Di Sosrowijayan Kulon yang jadi kawasan prostitusi Sarkem, ada satu musala yang berdiri di tengah himpitan permukiman padat. Musala kecil nan sederhana dengan seorang takmir. Namun, keberadaannya di sana begitu bermanfaat bagi mereka yang hendak beribadah. Di siang maupun malam ketika geliat tempat hiburan berjalan.
Musala Al-Hikmah itu letaknya di sisi timur kawasan Sarkem. Seorang lelaki bernama Sutimin menjadi takmirnya. Sudah belasan tahun ia menjaga musala ini. Merekam cerita-cerita religi di balik dunia gelap kawasan prostitusi.
***
Berbekal informasi dari Pak Sarjono, selaku Ketua RW Sosrowijayan Kulon, saya mencari sosok Sutimin. Lelaki yang menjaga sebuah musala kecil dan satu-satunya tempat ibadah di tempat prostitusi Sarkem.
Saya berjalan menelusuri gang menuju arah musala yang nyempil di sudut permukiman warga dan bilik-bilik karaoke serta prostitusi. Sosok Sutimin membuat saya penasaran.
Setibanya di depan musala, saya bertanya pada seorang perempuan yang sedang makan di pinggir gang, di mana sang takmir musala tinggal. Perempuan itu lantas menghentikan makannya sejenak.
“Oh, Bram,” ujarnya.
“Itu orangnya Mas,” lanjut perempuan itu sambil menunjuk ke dalam sebuah kamar kontrakan kecil. Di teras kamar, seorang lelaki sedang rebahan di kursi bambu panjang.
Dengan gerakan yang berat, ia beranjak dari rebahnya dan menghampiri saya. Sejurus kemudian mengajak saya untuk masuk ke musala yang persis berada di samping tempat ia tinggal.
Tempat ibadah itu sederhana, tidak terlalu luas dengan cat warna hijau yang mendominasi seluruh temboknya. Kapasitasnya barangkali tak banyak, maksimal hanya dua puluh sampai tiga puluh jemaah saja.
Kami sudah duduk berhadapan. Sutimin bersila sambil menyandarkan badannya ke tembok. Lalu membenarkan letak sarungnya.
Sutimin bercerita bahwa di kampung ini ia dikenal dengan panggilan lain. Bram jadi nama tenarnya di sini. Sehingga kalau mencarinya, lebih baik gunakan nama itu saja.
“Kalau Sutimin mereka bingung. Pada kenalnya Bram,” jelasnya. Suaranya serak dan tidak begitu terdengar jelas.
Panggilan Bram sudah tersemat padanya sejak muda. Nama itu diberikan padanya lantaran sering bermain kartu remi bersama para bule yang ada di sekitar kawasan Sosrowijayan.
“Dulu kalau main remi sama bule. Mereka dikasih nama Jawa. Sedangkan kami dikasih nama bule. Ada bule dipanggil Paijo. Nah saya dipanggil Bram,” kenangnya seraya tertawa serak.
Orang-orang Sarkem pun lebih mengenalnya dengan panggilan Bram. Ketimbang nama aslinya yakni Sutimin. Lelaki ini lahir pada tahun 1953.
“Kalau di KTP 1953. Tapi kata ibu saya dulu, saya lahir tahun 1952,” ujarnya.
Bram, yang lahir di Klaten sejak umur satu setengah tahun sudah pindah ke sekitar Sarkem. Ia ikut ibunya yang menikah lagi dengan seorang tukang becak di sekitar sini. Sedangkan ayah kandungnya tetap di Klaten.
Tahun 1965, ayahnya tirinya tadi meninggal. Sang ibu lantas menikah lagi dengan lelaki asal Wonosari. Mereka kemudian mengontrak sebuah kamar sederhana di kawasan Sarkem.
“Jadi, saya punya ayah tiga,” katanya tertawa.
Sejarah Musala di lokalisasi Sarkem
Saat awal pindah ke Sarkem dulu, Bram ingat bahwa musala ini sudah berdiri. Berawal dari musala untuk keluarga yang tersusun dari gedek bambu. Ukurannya juga lebih kecil dari yang tampak sekarang.
“Kalau sekarang ini musala menghadap utara, dulu menghadap timur pintu bangunannya. Dulu juga masih ada pohon jambu besar di situ,” ujarnya seraya menunjuk pojokan musala.
Meski bangunannya sederhana, tapi dulu, musala ini sering juga digunakan oleh para jemaah dari kampung sebelah. Hal itu disebabkan karena dulu, di Sosrowijayan Wetan, belum ada masjid sama sekali. Sehingga jika ingin salat, banyak yang datang kemari.
“Keberadaan musala ini jadi buat orang ingat kewajiban salat. Kalau orang lewat, lihat musala, kan setidaknya ada perasaan terpanggil,” tuturnya.
Pemilik tanah dan bangunan musala ini sebenarnya bernama Bu Punarsih. Menurut Bram, usianya sudah 80-an tahun. Punarsih tinggal di kampung sebelah. Sedangkan anak dan keturunannya kebanyakan sudah hijrah ke tempat lain.
Punarsih juga pemilik bangunan tempat Bram tinggal. Hingga sekarang, lelaki ini masih tinggal mengontrak kamar kecil seorang diri. Ia pernah menikah. Namun, akhirnya bercerai sekitar tahun 1989. Tak punya anak keturunan dan hingga sekarang tak pernah menikah lagi.
