Reporter Mojok mencoba bermalam di “Kampung Mati” yang berlokasi di Dusun Watu Belah, Desa Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulon Progo. Hanya tersisa satu keluarga yang menempati rumah sederhana di kawasan yang dinaungi banyak kisah mistis tersebut. Jarak dengan permukiman terdekat pun sekitar 1,5 kilometer.
***
Saya tiba di Desa Sidomulyo pada 27 Juni 2023 sekitar pukul 2 siang setelah menempuh perjalanan satu jam dari Kota Yogyakarta. Melewati rute berkelok panjang mengitari bawah perbukitan Menoreh di Kulon Progo yang memanjakan mata.
Di sana saya mencoba bertanya ke beberapa warga, di mana letak Kampung Mati yang belakangan viral. Sebab lokasi tepatnya belum ada di Google Maps. Saya bertemu seorang ibu-ibu yang sedang duduk di teras rumahnya. Perempuan itu bernama Suyati (43).
Desa Suci yang dulu ramai ditinggali
Begitu melontarkan pertanyaan, ia langsung mafhum. Viralnya rumah milik keluarga pasangan Sumiran (49) dan Sugiati (50) itu memang sudah jadi buah bibir di kalangan warga desa. Selain itu, ternyata Suyati juga keturunan para penghuni kampung di atas bukit tersebut.
“Dulu orang menyebut daerah itu Desa Suci,” katanya.
Kakek dan neneknya dulu tinggal di sana. Bahkan ibu dari Suyati pun tumbuh besar di permukiman terpencil itu. Namun, ketika mulai remaja, sang ibu pindah ke lokasi yang lebih mudah aksesnya. Suyati lahir saat keluarganya telah meninggalkan kawasan tersebut.
Melalui cerita yang ia dapat, dulu kawasan itu memang ramai ditinggali. Lokasi rumah sang kakek, persis di sebelah rumah yang kini menjadi tempat tinggal Sumiran. Kakeknya, Kartoikromo, ketika meninggal jenazahnya juga dikubur di sebuah pemakaman yang terletak di atas bukit sana.
Desa itu dulunya ramai. Bahkan sering menggelar hajatan besar seperti jathilan dan wayang. Warga dari bawah bukit sering ke atas untuk menikmati hiburan-hiburan tersebut. Sampai perlahan, para penghuninya satu per satu pergi.
Empat tahun terakhir, bebeberapa penghuni terakhir pindah berkat program bedah rumah. Menyisakan Sumiran, Sugiyati, beserta dua anak mereka yakni Dewi Septiani (10) dan Agus Sarwanto (23).
Suyati menerangkan rute terdekat sekaligus termudah yang harus saya tempuh agar bisa sampai di kediaman Sumiran. Ia mengingatkan saya supaya bersiap karena jalannya cukup menantang.
Jalan menuju Kampung Mati
Motor matic 125cc kembali saya pacu menaiki jalan kecil menuju puncak bukit dengan trek tanjakan dan kelokan-kelokan yang cukup tajam. Meski jalan sudah beraspal, tapi tidak rata dan penuh lubang.
Sepanjang perjalanan tampak rumah penduduk yang berjauhan satu sama lain. Sepanjang jalan, saya masih harus bertanya ke beberapa warga sampai akhirnya tiba di Kampung Laban Gede, Watu Belah, permukiman terdekat dari rumah Sumiran. Saya bertanya kepada beberapa lansia yang sedang bercengkerama di depan rumah mengenai rute menuju Kampung Mati.
Mereka menyarankan saya untuk menitipkan kendaraan di tempat mereka. Rumah Sumiran terletak di bukit seberang yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer.
Sebelum hari semakin sore, saya pun bergegas masuk ke kawasan kebun. Memikul tas dan menyangking lebih dari lima kilogram sembako yang cukup membebani langkah.
Perjalanan dimulai dengan melintasi rute menurun dari permukiman yang berada di atas bukit. Jalanan merupakan bebatuan yang licin. Tidak ada instalasi lampu sama sekali sehingga saat malam gelap gulita pasti membuat seram.
Napas masih aman dan langkah masih terjaga. Jalanan terus menurun sampai tiba di sebuah sungai yang membelah kedua bukit ini. Jembatan dari bambu yang tampak masih baru menjadi penghubung kediaman Sumiran dan dunia luar.
Setelah melintasi jembatan, jalan mulai menanjak. Auranya juga mulai berbeda sebab di depan saya terhampar hutan bambu yang rapat dan gelap. Terasa sepintas keraguan tentang bagaimana kalau saya ditolak menginap di sana. Pulang melewati hutan bambu saat hari mulai gelap tampak bukan pilihan yang tepat.
Rumah di tengah rimbunnya pepohonan
Sambil berulang kali menghela napas, saya menepaki satu per satu tangga tanjakan. Memasuki kegelapan yang membuat saya melangkah lebih cepat. Jujur saya bukan orang yang berani, tapi urusan tugas liputan begini ya bagaimana lagi.
Setelah berjalan sekiranya 20 menit sejak titik awal, sebuah genting tampak samar di antara rimbun pepohonan. Batin saya lega, akhirnya sampai di rumah yang saya tuju. Sebuah bangunan sederhana dari kayu yang berada persis di bawah tebing bukit.
Saya mendekat ke pintu yang terbuka, hanya dihalangi pagar bambu rendah untuk menghalau hewan-hewan masuk ke dalam. Di halaman memang tampak beberapa ekor ayam dan tiga ekor anjing kecil lucu yang diumbar.
Saya mengucap salam dan sejenak kemudian, suara anak kecil menyahut. Ia berlari kecil menghampiri pintu. Bocah itu adalah Dewi Septiani, anak bungsu Sumiran dan Sugiati.
“Mau ketemu bapak sama mamak?” sapanya riang.
Alasan mereka enggan pindah dari Kampung Mati
Ia bercerita kalau bapak sedang ke ladang mencari rumput untuk dua ekor kambing peliharaannya. Sementara sang ibu sedang mencuci di sungai. “Sebentar lagi pulang, kok,” celetuknya.
Ia lantas bermain bersama anjing-anjing kecil tanpa rasa sungkan dengan orang baru. Beberapa waktu lalu, YouTuber hingga wartawan memang hilir mudik datang kemari untuk meliput rumah ini. Dewi barangkali sudah terbiasa dengan kehadiran orang semacam saya.
Saat saya sedang duduk menunggu sambil merokok di tumpukan kayu, ibunya pun pulang membawa ember berisi cucian. Kami bersalaman dan berbincang singkat. Sugiati memang seramah seperti yang saya saksikan di beberapa video YouTube.
Suaminya tak lama menyusul datang. Keluarga ini hampir lengkap, tinggal menyisakan Agus, anak pertama mereka yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik sosis di perbatasan Kulon Progo dengan Bantul.
“Dia biasanya jam lima baru pulang,” kata Sugiati berbahasa Jawa.
Di ruang tamu, mereka menceritakan kisah-kisah selama menghuni rumah ini. Sumiran sudah sejak kecil tinggal di kampung ini. Sementara Sugiati baru sejak 1998, setelah menikah dengan Sumiran. Saat itu, mereka masih punya tetangga layaknya hidup di perkampungan pada umumnya.
Salah satu alasan mereka bermukim di tengah hutan dan perbukitan adalah jarak dengan ladang yang dekat. Sumiran yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu, membuat beragam benda seperti kusen pintu hingga meja dan kursi pesanan, lebih mudah untuk mencari kayu.
Selain itu, mencari rumput untuk pakan ternak pun terasa lebih dekat. “Nggih pokok e caket kalih kebon. Kepenak,” kata Sugiati. Suaminya mengamini, ia sedikit punya keterbatasan sehingga intonasi bicaranya kurang jelas terdengar.
Rumah baru yang belum bisa dipakai
Akses menuju berbagai tempat penunjang kebutuhan memang cukup sulit. Hal itu juga yang membuat banyak penduduk yang akhirnya melakukan eksodus ke tempat yang lebih ideal. Terlebih, sempat ada bantuan bedah rumah.
Sebagian warga lain, sekitar empat kepala keluarga yang baru pindah pada 2019 silam, mendapat bantuan pembangunan rumah baru. Sebelum sampai ke rumah ini, saya menitipkan motor di kediaman Wagi (50) yang dulunya juga tinggal di Desa Suci.
Empat tahun silam ia mendapatkan bantuan bedah rumah sehingga mantap pindah. Alasan utamanya karena akses jalan lebih mudah. Meski saat meladang pun ia akan kembali ke bukit sekitar rumahnya terdahulu.
Keluarga Sumiran pun sebenarnya mendapatkan bantuan serupa. Sayang, mereka belum punya tanah untuk membangun. Sehingga, bantuan itu dibangun di tanah milik saudara, yang hingga kini, belum bisa mereka tebus. Bangunan milik mereka tapi, tanahnya belum sah menjadi kepemilikan.
“Waktune pas kui kesusu. Dadine dideleh ting mriku bangunane (waktunya saat itu terburu, jadi bangunan dibangun di tanah itu),” kata sang suami.
“Daripada aku nganggoni lemah sing hurung dibayar, mending ning kene,” imbuhnya. Ia mengaku tidak tenang kalau menempati bangunan yang belum sah menjadi miliknya.
Hal itu jadi salah satu alasan penguat mengapa mereka tetap bertahan di Kampung Mati. Meski di sisi lain, mereka menemukan banyak kenyamanan di tempat sepi yang berdampingan dengan hutan bambu nan gelap ini.
Babi hutan, biawak, dan yang tak kasat mata
Waktu menjelang petang. Sugiati hendak pergi ke desa untuk berbelanja sejenak. Dewi ikut bersamanya. Sementara di rumah hanya ada saya dan Sumiran.
Saya mencoba mengitari area sekitar. Berjalan ke atas bukit di atas rumah mereka dan menemukan satu rumah kayu yang masih utuh berdiri. Rumah itu milik Maryanto yang menjadi salah satu penduduk yang pindah 2019 silam dari Kampung Mati. Di sekitar rumah itu ada beberapa pondasi bangunan yang dulu berdiri.
“Kayu dan saka bangunannya memang dibongkar lalu dijual. Jadi hanya sisa pondasi saja,” kata Sumiran.
Di halaman rumah Sumiran anjing-anjing kecil berlarian, kejar-kejaran dengan ayam. Anjing ini ternyata punya peran penting di rumah. Mereka menjadi alarm sekaligus penjaga dari berbagai makhluk yang tampak dan tak kasat mata.
Salah satu momok di sini adalah babi hutan dan biawak. Keduanya kerap mengganggu. Bahkan, biawak sering memakan ayam dan telur-telur di kandang samping rumah mereka.
“Dewi sering nangis kalau ayamnya hilang. Biawak itu beberapa kali makan ayam kami,” kata Sumiran.
Tatkala malam, anjing-anjing ini kerap menggonggong dan berlarian. Terkadang mengejar babi yang berkeliaran di belakang rumah. Namun kadang pula, mengejar sesuatu yang Sumiran tak ketahui wujudnya.
Jauh dari tetangga juga jadi tantangan, saat ada salah satu anggota keluarga ini yang sakit. Hal itu beberapa kali terjadi, salah satunya saat Sugiati hendak melahirkan Dewi pada 2013.
Sumiran mengenang, istrinya tiba-tiba merasa ingin lahir pada tengah malam. Tak berselang lama air ketuban pecah membuat Sumiran panik tak karuan.
Akhirnya di tengah gelap, ia mengikat bawah perut Sugiati dengan jarit. Lalu menuntunnya berjalan menapaki bebatuan terjal di tengah gelap bermodalkan senter. Demi segera mendapatkan bantuan di bidan terdekat.
Mengandalkan sungai
Tiba-tiba perut saya mulas dan ingin buang air besar. Setelah berkeliling rumah tampak tidak ada toilet di sini.
“Nek arep buang air ning kali,” kata sang bapak. Ia tertawa mengingat ada beberapa tamu yang harus ia temani untuk ke buang air di malam hari. Buang air kecil biasa dilakukan sembarang tempat di sekitar rumah. Namun, untuk buang air besar harus ke sungai.
Hati saya benar-benar lega. Hari masih cerah sehingga bisa berjalan ke sungai tanpa khawatir. Bayangkan jika harus berjalan ratusan meter ke sungai di tengah malam sendirian. Bisa-bisa kencing di jalan karena ketakutan.
Kebetulan Sumiran juga hendak mandi di sungai. Kami pun berangkat bersama dan tak lupa membawa satu jerigen dan galon untuk mengisi air di tuk yang terletak di selatan sungai. Hal ini harus mereka lakukan setiap hari dan jadi tantangan tersendiri.
Biasanya, mereka bisa mengambil air dari Sendang Pule yang terletak di atas bukit utara rumah mereka. Jaraknya relatif lebih dekat. Namun, saat ini airnya sedang surut dan sedikit keruh.
Usai mengisi air, saya mencoba membawa satu galon berisi 15 liter air. Sementara Sumiran mengangkat jerigen yang berisi sekitar 25 liter. Biasanya, kedua wadah ini ia cangking sendirian.
Awalnya masih terasa mampu. Namun, saat jalan mulai menanjak di hutan bambu, napas saya mulai ngos-ngosan. Tidak mau terlihat lemah, saya paksakan untuk terus berjalan. Sampai akhirnya kami tiba kembali di rumah.
“Kesel, Mas?” ujar Sumiran tertawa.
Hal-hal mistis di rumah Sumiran
Tak lama berselang hari mulai petang, sunyi mulai menyelimuti rumah dan Kampung Mati ini. Terdengar suara jangkrik di sekitar. Hanya ada saya dan Sumiran di rumah.
Sumiran tiba-tiba membicarakan hal yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Ia berkisah tentang hal-hal mistis yang menaungi sekeliling rumahnya. Salah satunya hutan bambu yang menurutnya berpenghuni itu.
“Hutan bambu itu yang jaga sosok perempuan. Semacam peri,” celetuknya.
Saya berusaha menyimak dengan rasa penasaran walaupun rasa takut menyelimuti. Di sisi utara rumah ini juga ada pemakaman yang letaknya berdekatan dengan Sendang Pule. Tempat yang juga penuh kisah perdemitan.
“Mase mau ke sana nanti malam? Kemarin YouTuber juga minta ditemani ambil video di beberapa titik seperti kuburan,” katanya.
Saya hanya tersenyum getir. Saya bilang kalau cukup di rumah saja tanpa perlu kemana-mana malam ini.
Rumah ini tidak punya kamar khusus. Ada dua dipan untuk tidur empat orang anggota keluarga. Saya, tidur di kursi ruang tamu. Ruangan yang dikelilingi kaca dari segala penjuru. Sayangnya kaca ini tak dilengkapi gordin sehingga pemandangannya langsung ke rimbun pepohonan di sekitar rumah. Sedangkan di belakang kursi tempat saya duduk dan tidur malam nanti langsung terhampar hutan bambu.
Sunyi sedikit terpecahkan tatkala Sugiati, Dewi, dan Agus tiba di rumah sekitar pukul setengah tujuh malam. Keluarga ini sudah lengkap dan terasa hangat. Saya pun ketambahan teman berbincang.
Agus, anak pertama Sumiran dan Sugiati, sejak lulus SMA bekerja di buruh pabrik. Sambit tertawa ia berujar bahwa harus bekerja untuk melunasi kredit motornya.
Masa kecilnya ia habiskan di tempat ini. SD dan SMP ia harus menempuh jarak yang jauh berjalan kaki untuk bersekolah. Dulu, ada beberapa teman sebaya di sekitar rumahnya. Namun, semenjak tinggal keluarganya yang menempat kampung ini, praktis hanya ia seorang diri.
Namun, saat SMA orang tuanya menitipkannya ke sebuah panti asuhan di Moyudan. Sebuah tempat bagi anak dengan orang tua yang kurang mampu.
Ia masih sempat tinggal di sana setelah lulus. Ketika mengetahui ibunya mulai sering sakit-sakitan, Agus akhirnya memutuskan untuk kembali menetap di rumah.
Sudah biasa mengalami hal mistis
Agus mengaku menikmati pengalaman tinggal di sini. Meski, harus sedikit melawan rasa takutnya. Sampai saat ini, ia mengaku masih merasakan kekhawatiran kalau harus pulang sendirian di malam hari. Terutama saat melintasi hutan bambu.
“Sebenarnya mamak yang paling sering mengalami hal-hal mistis. Tapi saya juga pernah beberapa kali,” ujarnya.
Sugiati tadi memang sempat menceritakan beberapa pengalamannya. Mulai dari melihat sosok ular dengan kepala seukuran manusia hingga penampakan sosok tak kasat mata lainnya.
Meski tidak sebanyak ibunya, Agus mengaku pernah punya pengalaman seram saat melintasi hutan bambu. Suatu malam, sekitar jam delapan, ia hendak berangkat ke kampung sebelah untuk ikut acara jimpitan.
