Banyak yang mengira, sejarah lapen, minuman keras khas Yogyakarta itu berasal dari kata ‘langsung penak’ atau ‘langsung pening’. Tak banyak yang tahu, kalau sebutan lapen sendiri berasal dari sebuah spanduk titipan penjual obat kuat pada seorang penjual jamu tradisional di Jalan Solo, Yogyakarta.
Menelusuri asal mula lapen, yang diidentikan sebagai minuman keras dari Yogyakarta, awalnya sungguh membingungkan. Cerita-cerita di media massa yang saya baca selalu buntu ketika harus melakukan konfirmasi tentang sejarah lapen, apakah bisa dipertanggunjawabkan kebenarannya atau tidak.
Misalnya, ada yang menyebutkan bahwa lapen tidak lepas dari pertarungan dua tukang becak yang beradu ilmu soal racikan siapa yang paling membuat mabuk. Saking ingin mengungguli satu sama lain, keduanya meninggal karena tidak kuat meminum racikan mereka. Namun, saya seperti kepaten obor karena tidak menemukan orang-orang yang bisa mengkonfirmasi cerita tersebut.
Bahkan ketika mencari penjualnya saat ini, tidak ada yang benar-benar masih menjualnya. Istilah lapen sendiri seperti memberikan ketakutan, bagi orang yang menjual maupun yang membelinya.
Hal itu tidak lepas dari peristiwa tewasnya puluhan orang karena minum oplosan yang diidentikan dengan lapen di Yogyakarta. Berita Detik.com tahun 2002, ada tiga orang meninggal karena minum oplosan di Kota Yogyakarta. Tahun 2010, di awal tahun, tepatnya bulan Februari dalam beberapa hari ada 13 orang yang meninggal karena oplosan.
Di tahun 2014, ada dua orang di Kota Yogyakarta yang meninggal karena oplosan, dan puncaknya di tahun 2016, ada 26 orang tewas karena lodse oplosan. Nama lapen selalu disebut-sebut sebagai penyebabnya.
Meski sejarah lapen simpang siur, namun ada benang merah dari beberapa narasumber yang Mojok.co wawancara tentang awal mula kemunculan lapen. Hampir semua menyebut sebuah warung jamu di Jalan Solo (Kini Jalan Urip Sumoharjo) Kampung Kepuh, Kelurahan Klitren Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta yang dikelola oleh Santoso Suyatno. Warung jamu tradisional itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan Lapen Santoso.
Jamu Santoso dan spanduk obat kuat bermerek Lapen
Mencari keluarga Santoso yang disebut-sebut sebagai pionir lapen bukan perkara mudah. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah artikel pameran seni yang berlangsung di bulan Mei 2018 berjudul ‘Made of: Stories of the Material’. Pameran dalam bentuk seni instalasi dengan medium video berjudul ‘Regime of Truth’.
Pameran ini menarik karena pengunjung diajak untuk karaoke. Dan, isi lagu tersebut adalah resep bagaimana membuat Lapen Santoso. Dua seniman berkolaborasi dalam pameran itu yaitu Yahya Dwi Kurniawan (26) dan Gintani Nur Apresia Swastik (37).
Saya sangat tertarik karena saat orang-orang yang menjual lapen tengah tiarap, dua seniman ini justru mengumbar resep dan cara membuat Lapen Santoso yang melegenda itu.
Saya menghubungi Yahya untuk wawancara melalui pesan di Instagram.
“Siap bosque, sekalian menunggu kabar dari Gintani karena itu karya kolaborasi, dan kebetulan Gintani adalah cucu dari Eyang Santoso, pemilik Lapen Santoso,” kata Yahya dalam pesannya saat saya meminta waktunya untuk melakukan wawancara.
Menunggu sekitar satu pekan, akhirnya saya bertemu dengan keduanya, Yahya dan Gintani yang didampingi suaminya, Uji Hahan (38). Obrolan berlangsung di Ace House Collective di Jalan Mangkuyudan, Yogyakarta.
