Mbah Prapto, Mbah Margiyem dan Mbah Wono Mulsaman, berasal dari Padukuhan Cuwelo Kidul, Wonosari. Ketiganya berumur lebih dari 90 tahun. Mereka menjadi saksi hidup pagebluk Pes yang melanda Jawa pada tahun 1920-1940.
“Setiap hari ada sekitar 15-20 orang yang meninggal dari satu kampung,” ujar Mbah Margiyem bercerita tentang ganasnya Wabah Pes saat itu kepada M. Ibnu Prarista, salah satu dari tiga mahasiswa UGM yang meneliti soal pagebluk.
Tak main-main, orang tua dan adik Mbah Margiyem turut menjadi korban pagebluk Pes. Bahkan Margiyem tak punya firasat apapun tentang kepergian adiknya. Siang hari sang adik masih bermain seperti biasanya namun tak lama kemudian mendadak demam dan sore hari sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Kondisi ini konon sesuai dengan istilah orang Jawa soal pagebluk Pes; isuk loro sore mati, sore loro isuk mati.
Berdasarkan ingatan para penyintas pagebluk Pes pertama di wilayahnya muncul di dusun Jetis, Wonosari. Menurut keterangan Mbah Wono warga dusun sekitar kemudian membatasi interaksi dengan orang dari dusun yang terjangkit penyakit tersebut.
“Orang-orang dari dusun Jetis itu tidak boleh berkunjung ke pasar saat itu. Kemudian juga ada penyemprotan. Penyemprotan ini program pemerintah Hindia Belanda,” Kata Mbah Wono.
Di Wonosari sendiri upaya-upaya pencegahan dilakukan untuk menekan jumlah korban yang terdampak wabah Pes. Lagi, menurut keterangan Mbah Wono upaya yang dilakukan masyarakat adalah dengan cara menjaga hubungan dengan desa yang terjangkit, tidak boleh ke pasar dan tidak boleh berhubungan dengan orang yang berada di dusun yang terjangkit.
Imbas dari banyaknya korban yang jatuh akibat wabah ini bakda maghrib penduduk desa diwajibkan berdiam diri di rumah. Mbah Prapto bahkan punya pengalaman ikut mengubur tetangganya yang menjadi korban wabah Pes. Desa-desa yang terjangkit penyakit Pes pun perlahan ditinggalkan warganya.
Warga Gunung Kidul kala itu juga mulai menyadari Pes adalah sebuah penyakit yang sumbernya berasal dari tikus. Mereka bercerita bahwa pada saat ada tikus memang banyak tapi tikusnya berukuran kecil-kecil dan ada kutunya.
Kutu ini lah yang menjadi sumber penyakit Pes. Penyakit ini berasal dari bakteri berbentuk basil Bernama Yersinia Pestis. Basil ini ditemukan di kutu-kutu yang terdapat dalam tikus.
Syefri Luwis dalam bukunya “Epidemi Pes di Malang; 1911-1916” mendapati temuan yang menarik ihwal awal mula penyebaran Pes di Hindia Belanda kala itu. Dikutip dari tulisan Eko Widianto di Mongabay, Syefri menjelaskan sebetulnya Pes pertama kali terdeteksi di Tanjung Merowa Deli, Sumatera, pada tahun 1905. Namun saat itu Pes belum menjadi pandemi.
Pes ditemukan lagi selang beberapa tahun kemudian di Malang, Jawa Timur. Kasus ini bermula dari pemerintah kolonial Belanda yang mengimpor beras dari Yangoon, Burma (kini Myanmar) pada Oktober 1910. Diketahui pada saat itu Jawa gagal panen sehingga pemerintah mengimpor beras. Namun nahasnya di Burma kala itu sedang marak penyakit Pes.
Beras-beras yang telah diimpor tadi masuk ke Surabaya lewat jalur laut kemudian didistribusikan melalui jalur kereta. Tetapi karena jaringan kereta terputus akibat banjir antara Wlingi (Blitar)-Malang maka beras dipindahkan ke gudang-gudang di sekitar jalur kereta di daerah Turen.
Setelah beras ditempatkan di gudang di sinilah mulai ditemukan tikus-tikus mati. Tak berapa lama kemudian penyakit Pes ditemukan pertama kali di daerah Dampit dan Turen, Malang, sejumlah warga dilaporkan meninggal terinfeksi kutu yang terdapat pada tikus. Paska kejadian tersebut penyakit Pes menyebar ke sejumlah daerah.
Pagebluk Pes dan Kirab Kyai Tunggul Wulung di Yogyakarta
Pagebluk Pes tak hanya melanda Jawa Timur. Wabah ini kemudian juga melanda wilayah Yogyakarta seperti yang diceritakan oleh para penyintas pagebluk Pes di Wonosari. Menurut berbagai catatan korban jiwa pagebluk Pes di Yogyakarta mencapai 4.535 orang.
Pada saat pagebluk pes melanda Yogyakarta inilah konon kabarnya Kyai Tunggul Wulung dikirab. Kyai Tunggul Wulung merupakan pusaka milik Keraton Ngayogyakarta. Pusaka ini berbentuk seperti bendera yang bahannya dipercaya terbuat dari Kiswah atau penutup kain Ka’bah.
