Jogja Gila Kambing:
Jejak Rasa Ribuan Ton Daging yang Tak Kalah dengan Surakarta
Kuliner kambing di Jogja berkembang pesat.Warung-warung penjaja olahan kambing pun berjumlah ratusan bahkan ribuan dengan penikmat yang begitu banyak. Padahal, Jogja tidak memiliki komunitas Arab atau Timur Tengah layaknya Solo atau Surakarta.
Mojok mencoba menelusuri, seperti apa dan bagaimana kuliner kambing di wilayah ini menjadi begitu istimewa. Mulai dari sejarah sate klathak hingga perbedaan kultur dengan Solo yang sudah lama menyandang predikat surganya kuliner kambing.
Aroma asap pembakaran daging kambing menusuk hidung saat melintas di Jalan Imogiri Timur, Bantul. Sepanjang jalan ini, berderet warung yang menjajakan beragam olahan kambing. Paling banyak tentunya sate klathak. Sebuah menu sate kambing yang lekat dengan Jogja.
Deretan warung ini sulit terhitung jumlah pastinya, bisa puluhan bahkan sampai seratus jika menghitung yang nyempil di antara kelokan dan persimpangan. Namun, meski jumlahnya banyak, sebagian besar ramai pengunjung. Kata seorang teman, setiap warung punya ciri khas dan keunggulannya. Maka, biasanya setiap penikmat kambing di Jogja pun sudah punya warung langganan, menyesuaikan selera masing-masing.
Minggu (26/3) malam saya membuat janji dengan dua anak muda Jogja yang gila kambing. Setiap pekan tak pernah absen menyambangi warung kesukaan mereka. Seperti malam ini, keduanya ingin mencicipi sajian di Sate Klathak Mak Adi.
Warung yang sudah berdiri sejak 1995 ini menyajikan berbagai olahan kambing seperti gulai, tongseng, tengkleng, sate klathak, dan satu yang khas di sana yakni kronyos atau krenyos. Abiyakto (23) mengirim pesan WhatsApp pada rekannya yang terlebih dulu tiba dengan saya.
“Aku pesen klathak, kronyos, nasi, karo es teh,” tulisnya.
Itulah kombinasi menu yang biasa Abi santap saat berkunjung ke Mak Adi. Tapi sayang, saat saya melangkahkan kaki ke kasir, terpampang jelas sebuah catatan, “kronyos habis.”
Akhirnya, kami pesankan sate klathak saja. Tak sampai lima menit, lelaki yang tinggal di Soragan, Bantul ini telah sampai. Lebih cepat dari perkiraan. Rautnya sedikit kesal saat kami bilang kronyos yang ia idamkan tak tersedia. Kendati begitu, seleranya untuk menyantap klathak tak reda.
Sate klathak, olahan kambing dengan bumbu sederhana
Kami duduk di sebuah gazebo sebelah warung. Deretan foto publik figur terpajang di dinding. Salah satu penanda tersohornya sebuah warung memang terlihat dari orang-orang yang mengunjunginya. Foto-foto yang terpajang itu seakan menegaskan hal itu.
Tak butuh waktu lama, seporsi sate klathak, tengkleng, dan sate kecap terhidang di hadapan kami. Aromanya menggugah selera. Masing-masing dari kami langsung melahapnya.
“Sudah seminggu nggak ngambing,” gumam Abi sambil mengunyah empuknya potongan sate klathak dengan lahap.
Lelaki ini sejak kecil mengaku sudah terbiasa makan daging kambing. Keluarganya langganan di sebuah warung sate yang cukup legendaris di Jogja yakni Sate Kambing Pak Dakir. Setidaknya, sejak belia ia sudah terbiasa menyantap kambing seminggu sekali.
Saat kecil dulu ia terbiasa makan olahan kambing dengan bumbu lengkap. Baru beberapa tahun terakhir, ia coba mengeksplorasi sate klathak. Sajian olahan kambing dengan bumbu yang terbilang sederhana.
“Saat pertama coba itu rasanya beda. Biasanya kambing bumbunya padat gurih rempah. Ini gurih asin tipis aja. Dagingnya kerasa banget,” paparnya.
Perkenalan pertamanya dengan klathak bermula di Warung Pak Pong. Setelah jatuh cinta dengan klathak, ia bergerilya menjajal deretan warung di Jalan Imogiri Timur. Jika ia menghitung, setidaknya ia sudah menjamah belasan warung klathak dengan segala cita rasanya. Termasuk yang berada di luar Bantul.
