MOJOK.CO – Memasak sayur lodeh di masa wabah, bagi sebagian orang Jawa, menjadi laku yang tetap dipraktikkan. Rujukannya biasanya berasal dari cerita orang-orang dulu. Benarkah cara seperti ini ampuh untuk menangkal pandemi seperti yang terjadi saat ini?
***
Di awal pagebluk Covid-19 menyerang, sejumlah warga desa Bantul memasak sayur lodeh tujuh rupa. Sayur itu dibuat dari tujuh bahan, sebagai lambang pitulungan, sebuah pertolongan di masa susah.
Uniknya, pesan berantai untuk memasak lodeh itu tersebar melalui Whatsapp disertai foto Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam busana kebesarannya. Pesan itu lantas dibantah, disebut hoaks, karena Sultan tak pernah memerintahkan itu.
Namun memasak sayur lodeh di masa wabah, bagi sebagian orang, khususnya Jawa, menjadi laku yang tetap dipraktikkan. Rujukannya, biasanya, dari gethok tular dan cerita simbah atau orang-orang sepuh.
Di daerah lain, ritual ini dikenal sebagai barikan. Tak jauh beda dengan selamatan, barikan adalah tradisi menyantap hidangan pada waktu tertentu. Menu hidangan itu disebut berasal dari wangsit raja atau sesepuh yang dipercaya sanggup mengusir penyakit. Di wilayah Mangkunegaran, Solo, wujudnya berupa minuman jus sirsak dan madu.
Kendati dipertanyakan dari sisi ilmiahnya, bahan-bahan pangan dalam tradisi itu memang bermanfaat bagi tubuh. Ikhtiar itu rupanya bertahan turun temurun lewat sastra lisan atau tradisi tutur. Saat mengenal tulisan, kisah dan konsep tentang pagebluk di Jawa juga diuraikan di karya sastra tulis.
Riwayat dan siasat menggebuk pagebluk di Jawa pada masa lalu itu menjadi temuan riset tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Ibnu Prarista, Taruna Dharma Jati, dan Zalsabila Purnama.
Menurut mereka, sudah lebih dari 1,5 tahun Covid-19 berlangsung, tapi wabah atau pagebluk—begitu orang Jawa lebih akrab menyebutnya—belum ada tanda-tanda rampung.
“Pandemi kok gak selesai-selesai. Padahal sebelum-sebelumnya sudah pernah terjadi. Masak kita tidak bisa belajar dari pandemi-pandemi dulu,” kata Ibnu–yang bareng Taruna ditemui Mojok.co di sebuah resto di bilangan Karanggayam, Sleman, Rabu (15/9) lalu.
Saat Program Kreativitas Mahasiswa (PKH)) digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi , mereka pun menyalurkan rasa penasaran itu lewat penelitian. Apalagi, menurut mereka, selama pandemi ini riset soal pagebluk berbasis budaya amat minim—hanya ada 2-3 tulisan dan beberapa webinar.
Selama empat bulan, Juni- September 2021, mereka menelusuri berbagai sumber pustaka dan naskah-naskah kuno, blusukan ke empat kerajaan di Yogyakarta dan Solo, hingga menemui narasumber keraton, akademisi, dan saksi pagebluk.
Penelitian mereka dirangkum dalam riset berjudul ‘Lawe Wênang Singid: Benang Merah Kontinuitas Penanganan Pageblug berbasis Budaya dalam Perspektif Kesusastraan Jawa Sebagai Strategi Menghadapi Wabah’.
***
Awalnya, dari literatur sastra Jawa klasik, mereka menemukan setidaknya tiga cerita yang berisi konsep dan narasi soal pagebluk. Pertama, kisah Calon Arang, di periode 1400-an yang bercerita tentang Calon Arang yang menyebarkan tenung di desanya.
Pada kurun waktu yang sama juga berkembang Kidung Sudamala. Kisahnya tentang Dewi Uma atau Dewi Durga yang dikutuk oleh Batara Guru menjadi Ra Nini hingga kemudian menyebarkan teror. “Di cerita Calon Arang dan Sudamala, wabah itu bahkan disebut,” tutur Taruna, mahasiswa Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, angkatan 2019.
Kedua cerita itu punya kemiripan: tokoh utamanya seorang perempuan, bergenre feminin, dan mereka disucikan secara spiritual melalui suatu ritual. Calon Arang dikalahkan dan diruwat oleh Mpu Baradah sehingga ia dapat mencapai kebebasan secara spiritual.
Sedangkan Ra Nini diruwat oleh Sadewa, salah satu Pandawa, sehingga sang dewi kembali ke wujudnya. “Di dua cerita itu, pagebluk dianggap cara bumi untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu,” kata Ibnu, mahasiswa Fakultas Hukum UGM 2019.
Naskah ketiga yang memuat ihwal pagebluk adalah Negara Kertagama, sumber sejarah utama soal Majapahit di masa pemerintahan Hayam Wuruk. Tata ruang kerajaan yang memperhatikan keselarasan alam dan Kerapnya Hayam Wuruk turba—turun ke bawah—dinilai selaras dengan konsep melawan pagebluk.
“Beda dari dua cerita sebelumnya yang lebih eksplisit, konsep pagebluk di kakawin ini lebih menyangkut kosmologi untuk menjaga keselarasan antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan,” tutur Taruna.
Setelah mencermati karya sastra yang sudah jamak, Taruna dkk berburu manuskrip kuno di empat keraton di Solo dan Yogyakarta. Terbentur birokrasi dan mepetnya waktu riset, tak semua perpustakaan keraton berhasil diakses. Apalagi katalog pustaka kadang tak detail, seperti koleksi naskah Puro Pakualaman yang mentok di tema kesehatan. “Kebanyakan membahas soal obat-obatan,” kata Taruna.
Titik terang baru muncul saat mereka menelusuri Mangkunegaran. Kerajaan di Solo itu menyimpan lebih banyak kitab dengan kategori lebih spesifik, termasuk soal wabah. Taruna dkk bahkan menemukan tujuh bahasan soal pagebluk yang tercatat di manuskrip.
Wabah malaria dan cacar pada 1920, juga tuberculosis di abad 19, dibahas di naskah ‘Ngelmu Kawarasan’. Pagebluk pes, periode 1920-1940, diulas di ‘Bab Lelara: Pes lan pratikel minangka panyegahe’. Adapun ‘Lalara Gudhig’ mengurai hal ihwal penyakit kulit di masa 1920.
Pagebluk kolera yang melanda 1820 hingga akhir abad 19 pun dijabarkan di naskah ‘Lelembut Kolerah’. Tak ketinggalan soal influenza yang marak di awal abad 20 dipaparkan di manuskrip ‘Lelara Influenza’.
Menurut Ibnu, naskah-naskah lawas itu juga memuat penanganan pandemi. Bukan hanya langkah-langkah umum seperti menjaga kebersihan, melainkan juga instruksi-instruksi khusus.
Menghadapi malaria contohnya, warga diminta menutup tempat air dan mengobatinya dengan kenini. Cacar diriwayatkan diobati dengan suntik obat, sementara penderita tuberculosis dan kolera diwajibkan tinggal di rumah.
Penggunaan masker juga disebut di ‘Lelara Influenza’ saat pagebluk flu itu menggebuk Jawa di awal abad 20. Penderita pes bukan hanya harus suntik, melainkan juga diwajibkan membasmi tikus, memperbaiki rumah sesuai standar, bahkan meninggalkan desa yang sudah dijangkiti wabah itu.
Manuskrip itu juga seakan memuat tips atau panduan menghadapi warga yang tak percaya pada pagebluk. Di naskah ‘Lelembut Kolerah’, penjelasan soal wabah itu disampaikan dalam bentuk tanya jawab. “Dialognya termasuk dengan orang yang tak percaya adanya kolera,” kata Taruna.