Di lorong bagian belakang, ruang seni tersebut, kami ngobrol tentang lapen dan Lapen Santoso. Yahya mengatakan awalnya ia melihat berita di media massa yang memberitakan banyaknya orang yang meninggal karena minuman oplosan atau orang menyebutnya lapen. Ia mulai melakukan riset tentang lapen, sampai pada akhirnya bertemu dengan Gintani yang ternyata adalah cucu dari Eyang Santoso, pemilik Lapen Santoso.
Gintani menceritakan cerita tentang Lapen Santoso sebagai asal mula istilah lapen memang terkesan terkubur dalam ranah miras lokal di Yogya. Ada masa-masa di mana keluarganya ‘menutup diri’ sebagai dimana kata lapen berasal. Itu tak lepas karena istilah lapen sudah melenceng jauh dari awal mula kemunculannya.
“Lapen itu awalnya jamu, eyang awalnya dapat resep dari seorang Tionghoa di Semarang. Kemudian mengembangkannya. Tujuannya untuk kesehatan,” kata Gintani yang juga Direktur Biennale Jogja XVI.
Yahya menimpali, saat awal melakukan riset dan bertemu dengan Sudargono atau tenar dengan panggilan Pak Lik Gono di tahun 2018, ada kesan memang informasi yang diberikan oleh ayah Gintani terbatas. Pertanyaan yang dilontarkan pun dijawab pendek-pendek.
“Baru di hari berikutnya, setelah tahu ujung riset yang dilakukan untuk pameran seni, Pak Lik Gono yang juga seniman ini membeberkan semua tentang awal mula lapen dan Lapen Santoso. Bahkan saya diberi catatan tentang resepnya dan bagaimana cara membuatnya,” kata Yahya.
Kepada Mojok.co, Yahya Dwi Kurniawan, Gintani dan Uji Hahan menceritakan perjalanan mereka melakukan riset tentang Lapen Santoso yang melegenda itu sekaligus membuka tabir munculnya kata ‘Lapen’ dalam khasanah minuman keras di Yogyakarta.
Eyang Santoso, pensiunan TNI yang juga jualan jamu
Secara kronologi Gintani menceritakan perjalanan jamu racikan eyangnya hingga kemudian lapen diidentikan dengan minuman keras oplosan.
Eyang Santoso merupakan pensiunan ABRI. Selepas pensiun, ia masih menjadi guru olahraga di UPN Veteran Yogyakarta serta kepala keamanan di kampungnya. Selain itu di tahun 60-an itu ia juga menjadi agen atau penjual minyak tanah. Lokasi tokonya berada di Jalan Urip Sumoharjo (Jalan Solo). Kalau saat ini lokasinya di depan kampus Lembaga Pendidikan Pertanian (LPP).
Selepas pensiun, Eyang Santoso juga menjadi bendahara Persatuan Pensiunan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PEPABRI) Yogyakarta. Pergaulan yang luas membuat Eyang Santoso bergaul dengan kalangan manapun. Termasuk dengan anak-anak muda di kampungnya. Rekan-rekannya selama di ketentaraan baik yang sudah pensiun maupun masih aktif, kerap nongkrong di rumahnya.
Sekitar tahun 1985, Eyang Santoso membuka warung jamu. Resepnya ia dapatkan dari seorang Tionghoa di Semarang yang menjual arak padi atau beras. Resep itu yang kemudian ia kembangkan menjadi ramuan jamu khas buatannya. Warung itu ia namakan Warung Jamu Tradisional dan Ramuan Ginseng Santoso.
Gintani yang lahir tahun 1984, masih mengingat, saat ia kecil masih banyak bekas drum-drum wadah minyak di dekat warung jamu milik kakeknya.
Warung jamu kakeknya sangat ramai di tahun 90-an. “Seingatku itu pas zamane naik-naiknya SDSB. Saat itu jamu yang populer adalah jamu yang menghilangkan lelah sehingga cepat tidur, ada juga jamu untuk menghangatkan badan, Nah yang menghangatkan badan itu memang ada campuran arak berasnya,” ujar lulusan program Seni Rupa Murni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Eyang Santoso punya racikan sendiri untuk jamu utama. Ramuan itu kemudian dikembangkan sendiri sesuai kebutuhan maupun permintaan pelanggan.