Saking seringnya jelajah kuliner kambing, teman Abi sering mengingatkan agar mengontrol supaya tak terlalu banyak kolesterol. “Ya aku sih ngerasa biasa aja dan nggak pernah ada dampak apa-apa,” ujarnya tertawa.
Sampai pada suatu malam hari ia ngidam sate klathak. Jarak rumahnya dengan sentra klathak favorit berjarak sekitar 13 kilometer sehingga ia memilih membeli sate kecap di warung terdekat. Namun, pagi harinya, ia mendapat ajakan untuk nyate lagi. Tanpa pikir panjang ia pun tancap gas.
“Akhirnya siangnya aku ke Mak Adi beli kronyos. Walah ternyata langsung kerasa kenceng di leher. Agak pusing pula kepalanya. Ternyata begini kalau makannya nggak pakai aturan,” kenangnya terbahak.
Jejeran, sentra kuliner kambing di Jogja sejak masa Mataram
Kesukaan masyarakat Yogyakarta terhadap makanan hewani bisa ditarik mundur ke zaman Sultan Agung Hanykrokusumo. Di masa itu, duta VOC, Van de Haan datang ke ibu kota kerajaan yang ada di Kerta. Saat ini bekas keraton berada di kawasan Pleret, Bantul. Van de Haan menyebutkan jika setiap hari ada 4.000 ternak yang disembelih untuk keperluan pangan penduduk di ibu kota kerajaan tersebut.
“Salah satu hewan yang banyak disembelih saat itu adalah kambing,” kata pendakwah sekaligus pemerhati budaya Jawa, Sallim A Fillah dalam YouTubenya.
Kawasan Jejeran sebagai pusat kuliner kambing di Jogja berada di kawasan Pleret yang dulunya pernah dua kali menjadi ibu kota Kesultanan Mataram yaitu di masa Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Susuhunan Amangkurat I.
Pasar Jejeran yang menjadi lokasi penting dalam sejarah sate klathak. | Foto: Hammam/Mojok
Ketika Mataram terbagi dua, maka filosofi kuliner yang berkembang di dua wilayah itu juga berbeda. Di Solo, dikenal dengan “Keplek Ilat” yang artinya memanjakan lidah. Sementara di Jogja menganut filosofi “Pawon Anget”. Ini juga terlihat dari varian makanan berbahan kambing di dua kota tersebut.
Di Jogja, saat ini beragam sajian olahan kambing tersedia. Bicara otentisitas, beberapa yang dikenal khas Jogja banget adalah klathak, kronyos, hingga baceman kepala kambing. Meski kebanyakan aktif di sore hingga malam, tetap banyak juga menu kambing untuk sarapan seperti halnya Tongseng Pak Tumijo yang biasa jualan di Pasar Lempuyangan.
Sekali pernah saya menjajal santap baceman kepala kambing H Sukirman di Pasar Colombo, Sleman. Awalnya saya tak terbayang menyantap kepala kambing yang hanya dibacem sebagai menu sarapan. Setelah menjajalnya, ternyata tak mengecewakan. Pantas saja semasa hidupnya, almarhum Bondan Winarno beberapa kali menyambangi tempat ini.
Sejarah kuliner kambing di Yogyakarta, Keplek Ilat vs Pawon Anget
Namun, jika bicara kultur santap kambing, Solo memang dikenal juaranya. Abi misalnya, kegemarannya terhadap olahan kambing juga turun dari ayahnya yang merupakan asli Solo. Saat kecil ia juga kerap mencicip beberapa menu khas solo seperti sate buntel. Daging kambing yang dicincang lalu dipadatkan melekat pada tusuk sate.
Keberadaan penggemar kambing di Solo sejalan dengan kekayaan varian olahan kambing dari daerah tersebut. Sejarawan Heri Priyatmoko memberi mencontohkan variasi olahan kambing di Solo seperti tengkleng, krengseng, tongseng, hingga sate buntel.
“Bahkan gulai kalau di Solo ada yang gulai goreng. Artinya Solo memang beragam sekali variasinya,” terang dosen Universitas Sanata Dharma yang mendalami sejarah kuliner Nusantara ini.
