Armando Pribadi, Ingin Tampil di Siaran Langsung Televisi Kemudian Berhenti Jadi Wasit 

Wasit

Armando Pribadi (50), wasit asal Yogyakarta memutuskan untuk meninggalkan ketenaran sebagai wasit sepak bola nasional. Berbagai persoalan yang kompleks di dunia sepak bola, khususnya perwasitan membuatnya memilih menepi dan menekuni wasit futsal. Namun, ia tetap memiliki angan untuk menciptakan pengadil lapangan sepak bola kelas internasional asal Yogyakarta. 

***

Kesibukannya yang padat membuat saya baru bisa bertemu dengan Armando Pribadi hari ini, Kamis (7/10/2021). Harusnya wawancara dilakukan malam hari sebelumnya, di Warung Bakmi Pak Bola, usaha bakmi Jawa miliknya di kawasan Jalan Pramuka. Namun, malam itu ada rapat Asosiasi Sepakbola Provinsi PSSI DIY, di mana ia menjadi sekretaris umumnya.

“Harusnya saya pulang dari Papua Selasa, tapi karena persoalan pesawat jadi baru sampai Jogja, kemarin siang,” katanya. Selama PON di Papua, ia mendapat tugas dari PSSI  untuk menjadi pengawas wasit futsal. 

Bagi Armando, berkarir sebagai wasit sepak bola nasional bukan perkara mudah. Semunya berawal di tahun 1997. Lima tahun kebersamaannya dengan PSIM Yogyakarta sebagai pemain harus berakhir karena cedera lutut. Atas dorongan senior-seniornya ia akhirnya menekuni profesi wasit. “Saat itu masih jarang, wasit yang punya latar belakang pemain sepak bola,” kata Armando. 

Tradisi malam Jumat Kliwon Askot PSSI Kota Yogya

Armando menceritakan, salah satu yang membuatnya tumbuh menjadi wasit yang dinilai orang memiliki karakter adalah tradisi setiap malam Jumat Kliwon yang diadakan komisi wasit di Asosiasi PSSI Kota Yogyakarta. “Setiap malam Jumat Kliwon kami berdiskusi, melakukan evaluasi kalau ada aktivitas pertandingan, kalau nggak ya kita evaluasi bersama-sama pertandingan sepak bola yang ada,” kat Armando. 

Aktivitas setiap malam Jumat Kliwon di Askot PSSI Kota Yogya sudah berlangsung sejak tahun 80-an. Itu adalah forum dimana wasit bisa berkomentar tentang kinerja wasit yang lain. Kegiatan tersebut juga dilakukan Asosiasi PSSI Kabupaten di Wilayah DIY di waktu yang berbeda.

“Sebagai wasit kami tidak boleh mengomentari kinerja rekan lain, di luar forum wasit. Misalnya ‘Wah kalau saya kemarin keputusannya begini’, kalau itu sesama wasit, it’s oke. Tapi kalau di luar itu nggak boleh,” katanya.  

Forum itu juga jadi ajang untuk belajar dari wasit senior. “Biasanya kalau ada keputusan yang tidak tepat, akan kita tunjukan ‘law the game’-nya, ini loh keputusanmu, mengapa mengambil keputusan itu. ‘Lho kata bapak ini harusnya begitu’. Bukan kata bapak ini, tapi kata law the game,” kata Armando tegas.

Melalui malam Jumat Kliwon itu, Armando belajar dari senior-senior wasit DIY yang sudah punya pengalaman jadi pemimpin pertandingan tingkat nasional seperti Pak Said, Pak Siswanto, Pak Kabul. 

Apapun keputusan yang diambil itu adalah hak dia sebagai wasit, yant lain tidak boleh mengoreksi di forum umum. “Kita kan korps, keluarga, kalau kita melakukan itu, nanti muncul tendensi tidak baik, wah itu wasit kena mafia…,” kata Armando. 