Narasi dalam karya tulis kuno ini dikuatkan dengan kesaksian para penyintas wabah yang ditelusuri oleh Ibnu. Mereka merekam tradisi tutur atau sastra lisan tentang pagebluk dalam ingatan.
“Mbah Margiyem, salah satu warga Gunungkidul penyintas pes 1940-an, menyebut pes sebagai lelembut seperti orang-orang zaman itu,” kata Ibnu.
Taruna menjelakan, meski saat ini diartikan sebagai makhluk halus, pemahaman orang waktu itu tentang lelembut adalah cara untuk menyebut sebagai suatu yang tak kasat mata atau gaib—seperti halnya virus saat ini.
“Masyarakat yang belum paham ilmu pengetahuan akan sulit untuk memahami wabah sebagai suatu fenomena ilmiah,“ kata Ibnu.
Tradisi lisan Jawa juga mengenalkan konsep pagebluk melalui sejumlah ajaran. Setelah lodeh tujuh rupa dibantah, pada awal pandemi hingga kemudian secara berkala, Sultan HB X tampil dalam pidato Sapa Aruh.
Dalam pidato itu, ia kerap menyebut “mangasah mingsing budi, memasuh malaning bumi, memayu hayuning bawana”. Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, KRT Jatiningrat, yang akrab disapa Romo Tirun, menjelaskan ungkapan itu adalah ajaran Sultan Agung.
“Mangasah mingising budi itu mempertajam hati; memasuh malaning bumi berarti pro pada kebersihan—kalau muslim seperti wudu–mengarah ke kesucian atau kebersihan; memayu hayuning bawana adalah memelihara dunia dari kerusakan,” tutur pria kelahiran 8 Desember 1943 itu saat ditemui Mojok.co.
Menurut Taruna, pagebluk dipercaya bakal terjadi jika tiga ajaran itu ditinggalkan manusia. Ini berbeda dengan Kadipaten Puro Pakualaman yang percaya bahwa pagebluk sebagai hukuman dari Batara Kala jika merujuk Babad Ila-ila.
Hukuman diberikan lantaran manusia sudah cuek pada sesama dan lingkungan. Hukuman ini dipercaya merupakan siklus 100 tahunan. “Kalau dikaitkan dengan wabah pes di Jawa 1920, Covid-19 ini sepertinya pas,” kata Taruna seraya tertawa.
Dari Kasunanan Surakarta, Solo, tim ini mendapat narasi lisan bahwa pagebluk berkaitan dengan 10 unsur alam. Konsep sepuluh unsur itu adalah eka bumi, dwi sawah, tri gunung, catur sagara (laut), panca taru (pohon), sad panggonan (tempat tinggal), sapta pandhita (orang alim), hasta tawang (langit), nawa dewa (agama), dasa ratu (pemimpin). “Jika 10 unsur alam ini tak seimbang, pagebluk akan terjadi,” ujar Ibnu.
Sastra tutur juga menegaskan cara menghadapi wabah secara fisik. Namun tradisi lisan itu saat dilacak bisa berbeda sumbernya.
Di wilayah Mangkunegaran, Solo, raja menitahkan untuk membuat barikan jus sirsak plus madu hingga menanam daun tunjung sebagai obat wabah pes. “Ini beda dengan lodeh tujuh rupa yang tak pernah menjadi perintah dari Sultan tapi datang dari masyarakat sendiri,” ujar Taruna yang asal Semarang.
Demikian pula kirab pusaka Kyai Tunggul Wulung yang digelar saat pes menjalar ke Yogyakarta. “Itu permintaan masyarakat sebagai bentuk kepercayaan pada keraton. Keraton pun memberikan upaya berupa kirab tersebut. Saat rakyat percaya, akan muncul sugesti,” tukas Ibnu yang asli Yogyakarta.
Romo Tirun pun mengonfirmasi bahwa kirab pusaka berupa bendera dari kain kiswah dan tongkatnya itu bukan titah Sultan, seperti halnya soal sayur lodeh tujuh rupa. “Itu dari suara masyarakat sendiri. Kalau ada gambar Sultan (di pesan berantai soal lodeh),itu mungkin ben mandi (dianggap manjur),” tuturnya.