Sate buntel misalnya, hadir karena inovasi demi memudahkan para lansia untuk menikmati olahan kambing. Daging kambing pada sate buntel lebih empuk lantaran telah ditumbuk lalu dipadatkan pada tusukan sebelum proses pembakaran.
Heri menjelaskan salah satu perbedaan budaya makan yang kentara antara Jogja dengan Solo. Ada idiom yang identik dengan Jogja yakni “Pawon Anget”. Sebuah kultur untuk menghidupkan dapur rumah sendiri. Sehingga budaya makan di rumah terbentuk sejak dulu.
Lain hal dengan Solo yang punya idiom “Keplek Ilat” yang bermakna memanjakan lidah. Orang Solo terbiasa jajan di luar. Menikmati kuliner-kuliner lezat yang ada di sudut-sudut kota. Faktor internal inilah yang menurut Heri menjadi pembeda dua wilayah yang masih sama-sama pewaris Mataram ini.
Kebiasaan keplek ilat inilah yang kemudian mendorong inovasi-inovasi olahan kuliner banyak bermunculan. Termasuk olahan daging yang punya beragam varian dengan ciri khas bumbu rempah yang kuat.
Tanpa komunitas Arab, kuliner kambing di Jogja tetap melesat
Selain faktor internal, kuliner kambing di Solo juga mendapat dukungan faktor eksternal dari kehadiran komunitas Timur Tengah yang kuat. Sentra kuliner kambing di Pasar Kliwon Solo tak lepas dari peran para pendatang dari Hadramaut Yaman beberapa abad silam. Kini di sekitar sana, mulai dari perempatan Baturono, Sampangan, hingga Sangkrah mudah menjumpai para penjaja kuliner kambing.
“Ada permukiman Arab di Pasar Kliwon yang menghadirkan budaya Timur Tengah. Salah satunya ya kuliner kambing itu,” terangnya.
Hadirnya budaya Timur Tengah di Solo bersambut dengan antusiasme orang Solo terhadap kuliner kambing membuat daerah ini menjadi magnet bagi pendatang. Heri berpendapat, berdasarkan sejumlah literatur yang ia temui, banyak pendatang datang ke Pasar Kliwon untuk menimba ilmu kepada para juragan kuliner kambing.
Berawal dari membantu majikan, mereka lantas mendapat ilmu dan pengalaman yang cukup untuk membuka warung sendiri. Hingga akhirnya kuliner tersebut pun semakin berkembang. Heri menukil catatan Bromartani edisi 19 Desember 1891.
Pukul 10.00 ada seorang penjual gule kambing di perempatan Sraten dengan dua pembeli yang kenyang menyantap masakannya.
Catatan itu menunjukkan bahwa sudah banyak orang yang mengonsumsi kambing di Solo, meski pada awalnya cenderung untuk kalangan berada.
Jogja, menurut Heri, tidak memiliki kedua faktor tadi. Secara umum variasi kuliner kambing di Jogja memang tidak sekaya Solo. Namun, ia mengakui kalau daerah ini mengalami peningkatan pesat di sektor kuliner kambingnya. Salah satu penopangnya adalah wisatawan.
“Kalau bicara konteks sate klathak, kita melihat bahwa itu merupakan inovasi yang terbilang belum terlalu lama. Ini menarik lalu muncul banyak permintaan pasar. Masyarakat daerah setempat kemudian menjadikan itu sebagai lokalitas,” paparnya.
Menelusuri trah klathak di Bantul
Tak bisa dimungkiri bahwa sate klathak merupakan ikon kuliner kambing di Jogja. Sate kambing muda dengan tusuk dari jeruji besi ini punya ciri khas bumbu yang tak terlalu kompleks. Bumbunya tak lebih dari garam, bawang putih atau kemiri. Berbeda dengan beberapa jenis olahan kambing yang kaya bumbu, rasa daging di klathak begitu dominan dan kuat. Namun, tak berbau prengus.
Saya mencoba menelusuri sejarah klathak di tempat awal mula kuliner ini tumbuh. Tepatnya di Pasar Jejeran, Pleret, Bantul. Selasa (21/3) saya berkunjung ke Sate Klathak Pak Zabid, sebuah warung sederhana di pasar tersebut.
Warung tersebut tampak kecil dari depan, tapi pelanggan bisa menggelar tikar di area pasar yang telah lengang di belakang. Muhammad Hasimi (38) merupakan generasi kedua pengelola warung ini. Ayahnya, Zabid, merupakan anak dari Hamzah yang banyak disebut sebagai salah satu pionir sate klathak di Jejeran. Hamzah ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Mbah Ambyah.