Soal mafia, sebenarnya Satgas Anti Mafia Sepak Bola kalau mau dengan mudah orang-orang yang terlibat mafia bola di Indonesia. Menurut Armando, lucu kalau sampai satgas tidak bisa menangkap mafia, karena semua cara bisa dilakukan. Tinggal dilihat alat komunikasi orang-orang yang dicurigai, di sana akan kelihatan. “Yang sulit di Indonesia itu judi bola, banyak banget, apalagi online. Meski itu juga bisa dilacak karena kan nggak mungkin nggak daftar tanpa nomer rekening,” katanya. 

Armando Pribadi

Armando mengatakan saat awal-awal menjadi wasit ia sempat frustasi bahkan berniat berhenti. Ia mengambil kursus lisensi wasit C3 pada tahun 1999, kemudian C2 pada 2002 dan C1 Nasional pada 2004. Saat ia menjadi wasit C3 itu banyak memimpin pertandingan tarkam. Saat C2 ia memimpin divisi bawah. 

“Mimpin di situ nggak nyaman, karena karakter saya bukan di situ. Saya tidak bisa mengubah kebiasaan saya, kalau offside ya diangkat, kalau tidak ya tidak, penalti ya penalti. Nggak bisa saya merekayasa pertandingan dalam otak dan pikiran saya,” katanya.

Saat menjadi wasit lisensi nasional, awalnya Armando juga lebih banyak jadi cadangan, atau asisten wasit. Namun, ia punya prinsip tidak mau mengorbankan integritasnya. Ia sempat mutung karena ditekan oleh pihak-pihak tertentu. “Ada teman yang bilang, kalau saya seperti itu terus, saya nggak akan pernah ditugaskan,” kata Armando. 

Namun, di sisi lain ada juga senior-senior yang menyemangatinya untuk tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan seperti itu. Kebanyakan tekanan-tekanan itu dilakukan dengan membawa nama orang yang menjadi pengurus di tingkat pusat.  

Ingin tampil di pertandingan yang disiarkan langsung televisi

Armando sejak awal memang mengincar pertandingan level paling atas saat itu yaitu Liga Super Indonesia. Tahun 2007/2008, kesempatan itu tiba saat ada penyegaran wasit liga. Ia mengikuti seleksi. Saat dites, dari sisi fisik, psikologi, dan lain-lain ia masuk dalam 4 wasit terbaik.

“Sejak itu, baru saya bisa menunjukan saya punya karakter. Senior-senior bilang kalau saya punya karakter, nggak ikut arus, punya style sendiri,” katanya. 

Alasan Armando mengincar memimpin pertandingan di level tertinggi sederhana saja.  “Saya ingin memimpin pertandingan yang disiarkan langsung televisi. Kalau siaran langsung,  saya malah tenang, karena pertandingan itu disaksikan banyak orang. Nggak mungkin mikir yang lain selain memimpin pertandingan dengan baik,” kata Armando.  

Sejak tahun itulah, wajah Armando wira-siri di layar kaca. “Tahun 2010 itu seperti Bang Toyib, nggak pernah di rumah. Jimmy (Napitapulu) sampai telepon saya, ‘Do, emang ANTV kamu beli’,” kata Armando tertawa. Wajahnya memang kerap muncul di ANTV, kadang di siaran langsung, kadang di siaran tunda. Ia juga satu-satunya wasit asal Yogyakarta yang memimpin pertandingan dalam level liga kasta tertinggi di Indonesia. 

Sebelum memimpin pertandingan di Liga Super Indonesia, Armando lebih banyak jadi cadangan. Baginya itu tidak masalah. Ia lebih baik jadi cadangan dari pada menyogok agar bisa memimpin pertandingan seperti yang dilakukan oleh beberapa rekannya.

“Kalau saya menyogok, saya akan ‘kekunci’ di situ, saya punya tanggung jawab yang menyandera saya. Bisa saja sewaktu-waktu saya dapat jatah mimpin pertandingan tapi dengan syarat, nah saya tidak mau ditekan-tekan seperti itu,” katanya. 

Pernah saat memimpin pertandingan, dua asisten wasit dihajar oleh bodyguard pemilik klub. Usut punya usut, mereka bermain dua kaki. Menerima suap dari dua klub yang bertanding. “Saya tidak disentuh sedikit pun,” kata Armando. Ia aman karena tidak mau bersinggungan dengan hal seperti itu.