Asal mula kata Lapen dan spanduk obat kuat
Warung jamu Santoso layaknya warung jamu pada zaman itu. Pengunjung rata-rata minum di tempat atau ngiras. Seperti warung Jamu Ginggang di Pakualaman yang masih eksis hingga kini. Menu jamu di warung Santoso banyak macamnya. Kembangan dari racikan utama yang dibuat oleh Eyang Santoso. Pelanggan bisa meminta tambahan di jam yang mereka minum seperti madu, telur, atau ramuan tangkur. Soal resep Jamu Santoso atau Lapen Santoso bisa dibaca dalam tulisan, Ini Resep Lapen Santoso yang Legendaris Itu.
Ramuan tangkur berbagai macam hewan ini jadi salah satu ciri khas warung jamu Santoso. Gintani masih ingat, gentong-gentong kaca berisi aneka rendaman jamu tangkur. Ada yang menyebutnya kidungan atau cem-ceman. Toples kaca itu berisi tangkur atau alat kelamin jantan dari berbagai hewan seperti ular, kijang, buaya dan lainnya yang yang direndam dalam arak beras. Jamu seperti ini dipercaya bisa meningkatkan vitalitas pria atau jamu kuat.
Dari jamu untuk obat kuat ini, istilah ‘Lapen’ lahir. Dari cerita Pak Lik Gono, Yahya memastikan bahwa istilah lapen berangkat dari sebuah spanduk yang dipasang di warung Santoso saat itu.
“Jadi Lapen itu sebenarnya merek obat kuat. Modelnya titip jual, nah saat itu merek itu pasang spanduk besar di warung Santoso, tulisannya juga besar, LAPEN,” kata Gintani. Lapen itu merek obat kuat dalam bentuk salep, yang kalau mau dipakai harus dioleskan, jadi bukan dalam bentuk minuman.
Budayawan Butet Kartaredjasa yang juga pelanggan Lapen Santoso, menegaskan bahwa kata lapen yang kemudian identik dengan Lapen Santoso salah satunya juga karena jamu kidungan atau cem-ceman yang dijual itu punya efek dalam urusan kejantanan pria. “Lapen itu ‘Laki penak’ (laki dalam khasanah bahasa Jawa diartikan sebagai aktivitas berhubungan suami istri),” kata Butet kepada Mojok.co dalam sebuah kesempatan menikmati Soto Kadipiro pagi hari.
Gintani menambahkan, mungkin karena spanduk dan tulisan lapen yang cukup besar, orang-orang kemudian mengidentikan tempat tersebut dengan nama Lapen Santoso. Nama tersebut jadi penanda ketika orang-orang akan bertemu untuk nongkrong sambil minum jamu di tempat itu.
“Ya seperti warung soto zaman itu, jadi tempat nongkrong, tambulane ada kacang bawang,. Yang datang saat itu relasinya bapak di militer, polisi, pembesar-pembesar saat itu juga kerep nongkrong sambil minum jamu,” kata Gintani.
Lapen kemudian menjadi jenama atau brand untuk jamu yang mengandung alkohol dan saat ini jadi sebutan untuk minuman oplosan.
Lapen Santoso dan perubahan sosial politik
Saat masih berjaya di akhir tahun 80-an dan awal 90-an, Lapen Santoso membuka 3 cabang yang dikelola oleh keluarga Santoso. Selain warung utama di Jalan Solo juga ada di Pasar Legi, Bugisan, di Jalan Magelang tak jauh dari pabrik traktor Quick, serta di seputaran jalan Janti.
Di awal-awal 90-an, Lapen Santoso pindah sekitar seratusan meter ke arah barat dari tempat berjualan sebelumnya. “Saya saat itu sekitar SMP kelas 1. Setelah 3 atau empat tahun, Warung Santoso akhirnya pindah ke Mrican,” kata Gintani. Periode itu juga jadi masa keluarga Santoso mulai pelan-pelan melepas pengelolaan Jamu Santoso.
Lapen Santoso dikenal sebagai jamu yang relatif harganya mahal. Sehingga orang-orang yang datang ke sana kebanyakan memang kalangan menengah ke atas. Sementara harga minuman beralkohol di Jogja saat itu tergolong murah, dan itu minuman yang sudah memiliki izin dari pemerintah. Untuk tahu sejarah minuman keras di Jogja bisa baca tulisan di Mojok, Sejarah Minol di Jogja: Dari Kedai Pemabuk Sampai Lahirnya Minuman Oplosan.