Sambil menyiapkan sate klathak pesanan saya, Hasimi bercerita kalau sosok Mbah Hamzah atau Mbah Ambyah memiliki tujuh anak. Ayahnya merupakan anak keempat. Hampir semua anak Hamzah meneruskan warisan berjualan sate klathak.
Menurut cerita yang ia dengar, dahulu Mbah Hamzah merupakan penjual kambing. Daerah Pleret memang terkenal sebagai sentra peternak. Hingga saat ini, orang masih mengenal daerah Segarayasa di Pleret sebagai penghasil hewan ternak terbesar di Jogja.
Pada akhir 1930-an, Hamzah mulai terpikir untuk tak sekadar menjual kambing dan dagingnya. Ia ingin mencoba membuat olahan kuliner supaya kambing yang tak mudah terjual bisa lebih cepat menghasilkan pundi-pundi uang.
“Ketimbang nggak muter dan menghasilkan mending disembelih untuk buat gulai dan sate,” tutur Hasimi.
Lambat laun, Hamzah lebih menggeluti usaha kulinernya ketimbang berjualan kambing. Ia berjualan dengan memikul dagangan dari rumah ke Pasar Jejeran. Sesekali juga berkeliling di daerah sekitarnya.
“Saya pernah dapat cerita kalau dulu, di zaman penjajahan itu kalau ada ramai-ramai, Si Mbah langsung sembunyi. Lampu dimatikan saat ada Londo datang ke sekitar sini,” ujarnya.
Menelusuri trah klathak di Bantul
Sate Klathak menggunakan jeruji | Foto: Kuliner Jogja
Hasimi juga menyebut kalau Hamzah yang menginisiasi penggunaan jeruji besi alih-alih tusuk dari bambu. Pemilihan besi punya dua tujuan. Pertama agar matangnya merata dan kedua supaya tidak mudah putus saat terkena panas.
Bumbu klathak terbilang sederhana dengan hanya menggunakan bawang putih dan garam. Meski saat ini sudah muncul lebih banyak inovasi. Suara “klethak-klethak” dari garam yang terbakar konon yang menjadikan kuliner ini dinamai sate klathak.
Anak keturunan Hamzah mendapat julukan trah klathak. Menurut penuturan Hasimi, secara berurutan anak Hamzah yakni Murtijan, Wakidi, Jazim, Zabidi, Dalbi, dan Jaelani.
“Anak pertama dulu sempat membuat warung di Imogiri tapi sudah tutup dan tidak ada yang meneruskan,” kata Hasimi.
Selanjutnya, anak perempuan Hamzah yakni Jazim juga namanya masih terkenal di Jalan Imogiri Timur. Terdapat dua cabang Sate Klathak Bu Jazim yang kini dikelola oleh anaknya. Menurut Hasimi, Jazim telah meninggal pada 2016 silam.
“Selain itu ada lagi Pak Jam yang juga punya warung. Lalu Pak Darusalam yang juga masih cucu Mbah Hamzah,” paparnya.
“Sebenarnya banyak yang terhitung masih keturunan Mbah Hamzah. Tapi saya sendiri sampai agak-agak lupa,” sambung lelaki yang mulai aktif mengelola warung sepeninggal Zabidi pada 2017 silam.
Menukil tulisan yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY berjudul Sate Klatak, sosok Hamzah atau Mbah Ambyah memang jadi pionir keberadaan sate klathak di Jogja. Warung-warung sate di sekitaran Jejeran, Kalurahan Wonokromo, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul sebagian besar merupakan anak keturunan atau kerabat dari Mbah Ambyah. Sebut saja misal Pak Jupaeni itu adalah keponakan Mbah Ambyah. Dari Pak Jupaeni ini lahirlah beberapa warung sate yang terkenal hingga kini yaitu Sate Klathak Mak Adi yang terkenal karena kronyosnya dan Sate Pak Pong.
Kembali populernya kronyos, gara-gara karyawan yang butuh camilan
Selain sate klathak yang identik dengan Jogja, kuliner kambing yang identik dengan Jogja adalah kronyos atau krenyos. Awalnya menu ini justru terkenal karena ketidaksengajaan. Berawal dari karyawan Sate Klathak Mak Adi yang merasa mulutnya pahit karena nggak ada camilan di warung.