Ia berjalan tenang, sampai di tengah hutan, tiba-tiba ia melihat ada gerakan di pohon bambu. Ia menyaksikannya lamat-lamat, anehnya, hanya satu batang yang bergerak. Sisanya diam tanpa angin dan dorongan. Panik, ia pun memilih pulang.
Hal-hal serupa di hutan bambu sudah jamak Agus alami. Namun ada satu yang ia ingat, bahkan sampai menangis tatkala menyaksikannya. Saat itu, di rumah, tiba-tiba ia dikagetkan dengan sorot cahaya yang keluar dari tanah.
“Jadi kaya senter dari bawah nyorot ke genteng. Tapi di tanah itu nggak ada apa-apa,” ujarnya.
Cahaya itu bergerak mengelilingi rumah. Ia panik menangis. Bapaknya, lantas menggebuk cahaya itu dengan sapu lidi. Hingga perlahan cahaya itu hilang. Kenangan itu terus membekas sampai sekarang.
Kisah-kisah itu membuat bulu kuduk saya merinding. Hari pun semakin malam. Dari bawah bukit, lamat-lamat saya mendengar suara takbiran. Saya datang ke kediaman Sumiran memang pada Selasa 27 Juni 2023, keesokan harinya Muhammadiyah merayakan Idul Adha.
Kami pilih untuk membicarakan hal lain yang mengurai rasa takut di kepala. Obrolan panjang membuat kami mulai mengantuk. Syukur, ternyata Agus ikut tidur di kursi sebelah saya. Sehingga di ruangan ini tidak sendiri.
Di belakang, Dewi yang sedari tadi ramai menonton video di hapenya mulai terdiam. Tampaknya ia sudah terlelap. Akhirnya saya coba memejamkan mata.
Tak ingin menjual rumah meski nantinya pindah dari Kampung Mati
Namun, tak lama berselang, terdengar suara gesekan kayu dari samping rumah. Anjing-anjing lalu melolong pelan. Saya terhenyak dan bangun dari rebah.
Agus yang belum pulas ikut terbangun. Lantas berujar, “Oh, itu bapak. Lagi mulai nggarap kayu lagi. Biasanya sampai jam 1 atau 2 malam,” katanya ringan.
Kebiasaan bapak bekerja sampai malam begini, menurutnya jadi salah satu alasan tetap bertahan di rumah ini. Sebab jika berdekatan dengan tetangga tentu membuat brisik. Suara kayu yang sedang dihaluskan sedikit meramaikan malam yang sunyi ini. Menyamarkan suara burung hantu yang cukup membuat ngeri.
Saya mencoba terlelap kembali. Sampai tiba-tiba mata ini terbangun dan menyadari hari mulai cerah. Ternyata sudah pukul setengah enam pagi. Agus pun sudah tidak ada di kursi.
“Agus ke mana njih Bu?” tanya saya.
Ternyata, sepagi ini ia sudah pergi memancing. Memanfaatkan hari libur kerja untuk mengerjakan sesuatu yang belakangan kerap ia lakoni bersama teman-temannya itu.
Sejak subuh rumah ini sudah hidup. Dapur juga sudah mengepul. Tidak ada lagi nuansa seram seperti malam hari.
Sekitar pukul tujuh, masakan Sugiati telah siap. Ia mempersilakan saya untuk menyantap sarapan dengan lauk telur dadar dengan oseng tempe yang nikmat. Rumah terasa hangat dengan adanya tawa ceria Dewi yang hari ini sedang libur sekolah.
Meski tinggal jauh dari tetangga, menghuni Kampung Mati tak jadi soal bagi keluarga ini. Sumiran berujar, andai nanti ia pindah ke rumah barunya pun, bangunan ini tak akan ia jual. Ia ingin rumah ini tetap menjadi tempatnya beristirahat setelah meladang.
Saat hendak berpamitan, Sugiati menyuruh Dewi berfoto bersama saya. “Untuk kenang-kenangan,” katanya. Ia juga berpesan agar suatu saat saya mampir kembali. Semoga keluarga kecil ini senantiasa bahagia dalam kesunyian hutan ini.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Bebas dan Nyaman, Kos Eksklusif Menjamur di Jogja, Kaum Mendang-mending Minggir Dulu dan tulisan Jogja Bawah Tanah lainnya di sini.