Namun ia ingat, saat wabah pes terjadi, Keraton Yogyakarta menyembelih kebo bule, kerbau putih yang terbilang jarang kala itu. “Dagingnya ditanam di selatan dua beringin di Alun-alun Utara,” kata Romo Tirun yang ketika itu berusia 5 tahun.
Meski Romo Tirun hanya menyebutnya sebagai ‘kurban’ dan tak digelar secara rutin, prosesi ini mirip upacara Mahesa Lawung yang dipertahankan Kasunanan Surakarta dan kini dihelat tiap malam 1 Suro.
Ritual ini digelar perdana saat pagebluk melanda Kerajaan Girimawa tahun 387 Saka dengan menyembelih kuda. Prosesinya kemudian berkembang dengan mengurbankan kerbau dan dagingnya dibagikan ke warga. Kepala kerbau lantas dikubur di tanah sebagai simbol menghilangkan kebodohan.
“Di masa (Presiden) Pak Harto, Mahesa Lawung tak lagi menjadi upacara khusus untuk keselamatan keraton dari pagebluk, tapi sebagai doa untuk keselamatan Indonesia,” kata Ibnu.
***
Saat meneliti sumber-sumber itu, tim sempat ‘dimarahi’ oleh seorang kerabat keraton. Bangsawan itu heran lantaran tak ada yang serius mengeksplorasi kekayaan budaya dan sejarah kita dalam menghadapi pandemi. “Kok malah kalian yang datang, bukannya pemerintah,” ujar Taruna menirukan seorang pembesar keraton.
Ucapan itu sebenarnya pujian bagi riset mereka, tapi sekaligus kritik bagi pemerintah yang bertanggung jawab memimpin penanganan pandemi. Strategi penanganan pandemi sebenarnya telah terekam di khazanah kearifan lokal dan pemerintah semestinya menggali dari khazanah itu.
Riset menunjukkan penanganan pagebluk di masa lalu sebenarnya punya benang merah dengan strategi menghadapi pandemi di masa kini. “Pada masa lalu, pageblug sudah terjadi dan dimaknai sebagai suatu akibat dari adanya ketidakselarasan antara hubungan manusia dengan alam,” kata Ibnu.
Untuk itu, pagebluk dapat dihadapi dengan upaya-upaya kultural yang tak lekang oleh zaman, seperti cuci tangan, berdiam di rumah, menerapkan pola hidup sehat, bahkan dengan obat-obatan baik tradisional maupun modern.
“Dulu di rumah-rumah ada padasan (gentong air untuk cuci tangan) dan jadi budaya. Ini harus diingatkan lagi. Pendekatan budaya ini yang sempat terabaikan saat ada Covid-19,” kata Taruna.
Menurut Ibnu dan Taruna, Kontinuitas itu mestinya dikaji dan dijabarkan dalam pendekatan budaya dan politik kebijakan untuk merumuskan strategi melawan pandemi di masa kini dan kelak di masa depan jika pagebluk terjadi lagi.
Ibnu dkk mengibaratkan keterhubungan itu layaknya benang atau lawe wenang singid, seperti judul riset mereka. “Jadi menghadapi pagebluk kita tidak perlu panik jika kita kritis pada sejarah. Pemerintah seharusnya mengeluarkan semua (khazanah budaya dan sejarah) itu untuk menghadapi pandemic saat ini,” ujar Taruna.
Mereka percaya khazanah budaya untuk menangkis wabah tak hanya ditemukan di Jawa. Riset PKM lain misalnya, mengungkap perilaku cuci tangan di budaya Minang. Lantaran itu, mereka percaya diri penelitian ini dapat dikembangkan dengan cakupan nasional.
“Konsep penangan pagebluk bisa ditemukan di daerah lain di Nusantara. Ini bukan soal tradisinya, tapi konsep dan semangat menghadapi pagebluk,” kata Ibnu.