“Ada karyawan yang menggoreng sandung lamur, terus diletakan di meja, ada pelanggan lihat, terus penasaran dan nyicipi, ternyata enak,” kata Indah Susanti (45) pemilik Warung Mak Adi, kepada Mojok, dalam sebuah wawancara di akhir tahun lalu.
Seperti halnya penamaan sate klathak yang hanya berdasarkan bunyi daging yang dibakar, begitu juga dengan kronyos. “Pas digoreng kan ada bunyi ‘nyoss’, ada yang menyebutnya juga krenyos, ada juga krengseng,” kata Indah. Bumbunya sama dengan sate klathak yaitu hanya garam dan bawang putih.
Menuru Indah, kronyos sebenarnya sudah ada sejak dulu. Mertuanya, Jupaeni adalah salah satu keponakan dari Mbah Ambyah, pelopor sate klathak di Jejeran. Saat itu kronyos sebenarnya sudah jadi menu yang jual, tapi tidak populer.
Selepas pelanggan yang ketagihan setelah mencicipi kronyos, kemudian orang-orang berdatangan meminta menu kronyos ini setiap datang. Padahal, dari satu ekor kambing, hanya menghasilkan 10 porsi kronyos. Jadi jangan heran jika menu ini cepat habis.
Sate Pak Pong, habiskan 25-50 ekor kambing setiap hari
Hari semakin malam, tapi satu dua pelanggan tetap berdatangan ke Warung Pak Zabid. Beberapa di antaranya sekelompok bapak-bapak bersarung. Ada juga ibu-ibu yang membungkus untuk di rumah.
“Memang kebanyakan ya warga sekitar sini. Tapi ada juga pelanggan lama yang dari luar daerah. Satu yang saya hafal betul itu Pak Agus dari Malang. Setiap ke Jogja dia telfon tanya warung saya buka atau tidak,” tuturnya.
Warung ini memang tak seramai beberapa warung lain. Tempatnya pun relatif kecil. Namun, sehari rata-rata satu ekor kambing habis. Proses penyembelihan kambing dilakukan sore hari. Jika kurang, Hasimi akan menyembelih lagi di tempat jagal terdekat. Sate klathak rata-rata mengandalkan daging yang segar.
Warung yang lebih besar seperti Mak Adi menghabiskan rata-rata 10 ekor kambing. Belum lagi, salah satu jujugan sate klathak paling ramai yakni Pak Pong. Beberapa hari berselang, saya juga mengunjungi Pak Pong untuk mencicipi masakan sekaligus mewawancarai salah satu pengelolanya.
Seorang karyawan senior di sana, Abdun Nafik (32) menjelaskan kalau Warung Pak Pong rata-rata menghabiskan 25 ekor kambing dalam sehari. Jumlah itu mencakup tiga cabang yakni Pak Pong Pusat di Jalan Sultan Agung, Pak Pong 2 di Jalan Imogiri Timur, dan Pak Pong 3 di Jalan Imogiri Barat.
25 ekor itu merupakan rata-rata pemotongan kambing di hari biasa. Jika musim liburan, jumlahnya bisa dua kali lipat.
Nafik mengestimasi bahwa satu ekor kambing bisa menjadi 150 tusuk sate dengan potongan yang cukup besar. Seporsi sate klathak sendiri biasanya terdiri dari dua tusuk.
Sate Klathak Pak Pong memang menjadi warung paling ramai dan populer. Sang perintis, Dzakiron (48) mendirikan warung ini pada tahun 1997. Cikal bakal warung ini berasal dari kakek Dzakiron yakni Jupaeni yang terlebih dulu membuka warung sate klathak sejak tahun 1960-an. Sate Klathak Jupaeni sampai kini juga masih eksis di Jalan Imogiri Timur.
“Jadi Pak Dzakiron atau Pak Pong ini belajar banyak dari kakeknya. Kakeknya sendiri sudah terhitung generasi kedua penjual sate klathak di Jejeran. Kata banyak orang paling awal memang Mbah Hamzah,” kata Nafik.
Pak Pong melesat dan populer sejak 2010 saat banyak televisi nasional meliput warung ini. Hingga sekarang warung ini terus berkembang. Jumlah pegawainya di tiga cabang mencapai 120 orang.