Seperti yang ditulis oleh Hendri F. Isnaeni di Historia, Ahli Filsafat Jawa, Prof. Dr. Damardjati Supadjar menulis dalam bukunya “Mawas Diri” bahwa ‘Tunggul’ artinya pemimpin ‘unggulan’ sedangkan ‘wulung’ berarti kecendrungan bawaan yang tersembunyi. Maka terkandung dalam kirab Tunggul Wulung berarti re:orientasi total
Prosesi kirab Kyai Tunggul Wulung sendiri dipercaya oleh masyarakat sebagai upaya tolak bala dan memohon kesembuhan dari pagebluk yang terjadi. Untuk memastikan hal ini Mojok kemudian menemui Pengageng Dwarapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Djatiningrat.
“Tahun 1948 itu kalau tidak salah Keraton diminta untuk miyoske atau mengirabkan pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung keliling kota tapi arahnya atau rutenya kemana saja saya ndak hafal karena waktu itu saya masih kecil banget,” ujar KRT. Djatiningrat atau biasa dipanggil Romo Tirun saat ditemui Mojok di kantornya yang berada di Kompleks Keraton Ngayogyakarta.
Romo Tirun ingat betul kala itu ia masih berumur 5 tahun saat pagebluk Pes terjadi di Jogja. Raja Yogyakarta Sri Sultan HB IX saat itu memperkenankan untuk mengeluarkan Kanjeng Kyai Tunggul Wulung.
“Setahu saya kirab yang dulu itu atas permintaan masyarakat,” katanya.
“Kanjeng kyai tunggul wulung itu landaiannya atau tombaknya bernama Kanjeng Kyai Slamet. Kemudian klebetnya atau benderanya namanya Kanjeng Kyai Dudo. Jadi sebetulnya itu (Kyai Tunggul Wulung) dua pusaka yang dijadikan satu jadi kayak bendera,” papar Romo Tirun.
Adapun kaligrafi dalam klebet Kyai Tunggul Wulung tertulis Asmaul Husna dan Surat Al-Kautsar. Menurut Romo Tirun filosofinya berkaitan dengan Allah SWT sudah memberikan kenikmatan yang banyak maka kita diwajibkan untuk bershodaqoh dan berqurban.
Adapun arti dari surat Al-Kautsar sendiri adalah sebagai berikut: (1) Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. (2) Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). (3) Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
“Makanya karena ada pagebluk ini banyak yang melakukan shodaqoh. Itu sebetulnya salah satu jenis kurban. Mengurbankan hartanya untuk kepentingan orang lain. Cocok kalimatnya dengan yang ada di pusaka ini,” terangnya.
“Dan waktu itu orang yang mendapat tugas membawa Kanjeng Kyai Tunggul Wulung itu naik kuda terus diiring sambil jalan, yang naik kuda ini abdi dalem. Itu malam hari dikirabnya keliling kota,” Imbuh Romo Tirun.
Selain kirab Kyai Tunggul Wulung, Romo Tirun juga masih ingat pada masa itu ada penyembelihan hewan kurban di Keraton Ngayogyakarta. Hewan yang dikurbankan adalah Kebo Bule.
“Kebo bulenya dicencang di Pacikeran. Pacikeran itu letaknya dari Siti Hinggil turun ada tangga terus sebelah baratnya. Dekat bangsal sebelah barat. Saya itu lihat. Satu kerbau Kebo Bule. Lalu kebo bulenya disembelih dan dagingnya ditanam di sebelah selatan antara dua beringin, beringin kurung yang di utara,” Romo Tirun bercerita.
Ihwal pagebluk Pes yang terjadi pada tahun-tahun tersebut, hanya sedikit yang kejadian yang Romo Tirun ingat. Maklum saja waktu ia masih sangat kecil. Salah satu yang ia masih ingat adalah pada waktu itu banyak rumah-rumah penduduk yang mempunyai kayu reng/usuk dari bambu utuh. Nah kayu-kayu itu lah sering menjadi tempat tikus. Sehingga pada waktu itu banyak rumah penduduk yang mengganti usuk supaya tikusnya ngga ngumpet di situ.
“Kyai Tunggul Wulung itu pusaka lama. Kapan persisnya saya tidak tahu. Pada waktu perjanjian Giyanti atau pertemuan Jatisari apa itu sudah masuk menjadi pusaka HB I saya kurang hafal,” pungkasnya.
Lantas jika terjadi pagebluk biasanya Kyai Tunggul Wulung dikirab, namun mengapa saat ini ketika pagebluk Covid-19 pusaka tersebut urung dikirab? Pertanyaan ini muncul ke permukaan mengingat kondisi Covid-19 yang sama ganasnya dengan pagebluk Pes kala itu.
Untuk pertanyaan di atas, Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X punya jawabannya. Dalam wawancara yang dilakukan oleh seniman Butet Kertaredjasa di akun Youtube pribadinya, Sri Sultan HB X menerangkan bahwa untuk melakukan hal tersebut resikonya besar.
“Resiko saya besar. Kalau dulu mungkin no problem (Kirab Kyai Tunggul Wulung) tapi kalau sekarang kondisinya bisa pro dan kontra. Keyakinan seperti itu mungkin bisa terjadi tapi ini (Covid-19) kan di seluruh dunia kondisi ini kan berbeda. Kalau tidak kan saya malah ditertawakan banyak orang,” Ujar Sri Sultan HB X.
“Daripada begitu lebih baik masyarakat menjaga dirinya sendiri dengan orang lain sehingga perlu tumbuh kesadaran, bagi saya seperti itu lebih bagus daripada hal-hal seperti itu (kirab Kyai Tunggul Wulung) dilakukan tapi punya implikasi pro dan kontra yang hanya akan memperkeruh suasana yang tidak dapat terkontrol,” pungkasnya.
BACA JUGA Riwayat Pagebluk di Empat Kerajaan: Terkubur di Manuskrip Kuno dan Dilupakan dalam Ajaran dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.