Gintani mengingat, di pertengahan tahun 90-an atau awal-awal reformasi ada perubahan situasi sosial dan politik di masyarakat yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi keberadaan Lapen Santoso termasuk keputusan keluarganya mulai melepas pengelolaannya.
Ada peristiwa yang kemudian menghantam keberadaan Jamu Santoso, yaitu lahirnya Keppres 3/1997 yang diteken Presiden Soeharto pada 31 Januari 1997.
Keppres tersebut membatasi peredaran minol golongan B (kadar 5-20%) dan C (di atas 20%).
Orang-orang yang tidak lagi mudah mendapatkan minuman alkohol resmi kemudian beralih ke Jamu Santoso dan meminta jumlah arak yang dicampur ke jamu diperbanyak. Bahkan menurut Gintani ada masa ketika pengunjung hanya ingin membeli araknya saja.
Saat itu Lapen Santoso juga terpaksa menaikan harga karena termasuk minuman yang kena pajak. Selain itu, meski kakeknya pensiunan militer dan, ada harga yang harus dibayar, ada mel-melan yang harus dikeluarkan ke pihak keamanan.
Di tahun 1998, Eyang Santoso meninggal dunia. Sejak itu, keluarga besar Santoso mulai mengalami kebimbangan karena selain biaya produksi maupun nonproduksi semakin tinggi, Lapen Santoso sudah diidentikan dengan minuman beralkohol dan tempat untuk mabuk.
Lapen Santoso kemudian pindah di kawasan Mrican, dan untuk penjualannya diserahkan kepada Pak Min, rewang di keluarga Santoso yang sebelumnya dipercaya membantu Eyang Santoso membuat lapen.
“Jadi Pak Min ini ikut eyang saya sejak dia masih umur 11 tahun, oleh Eyang, dia dipercaya untuk membantu membuat Jamu Santoso. Jadi ilmu racikannya turun ke dia. Ayah saya, itu mantunya eyang Santoso, tugasnya jadi tester jamu yang dibuat oleh Eyang Santoso yang dibantu Pak Min,” kata Gintani.
Gintani masih ingat, saat Jamu Santoso masih berjaya, di pagi hari Pak Min membuat jamu, malamnya dia akan menjadi tukang parkir di depan warung. “Saat awal pindah ke Mrican itu, pengelolaannya masih keluarga kami, pak Min sebagai pelaksananya. Sehingga saat itu, lapen yang dijual masih kental rasa rempah atau jamunya,” ujar Gintani.
Tak lama kemudian keluarga Santoso benar-benar melepas pengelolaanya ke Pak Min. Karena tidak ada campur tangan lagi dari keluarga Santoso, maka mereka tidak lagi tahu resep Lapen Santoso berubah sejauh mana. Apalagi juga kemudian Pak Min kembali ke kampung halamannya di Gunungkidul. Yang meneruskan usaha juga bukan anak-anaknya, tapi keponakannya.
“Terakhir saya beli Lapen Santoso itu tahun 2011, yang jual kerabatnya Pak Min di Mrican, dia jual pakai motor di kawasan Mrican. Itu rasanya sudah sangat jauh dari Santoso di Jalan Solo, alkoholnya lebih dominan,” kata Uji Hahan.
Di awal tahun 2000-an seiring memudarnya Lapen Santoso sebagai tempat minum jamu, mulailah bermunculan minuman oplosan dengan kadar alkohol yang sangat tinggi dengan sebutan lapen.
“Sejak lapen campurannya ngawur dan buat mabuk, aku wis ra tahu ngombe Lapen Santoso. Aku ngombe ki nggo sehat je!” kata Butet Kartaredjasa dengan gaya khasnya.
Lapen yang semula identik dengan jamu kini kemudian lebih dikenal sebagai sebagai minuman keras oplosan. Sampai sekarang.
BACA JUGA Liputan Jogja Bawah Tanah, tema Lapen lainnya