Demi memenuhi kebutuhan daging kambing yang banyak setiap hari, mereka mendapatkan pasokan tetap dari peternak di Temanggung. Menurut Nafik, peternak di Jogja memang tak mampu untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Memang sejak dulu dari Temanggung. Untuk dari Jogja, belum ada yang sanggup menyuplai rutin harian,” jelasnya.
Konsumsi kambing di Jogja sekitar 2.000 per hari
Jogja memang masuk ke 10 besar provinsi penghasil kambing terbanyak di Indonesia. Menurut data BPS 2021, DIY berada di peringkat kedelapan dengan produksi 1,89 ribu ton daging kambing dalam setahun. Kendati begitu, jumlahnya belum mencukupi kebutuhan pasar wilayahnya.
Sementara itu, Dinas Pertanian DIY pernah menyebut bahwa konsumsi kambing di Jogja mencapai 1.700 ekor per hari, itu adalah data tahun 2018. Sebanyak 900 di antaranya terserap di Bantul yang merupakan sentra kuliner kambing.
Mojok belum berhasil mendapat data terbaru terkait konsumsi kambing harian di DIY, namun jumlahnya kemungkinan besar mengalami peningkatan hingga 2.000 ekor per hari atau bahkan lebih. Ini karena sektor wisata di Jogja selepas pandemi meningkat drastis. Jumlah wisatawan domestik di tahun 2022 mencapai 6 juta wisatawan yang sebagian besar ingin menikmati kuliner khas Jogja.
Muhammad Abduh Zulfikar dari Persyarikatan Peternak Kambing Domba Yogyakarta mengakui kalau para peternak tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar. Menurutnya, jika ada pasokan domba betina gemuk hampir pasti mudah terjual.
“Sekarang, kalau kita hitung saja, warung sate dan olahan kambing itu di Jogja lima ratus lebih. Coba anggap saja satu warung satu kambing sehari. Banyak banget. Belum lagi kebutuhan aqiqoh,” papar Zulfikar.
“Kalau domba betina ya itu larinya ke sate klathak. Kalau jantan kita ke aqiqoh,” sambungnya.
Ia melihat kebanyakan kuliner kambing di Jogja mengambil pasokan dari Wonosobo, Temanggung, dan Magelang. Daerah-daerah tersebut menurutnya punya stok penggemukan kambing dan domba yang cukup besar.
“Kalau bibitnya tetap kebanyakan dari luar Jawa,” ujarnya.
Zulfikar bercerita hanya dengan menyuplai ke tiga warung kuliner kambing, seorang rekannya bisa menghabiskan 20 ekor per hari. Sang rekan bukan merupakan peternak melainkan jagal.
“Dagingnya terjual. Kemudian kepala dan kaki dia jual terpisah. Semua bagian kambing laku keras. Di Jogja kebutuhannya luar biasa,” katanya.
Harga kuliner kambing di Jogja relatif miring
Menurutnya, salah satu yang membuat kuliner kambing di Jogja banyak peminat adalah harganya yang relatif miring. Orang masih bisa menyantap olahan kuliner kambing dengan harga di kisaran 20 ribuan rupiah saja.
“Kalau membandingkan dengan daerah lain sudah di atas 30 ribu. Bahkan sampai 50 ribu. Itu yang membuat kulinernya naik. Tapi di sisi lain tentu perlu diperhatikan sisi peternaknya agar dapat harga jual yang ideal juga,” ujar lulusan Fakultas Peternakan UGM ini.
Ia melihat bahwa potensi kuliner kambing di Jogja akan terus menanjak. Mengingat eksistensinya terdukung oleh sektor pariwisata dengan mendatangkan jutaan wisatawan setiap tahunnya.
Jogja Bawah Tanah Lainnya
edit post
Jogja Bawah Tanah
Cerita dari Wasit Sepak Bola: Tarkam, Suap, dan Lisensi
Tikno (32) tidak bisa melupakan peristiwa yang menimpa ayahnya sekitar 20 tahun silam. Ayahnya, sebut saja Cak Sabung, dikeroyok penonton…
edit post
Jogja Bawah Tanah
Mencari Sosok Rumiyati, Legenda PSK Pasar Kembang yang Berani
Rumiyati ~
edit post
Jogja Bawah Tanah
Sejarah Lapen yang Terlupakan, dari Jamu di Jalan Solo hingga Jadi Miras Oplosan
Lodse~~
Tim Jogja Bawah TanahPenulis
Editor
Ilustrator
UI/UX