Bram sendiri mulai aktif menjadi takmir yang menjaga musala ini sekitar tahun 2003. Awalnya yang menjaga adalah temannya. Setelah sang teman pergi dari kampung itu, Bram lantas mengambil peran sebagai takmir.
“Di sini nggak ada yang ngopeni. Karena saya sering salat di sini, akhirnya istilahnya disuruh ngurus,” jelasnya.
Menjadi takmir di sarkem bukan karena saleh
Sebelum jadi takmir, Bram memang sesekali menjadi imam salat berjemaah di tempat ini. Menurutnya, menjadi imam bukan karena ia merupakan orang yang saleh. Tapi memang karena tidak ada pilihan lain selain dirinya.
Kalau ada anak muda yang lebih mumpuni, ia dengan senang hati menyerahkan posisi imam salat. Ia menyadari dirinya bukan orang “suci”. Sehingga kalau ada yang lain, ia dengan senang hati menyerahkannya.
“Kalau lebih kotor dari saya, yawes saya yang jadi imam. Tapi kalau ada anak kecil, dia bagus, ya saya jadi makmum aja. Dia lebih bersih dan lebih pintar,” ujarnya.
Menjadi takmir musala di kawasan “hitam” seperti Sarkem membawa tantangan tersendiri. Musala ini merupakan satu-satunya tempat ibadah. Namun, bagi Bram, susah sekali untuk mendatangkan jemaah.
“Yang berat itu kalau nggak ada jemaahnya. Saya kadang azan, iqamat, dan salat sendiri,” keluhnya.
Tak jarang, ketika subuh dan bisa bangun sebelum azan berkumandang, ia lebih memilih salat di masjid kampung sebelah yakni Sosrowijayan Wetan. Jika telat bangun, baru ia akan salat di musala kecil ini.
Jemaah biasanya hadir saat waktu salat magrib dan isya. Jumlahnya tidak banyak, paling hanya dua atau tiga orang saja. Saat siang juga begitu, sesekali ada yang turut serta salat berjemaah. Namun, tidak setiap hari ada.
Jemaah baru ramai saat bulan Ramadan tiba. Musala bisa penuh saat salat tarawih. Pihak kampung juga menyediakan Balai Warga untuk tempat salat saat bulan Ramadan. Para warga hingga PSK banyak yang berdatangan.
Kampung Sosrowijayan Kulon juga sempat rutin menggelar pengajian yang diisi oleh Gus Miftah. Acara itu berlangsung setiap 40 hari sekali di Balai Warga. Meski belakangan sedang terhenti lantaran Gus Miftah sedang sering acara di Jakarta.
Perempuan yang membaca Al-Qur’an
Selain urusan jemaah, kadang kala ada pemandangan yang membuat hati Bram tergugah. Misalnya saat ia melihat seorang perempuan yang menjadi pemandu lagu atau LC kerap salat di musala. Perempuan itu juga membaca Al-Qur’an sejenak setelah beribadah.
“Itu menarik perhatian saya soalnya bacaan Al-Qur’an dia pinter,” katanya.
Namun, belakangan ini tidak pernah melihat perempuan itu lagi. Pernah suatu hari ia menjumpainya. Perempuan itu bilang kalau sedang haid sehingga tak salat. Namun, hingga sekarang Bram tak pernah melihat batang hidung perempuan itu lagi di musala.
Kadang juga ada para pekerja di sana yang bertanya, bagaimana salat mereka jika masih terus aktif menjalankan kemaksiatan. Bram mengaku hanya bisa memberikan jawaban sederhana.
“Saya hanya jawab, kalau salat itu kewajiban. Jangan ditinggalkan. Lama-lama salatmu bisa memperbaiki hidupmu,” ujarnya bijak.
Bram mengakui dirinya bukan orang saleh. Pernah banyak melakukan dosa dan kemaksiatan dalam hidupnya. Namun, ia berusaha terus menjaga salatnya.
“Saya ini bukan orang baik. Tapi semenjak umur 18, sudah saya biasakan agar rutin lah salatnya,” terangnya.
Lelaki ini kini tidak punya pekerjaan tetap. Mengandalkan pekerjaan serabutan yang bisa ia lakukan di kawasan Sarkem. Hal tersebut sudah ia lakoni sejak bercerai dengan sang istri tiga dekade silam.
Berkat merawat musala ini, ia bisa mendapat potongan harga kamar kontrakannya. Namun, ia punya harapan agar sang pemilik tanah nantinya bisa mewakafkan tanah musala ini. Agar generasi-generasi Sarkem selanjutnya tetap memiliki tempat ibadah yang dekat. Setidaknya, sebagai pengingat dan pendekat pada Yang Maha Kuasa.
Reportase tentang “Kisah Bram, Takmir Musala di Tengah Lokalisasi Sarkem” merupakan tulisan kelima dari 6 tulisan yang sudah disiapkan untuk liputan Jogja Bawah Tanah yang mengusung tema Sarkem.
Tulisan berikutnya, akan mengulas tentang Kampung Sosrowijayan Wetan dan sebuah toko buku. Kampung di sebelah Sosrowijayan Kulon yang sering disalahpahami oleh orang yang datang.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono