Konon, pedagang kaki lima (PKL) Malioboro sebagian besar adalah perantau asal Minangkabau atau Minang, Sumatra Barat. Mereka disebut-sebut sebagai pionir pedagang di kawasan yang paling banyak dikunjungi wisatawan di Yogyakarta.
Mojok mencoba menelusuri informasi ini dengan melakukan wawancara pedagang asal Minang di Malioboro, termasuk ngobrol dengan pengurus Ikatan Keluarga Minangkabau di Yogyakarta (IKMBY).
***
Sejak awal 2022, PKL Malioboro yang mulanya berjualan di sepanjang trotoar depan pertokoan direlokasi terpusat di dua titik. Di Teras Malioboro 1 yang letaknya di selatan dan Teras Malioboro 2 di sisi utara.
Wajah Malioboro yang dikenal banyak orang karena kepadatan pedagang di sepanjang area pejalanan kaki sudah berubah. Ciri khas yang telanjur melekat ke landmark Kota Yogyakarta ini sebetulnya punya sejarah panjang. Salah satu bagian yang tak diketahui orang adalah kisah para pedagang dari Minang, Sumatra Barat yang menjadi generasi awal PKL di jalan sepanjang dua kilometer ini.
Awal Malioboro ramai oleh PKL
Hari sudah lewat pukul sepuluh malam, tapi Eka Louis (41) terlihat masih semangat. Langkah cepatnya memandu saya menyusuri padatnya lapak penjual di Teras Malioboro 2. Satu dari dua lokasi relokasi PKL Malioboro yang dahulu berjualan di trotoar.
Eka merupakan tokoh muda Minang di Jogja. Ia hijrah dari Pariaman ke sini pada 1998. Mengikuti jejak kakaknya yang sudah terlebih dahulu menjadi PKL di Malioboro. Malam itu ia mengajak saya untuk menulusuri kisah pedagang dari Minang yang menjadi perintis awal PKL di jalan legendaris ini.
“Kamu harus coba teh telur,” ujarnya meyakinkan saya sambil melangkah mendekati sebuah lapak di pojokan.
Kami sampai lapak yang dituju. Seorang lelaki pemilik lapak itu menyapa Eka dengan akrab. Berbincang sepatah dua patah kata dengan bahasa Minang yang tak saya pahami artinya. Selepasnya, pemilik lapak itu mengenalkan dirinya. Ia bernama Regi Hartono (48).
“Teh telur dua ya?” ujar Regi.
Tanpa aba-aba, Regi menjelaskan bahwa teh telur merupakan minuman khas orang Minang. Di perantauan, minuman ini jadi pemersatu dan pelepas kerinduan atas kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan.
“Ini jamu kami. Kalau jamu biasanya pahit, ini enak, tapi tetap sehat. Soalnya seko endog jowo,” jelasnya dengan riang. Regi lalu meracik minuman itu dengan cekatan. Kuning telur ia pisahkan dari putihnya lalu dioles dengan telaten di sisi gelas.
Regi dan Eka menjadi akrab bak saudara lantaran perantau dari daerah yang sama sekaligus sempat lama mencari nafkah di tempat yang sama pula. Bagi mereka, sesama Urang Awak di tanah rantau otomatis jadi saudara.
“Apalagi kami satu marga. Tanjung,” kata Eka.
Regi sejak 1992 sudah mengadu nasib di Jogja. Mengikuti jejak kakaknya yang terlebih dahulu kemari. Sudah tiga puluh tahun ia mencari rezeki di Malioboro. Berjualan berbagai macam hal sampai akhirnya memutuskan menjajakan minuman legendaris khas dari kampung halaman.
“Malioboro itu Bhinneka Tunggal Ika,” kata Regi.
Hal itu merujuk pada para pedagang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sejak beberapa dekade silam, Malioboro memang menjadi magnet buat banyak orang. Bukan hanya mereka yang ingin mencari hiburan dan membelanjakan pundi-pundi uang, tapi juga mereka yang ingin mencari penghidupan.
Di antara banyaknya kelompok pedagang dari berbagai daerah, pedagang Minang menjadi salah satu pelopor perkembangan PKL di Malioboro sejak era 1970-an. Masa itu oleh banyak orang disebut sebagai tonggak awal Malioboro ramai oleh PKL. Sebelum itu, Malioboro belum menjadi sentra bagi para PKL.
Saat ini, menurut Eka dan Regi, pedagang dari Minang yang menjadi pemilik lapak memang jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun dulu, mereka tergolong generasi awal yang melihat potensi di Malioboro.
“Untuk sekarang orang Minang yang punya lapak, dari sekitar seribu lebih lapak yang terdaftar, jumlahnya tergolong sedikit, tidak sampai seratus,” ujar Eka.
Namun, ada juga yang menyebut bahwa jumlah pemilik lapak milik orang Minang lebih dari itu. Dalam sebuah acara buka bersama Keluarga Agam Bukittinggi Yogyakarta (Kabeye) tahun 2019 di Aula Kedaulatan Rakyat, Ketua Panitia, Irsyadunnas seperti dikutip dari Krjogja.com, menyebut pedagang di Malioboro itu 50 persennya orang Minang.
Perayaan Sekaten, awal orang-orang Minang melirik Malioboro
Lewat cerita yang Eka dengarkan dari para seniornya, mulanya pedagang dari Sumatra Barat bersinggungan dengan Jogja karena berjualan di pasar malam perayaan
Sekaten. Setelah itu mereka melihat potensi yang ada di Malioboro.
“Jadi dahulu pedagang Minang memang sering keliling dari satu pasar malam ke pasar malam lain. Nah saat di Sekaten Jogja, mereka melihat jalanan Malioboro yang masih sepi dari pedagang,” paparnya.
Deretan pertokoan sudah ada sejak lama. Namun, di depannya ada banyak ruang kosong yang dirasa bisa dimanfaatkan. Saat itu sudah ada pedagang lokal yang mengemper, tapi jumlahnya belum banyak. Selain itu, kebanyakan di antara mereka hanya berjualan saat sore dan malam saja.
“Jadi kalau saya dengar dari cerita, dulu itu kebanyakan ibu-ibu jualan salak dan perkakas rumah tangga sederhana. Kalau malam mereka pakai penerangan senthir,” paparnya.
Terkait hal itu, budayawan Jogja, Charis Zubair pernah mengungkapkan kalau sejarah awal perkembangan PKL di Malioboro dimulai pasca-kemerdekaan. Tepatnya pada medio 1970-an. Orang-orang yang tidak memiliki lahan dan bangunan tapi sadar akan potensi jalan ini membuka lapak di emperan.
“Saya kira ini sudah ada sejak 1970-an, dari dulu bukan hanya penduduk Jogja yang jadi PKL,” ujar Charis Zubair dilansir dari Harian Jogja.
Kisah seorang pemuda Minang yang jualan sandal di Malioboro
Tahun 1970 seorang pemuda merantau dari Kabupaten Pesisir Selatan yang letaknya sekitar 40 kilometer dari Padang, ibu kota Provinsi Sumatra Barat ke Jogja. Tujuan utamanya untuk melanjutkan studi di IAIN Sunan Kalijaga. Namun, kehidupan justru membawanya ke Malioboro yang saat itu belum diramaikan lapak-lapak kaki lima.
“Bapak saya sudah meninggal saat itu. Hanya ada ibu. Saya anak pertama dari tujuh bersaudara,” ujar Bakrim Maasi (70).
Keterbatasan ekonomi membuatnya harus memutar otak di perantauan. Untuk ongkos perjalanan sampai ke Jogja, Bakrim mengaku harus menguras tabungan yang ia kumpulkan selama sekolah berkat mendapat beasiswa.
“Sejak awal ibu bilang kalau tidak bisa membiayai saat di Jogja. Untuk naik kapal saja tidak ada biaya,” kenangnya saat ditemui di kediamannya.
Sesampainya di Jogja Bakrim menemui kerabat untuk mencari tempat tinggal sementara. Setelah itu ia langsung mengurus segala keperluan untuk kuliah. Seingatnya, usai digunakan untuk transportasi dan membayar biawa awal kuliah, uang yang ia milik tersisa Rp11 ribu.
Ia segera mencari cara agar supaya bisa bertahan hidup. Rekannya punya pekerjaan sampingan sebagai penjahit dan menawarkan Bakrim untuk mengikuti jejaknya. Namun, ia lebih tertarik untuk mencari peluang lewat berjualan.
“Saya penasaran dengan Malioboro. Akhirnya kami bersepeda ke sana,” kenang Bakrim.
Saat sampai di salah satu area sumbu filosofi itu Bakrim melihat sebuah potensi. Banyak ruang di emperan yang belum termanfaatkan. Baru ada sedikit PKL yang berjualan saat itu. Para PKL itu berjualan di sekitar tonggak beton saja sehingga ruang antar-tonggak masih kosong.
Menurut Bakrim saat itu para pedagang kebanyakan menjual perkakas seperti sendok, garpu, dan alat masak. Selain itu juga ada beberapa hal sederhana lain seperti alat penggaruk punggung hingga kipas. Selain jumlahnya yang sedikit, para pedagang itu belum menjual sandang dan kerajinan.
Jika Bakrim melihat itu sebagai potensi untuk berjualan, saudaranya, Zudin melihat itu sebagai tanda bahwa Malioboro tidak punya potensi untuk dijadikan tempat berdagang. Terlebih lagi berjualan di emperan toko.
Penasaran, Bakrim mengaku memasuki toko-toko yang ada di sana dan melihat apa saja barang dagangan yang dijual. Saat masuk ke sebuah toko, ia tertarik dengan sandal yang dijual di sana seharga Rp350.
“Setelah melihat sandal itu saya coba iseng ke Pasar Beringharjo. Ternyata di sana ada juga yang jual sandal dengan harga Rp2.400 per lusin,” ujarnya. Artinya, harga satuannya Rp200.
Ia berpikir bisa menjual sandal jepit tersebut dengan harga lebih murah dari yang dijual di toko-toko di Malioboro. Sehingga saat itu juga, ia meyakinkan diri untuk mencoba berdagang.
Bakrim meminta saudaranya agar pulang terlebih dahulu. Sedangkan dirinya langsung memborong sandal di Pasar Beringharjo dengan sisa uang yang dimilikinya. Selain sandal, ia juga membeli plastik lembaran untuk menggelar lapak dagangannya di trotoar jalan Malioboro.
Saat hendak berjualan, ia mengaku meminta izin ke ibu-ibu PKL yang ada di sekitarnya. Dengan ramah mereka mempersilahkan. “Malah jadi ada teman jualan,” kata Bakrim mengenang sambutan yang ia terima dulu.
Hari itu juga ia mulai berjualan. Sandal itu ia jual seharga Rp250. Harganya yang selisih Rp50 dari toko jadi modal kepercayaan Bakrim bahwa dagangannya akan dibeli orang. Benar saja, ia ingat hari pertama berjualan sandalnya laku empat pasang. Keuntungan yang ia dapat sudah bisa untuk kebutuhan makan sehari.
Saat pulang ia mengaku kena marah dari sang saudara karena menghabiskan uang simpanan untuk belanja sandal. Namun, ia berdalih bahwa keuntungan jualan hari pertamanya saja sudah bisa untuk makan. Sehingga ia yakin esok akan lebih banyak lagi.
“Hari selanjutnya laku tujuh pasang. Setelah itu terus berkembang,” kenangnya.
Bulan pertama, setiap hendak berangkat ke Malioboro dari Samirono, Caturtunggal, Sleman tempatnya tinggal, Bakrim selalu meminjam sepeda milik kerabatnya. Namun, di bulan kedua ia sudah berhasil membeli sepeda ontel bekas berkat menabung keuntungan jualan sehari-hari.
Tak berselang lama, pedagang dari Minang pun turut berdatangan seiring melihat potensi yang dibuktikan oleh Bakrim. Mereka datang berjualan pakaian dan sejumlah hal lain yang sebelumnya tidak dijual oleh PKL di jalan ini.
Selain mengetahui potensi yang bisa dikembangkan, menurut Bakrim, pedagang mulai berdatangan lantaran baru mengetahui kalau di Jalan Malioboro diperbolehkan untuk jualan meski tidak resmi. Selain itu, areanya masih sangat lapang untuk ditempati.
“Saya ingat dulu ada namanya Masri, jualan sepatu. Selain itu ada Jaya, Soni, Azmi yang jualan baju. Mereka semua orang Minang,” tutur Bakrim.
Para pedagang Minang yang awal berjualan di Malioboro itu berasal dari berbagai daerah di Sumatra Barat. Mulai dari Batusangkar, Pesisir Selatan, Maninjau, dan Solok.
Setahun berjualan sandal, Bakrim juga mulai melirik barang dagangan lain. Ia beralih menjual celana pendek yang dirasa untungnya lebih besar. Setahun ia mulai bisa membeli sepeda motor Honda. Ia masih ingat betul plat nomornya motor pertamanya itu.
“B 6464 H,” ujarnya tertawa. Nomor itu membuatnya sering diejek kawan-kawan lantaran mirip singkatan pakaian dalam wanita.
Mendapatkan lapak dagang di Malioboro
Empat tahun sejak Bakrim hijrah ke Jogja, ibunya meninggal. Sehingga ia berinisiatif memboyong semua adiknya dari kampung halaman. Ia juga membuka lapak kaki lima baru di Malioboro sehingga adik-adiknya bisa turut berdagang.
Di era 1970 hingga 1980-an, masih banyak ruang yang bisa menampung para pedagang yang hendak berjualan di Malioboro. Semua bisa masuk dan tidak ada pembatasan. Seorang pedagang lapak dagangannya bisa menggunakan area yang cukup luas. Saat itu nilai petak-petak di Malioboro belum begitu diperhitungkan.
Selanjutnya, para pedagang dari Jogja dan berbagai daerah luar juga mulai meramaikan tempat ini setelah mengetahui potensi yang bisa dimanfaatkan. Menurut Bakrim, kendati kaki lima, Malioboro bisa menghasilkan pendapatan bintang lima. Satu orang bisa punya beberapa lapak saat itu.
“Malioboro itu walaupun tempatnya di kaki lima penghasilannya itu bintang lima. Jadi kalau kamu cek itu, umpamanya dagang di malioboro buka tiga lapak, dia sampai punya rumah dan mobil. Banyak cerita sukses dari Malioboro,” papar lelaki yang rambutnya sudah putih ini.
Seiring perkembangan PKL, pembagian lokasi mulai diatur oleh paguyuban-paguyuban pedagang. Setiap pedagang diberikan nomor agar bisa menempati area tertentu secara tertib dan tidak berebutan.
Hal itu terus berkembang hingga nyaris sudah tidak ada ruang yang tersisa di awal 2000-an. Sejak itu, lapak-lapak kaki lima di Malioboro mulai punya nilai tinggi. Para pedagang yang sudah mendapat jatah secara gratis, jika hendak cabut, biasanya menyewakan bahkan menjual hak lapaknya ke orang lain.
“Tempat itu bukan hak milik, hak sewa juga bukan, tapi karena sudah dijatah, jadi kadang disewakan atau diperjualbelikan. Walau pun di bawah tangan,” jelasnya.
Dalam lintasan sejarah PKL di Malioboro, pedagang Minang menjadi generasi awal berbarengan dengan sebagian pedagang lokal asal Jogja. Jumlah mereka yang terdaftar memiliki lapak saat ini bisa dibilang tidak terlalu dominan, tapi punya sejarah panjang.
Para pedagang dari Minang tersebut, ada yang datang memang untuk berniaga dan ada pula yang sebenarnya hendak menempuh studi seperti Bakrim. Lelaki itu juga membenarkan bahwa sebagian pedagang Minang yang awal berjualan dari Malioboro bermula dari berjualan di Sekaten.
“Tapi kebanyakan di zaman saya itu datang untuk kuliah tapi sambil cari makan,” tuturnya.
Banyak pula di antara pengusaha-pengusaha Minang yang sukses dengan berbagai usaha di Jogja namun mengawali perjalannya di Malioboro. Bakrim menuturkan bahwa bekal yang didapat dari Malioboro membuat mereka mampu mengembangkan bisnis lain.
Malioboro, kawah candradimuka pengusaha asal Minang di Jogja
Gusremon, Ketua Ikatan Keluarga Besar Minang Yogyakarta (IKBMY) mengakui bahwa banyak di antara para pengusaha dari Sumatra Barat di Jogja yang mengawali perjalanannya melalui Malioboro. Ibaratnya, kaki lima Malioboro jadi kawah candradimuka bagi pedagang asal Minang sebelum menjadi pengusaha atau membuka usaha yang lebih besar. Ia yang kini memiliki sejumlah usaha di Pasar Beringharjo dan XT Square juga mengawali bisnisnya di jalan itu pada 1992 silam.
Menurutnya, orang Minang selalu menerapkan prinsip “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Mereka selalu berusaha menyesuaikan diri dan menyatu dengan budaya setempat sehingga mudah diterima dan menjalankan usaha. Di perantauan, mereka tidak mengenal istilah Kampung Minang sebagaimana kelompok perantau lain yang biasanya berkumpul di satu kawasan tertentu.
“Jadi para pedagang Minang di Jogja ini ya masyarakat Jogja. Tapi berasal dari Minangkabau. KTP mereka sudah Jogja,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa ada dua tanda keberadaan orang Minang di perantauan. Pertama lewat masjid-masjid yang bagus dan kedua melalui rumah makan padang yang enak. Di Jogja sendiri perantau asal Minang dikenal banyak berada di ranah akademisi, bisnis, dan seni. Untuk aspek usaha, mereka dikenal identik dengan bisnis rumah makan padang hingga fotokopi.
Remon juga menekankan mental pedagang dari Minang yang sudah teruji lintas generasi. Merantau adalah budaya bagi para lelaki Minang. Hampir di setiap rumah, setidaknya ada seorang lelaki yang pergi ke luar daerah untuk mencari penghidupan.
Hal ini tak lepas dari budaya matrilineal dalam budaya Minang. Dalam sistem matrilineal, perempuan memiliki kedudukan yang istimewa dalam kaum, salah satunya berupa penguasaan harta pusaka. Hal itu mendorong para lelaki Minang untuk merantau mencari penghidupan.
Berkat rasa terima kasih warga Minang terhadap Jogja, Sri Sultan HB X pernah dianugerahi gelar Sasangko adat Kerajaan Pagaruyunung Minangkabau. Sri Sultan dianggap telah banyak membantu para perantau Minang di Jogja baik mereka yang menuntut ilmu maupun berniaga.
Pedagang Minang telah melalui jalan yang panjang di Jogja. Menjadi salah satu bagian penting dari perkembangan jalan sepanjang dua kilometer yang penuh cerita ini. Kendati belakangan, relokasi ke PKL Teras Malioboro menuai keluh kesah dari para pedagang lantaran menurunkan pendapatan mereka.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono