak lolos di pilihan prioritas.
Seperti Rusli (18), misalnya, mahasiswa asal Sukabumi yang tetap bahagia lolos ke Unsoed meski kampus itu bukan pilihan utamanya. Pada UTBK kali ini, ia sebenarnya mengincar S1 Ilmu Hukum UGM. Sayangnya, nasib berkata lain. Rusli lolos di program studi lain pada pilihan kedua di PTN Purwokerto itu.
“Bersyukur aja. Seenggaknya nasib aku masih jauh lebih baik ketimbang orang-orang yang gagal lolos,” ujar Rusli, yang Mojok temui melalui grup Facebook Keluh Kesah Ngampus (KKN) pada Senin (17/6/2024).
Sementara di tengah-tengah kebahagiaan tersebut, ada juga yang harus nelangsa. Pasalnya, perjuangan mereka untuk bisa masuk PTN harus menemui kegagalan.
Salah satunya adalah Andini (18), perempuan asal Purworejo yang gagal masuk UNY setelah tak lolos tes UTBK. Kondisi ini pada akhirnya bikin Andini dilema, apakah harus menunggu tahun depan untuk mendaftar PTN lagi alias gap year, atau tetap kuliah tahun ini di kampus swasta.
Memilih gap year atau mendaftar PTS, memang selalu menjadi perdebatan panjang bagi para siswa yang gagal lolos seleksi masuk PTN. Namun, pertanyaannya, mana yang lebih baik?
Lebih baik gap year karena PTS itu mahal banget!
Pengalaman gap year pernah dialami Sofian (21), yang kini berstatus sebagai mahasiswa UGM angkatan 2022. Tak tanggung-tanggung, ia rela mengambil masa jeda selama dua tahun demi masuk kampus idamannya tersebut.
Pada SNBT (SBMPTN) 2020, Sofian gagal pada percobaan pertamanya masuk UGM. Pilihan keduanya kala itu, yakni UNS Surakarta, bahkan juga enggak nyantol. Setahun berselang, Sofian mencoba lagi di jalur UTBK dan hasilnya sama saja.
“Pas 2020 aku ngincar Hubungan Internasional. Pas 2021 aku milih Antropologi sama HI lagi. Gagal lagi,” kenang mahasiswa asal Jogja ini, Senin (17/6/2024).
Meski dua tahun tak kuliah, bukan berarti tak ada niat buat daftar ke PTS. Pada 2020, misalnya, Sofian sebenarnya nyaris mendaftar ke salah satu PTS di Jogja. Bahkan, orang tuanya juga mendukung.
Namun, ia mengubah keputusannya karena melihat PTS yang kualitasnya sebelas dua belas dengan PTN, ternyata biaya kuliahnya sangat mahal.
“Untuk prodi yang sama, di PTN paling-paling per semester bayar 5 jutaan. Kalau PTS lebih dari 10 juta waktu itu,” ungkapnya. Karena pertimbangan tersebut, Sofian pun memilih buat gap year saja.
Banyak hal yang bisa dilakukan selama masa jeda
Sofian mengaku, ketinggalan dua tahun masa kuliah tak terlalu berpengaruh. Toh, saat dia masuk UGM pada 2022–yang juga melalui UTBK–ada juga beberapa mahasiswa yang usianya sama dengannya.
Bahkan, kata dia, ada hal-hal yang bisa dia kerjakan buat meng-upgrade kapastitasnya selama gap year. Dan, kegiatan-kegiatan ini sulit dilakukan di tengah kesibukan mahasiswa yang berkuliah.
Pada 2020, tahun pertamanya gap year, situasi masih pandemi Covid-19. Sofian bersyukur, di tengah susahnya orang buat mendapat pekerjaan, ia malah mendapat beberapa job selama masa pageblug itu.
“Dulu ada beberapa proyekan, ngerjainnya WFH. Jadi hitungannya aku itu kerja selama Covid kemarin. Lumayan ada penghasilan,” ujarnya.
Bagi Sofian, ini adalah sebuah kemewahan. Bagaimana tidak, saat teman-temannya yang kuliah sangat effort dengan kebijakan WFH, dia malah punya kegiatan yang menghasilkan cuan dari rumah.
Bahkan, selain mendapat pekerjaan, Sofian juga mendapat relasi dari beberapa proyeknya. Sebab, LSM tempatnya ngejob kerap bekerjasama dengan tokoh-tokoh tersohor, sehingga kenalannya pun jadi luas. Sebut saja beberapa penulis dan seniman Jogja, yang oleh Sofian, “namanya jangan dikutip”.
“Nah, ini kah jadi kayak aneh jadinya. Mahasiswa yang kuliah kesulitan dapat teman karena WFH, aku malah dapat kenalan banyak,” tegasnya. Bahkan, beberapa relasinya masih berhubungan baik sampai hari ini.
“Hitung-hitung aku juga nambah CV. Belum lulus kuliah tapi punya riwayat kerja di LSM dan nge-lead beberapa project. Kalau aku kuliah, mungkin nggak dapat kemewahan ini,” sambungnya.
Memasuki tahun 2022, Sofian mengaku tak ada treatment khusus dalam menyonsong UTBK kala itu. Dia mengatakan, proses belajarnya semua berasal dari kegiatan-kegiatan yang ia lakukan selama masa gap year.
“Nggak ada bimbel atau persiapan khusus. Buktinya aku bisa lolos, karena dua tahun kerja ini aku juga dapatin banyak hal yang edukatif.”
Gagal UTBK mending daftar PTS, karena PTN sekarang sama mahalnya
Jalan lain setelah gagal di UTBK diambil oleh Ifah (20). Berbeda dengan Sofian yang memilih gap year demi memperjuangkan PTN, perempuan asal Jogja ini memilih buat mendaftar ke PTS.
Alasan Ifah sederhana: PTN dan PTS hari ini nyaris tak ada beda. Baik secara kualitas, maupun biaya kuliah. Menurutnya, yang membedakan cuma nama besar saja, tak lebih dari itu.
“Sama gengsi juga. Ada anggapan kuliah di PTN lebih keren ketimbang swasta. Padahal nih, yang PTS, juga banyak kampus keren, bahkan lebih bagus ketimbang negeri,” ungkapnya.
Pada UTBK 2023 lalu, Ifah mengincar beberapa kampus negeri. Termasuk UGM dan UB. Namun, karena gagal, ia pun langsung memilih mendaftar ke PTS di Jogja.
“Enggak mau jalur tes mandiri, soalnya uang pangkal tingginya nggak karuan,” jelasnya. “Sekarang begini, kalau kita hitung-hitung untuk prodi favorit biaya kuliah PTN dan PTS beda tipis. Sama-sama nyiapin 30-50 juta lah sampai 8 semester ke depan.”
Kendati demikian, Ifah tak pernah mengkotak-kotak antara “kaum” yang memilih gap year atau mendaftar PTS setelah gagal di UTBK. Baginya, masing-masing orang punya alasan pertimbangan sendiri-sendiri.
“Kalau aku kan selain berprinsip nggak ada sekat yang tebal antara negeri dan swasta, ya langsung daftar ke PTS karena ingin kuliah secepatnya dan harapannya lulus secepatnya juga. Ngeri, Bro, bursa kerja sekarang batas usianya makin muda lho,” tegasnya.
“Tapi mungkin ya ada juga yang ‘harus, harus, harus PTN’ karena ada nilai-nilai tertentu yang dia pegang. Ya itu sah-sah aja,” tutupnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News