Karakternya yang tidak bisa disentuh juga dirasakan saat ia mulai memimpin pertandingan Liga Super Indonesia. “Tuan rumah, kalau saya yang mimpin itu sudah berpikir bahwa saya tidak akan memihak tuan rumah, sudah jadi track record kalau saya pasti tidak akan membela tuan rumah,” katanya. 

Ada beberapa yang mencoba mendekatinya untuk menyuap, namun tidak digubrisnya. “Saya gantian ‘injak’, saya tidak mau diatur. Saya bukan orang suci yang tidak pernah berbuat khilaf, tapi saya tidak mau membuka peluang yang justru menghancurkan integritas saya, sebagai wasit,” katanya. Ia percaya, sebuah klub kalau memang takdirnya kalah ya kalah, menang ya menang. 

Tahun 2011, bersamaan kisruh organisasi federasi sepak bola di Indonesia, jadi tahun terakhirnya berkiprah sebagai wasit nasional sepak bola. Ia menepi dan memilih futsal, yang saat itu belum banyak dilirik. “Alasannya karena perwasitan sepak bola nasional saya lihat banyak sekali persoalannya. Saya katakan 60 persen wasit di Indonesia saat itu tidak baik,” kata Armando. 

Salah satunya banyak rekan-rekannya yang hanya berpikir soal uang dan uang. Ia memilih membangun wasit futsal yang jauh dari persoalan yang kompleks. 

Regenerasi wasit di Yogya

Kesempatan menjadi Sekjend Asprov PSSI DIY membuatnya ingin melahirkan wasit sepak bola berkelas internasional dari Yogyakarta. Untuk futsal, ia berhasil menciptakan satu wasit asal Yogyakarta yang kini memiliki lisensi FIFA. 

“Wasit-wasit sepak bola asal Yogya itu sebenarnya bagus-bagus, dari sisi fisik, attitude, wawasan, yang kurang itu cuma nggak bisa bahasa Inggris,” kata Armando. Ia sendiri pernah mengikuti lisensi wasit FIFA, sayang cedera membuatnya nggak lolos. 

Bagi Armando, kunci untuk melahirkan wasit berkualitas hanya satu, yaitu lingkungan yang baik. Ia melihat masih banyak yang masih berpikiran negatif. Misalnya, mencari pertandingan dari klub tertentu karena mungkin akan dapat uang dari sana. “Lingkungan yang baik akan membentuk mindset yang baik. Kalau takut mafia, mafia di manapun itu ada. Rezeki itu sudah ada yang ngatur,” katanya. 

Pendapatan sebagai wasit sepak bola nasional sekarang ini, sekali memimpin bisa dapat Rp 10 juta. Kalau sebulan memimpin 4 kali, maka harusnya sudah tidak berpikir macam-macam. “Makanya penting, kalau mau jadi wasit itu berpikirnya ke depan, ada proses yang harus dilalui untuk sampai di sana,” katanya.

Di Asprov PSSI DIY, ia sendiri tengah melakukan penjaringan anak-anak muda yang ingin menjadi wasit. Yang menjadi tantangan sekarang ini aturan dalam pertandingan sepak bola berubah dengan cepat. Di sisi lain pandemi membuat tidak ada waktu untuk melakukan sosialisasi.  

Meski tidak ada sekolah untuk wasit, dunia perwasitan idealnya diperkenalkan mulai usia SMA, seperti programnya AFC. Diperkenalkan hal mendasar dalam memimpin pertandingan. “Bagaimana memimpin itu melibatkan Tuhan, apapun agamanya. Diajak berpikir positif, bahwa dia mimpin pertandingan itu bentuk tanggung jawab, bukan mencari uang. Itu akan membangun karakter mereka,” katanya.  

Armando misalnya melihat dalam pertandingan sepak bola ada wasit yang memanggil pemain yang berkonfik di lapangan untuk bersalaman. Mungkin maksudnya untuk didamaikan. Namun, menurutnya itu tidak ada faedahnya. “Harusnya kalau dia pemain muda, dipanggil, kemudian diedukasi soal pelanggaran. Kalau cuma salaman, apa faedahnya?” ujarnya. 

Seorang wasit membarikan penjelasan kepada pemain usia dini. Foto olehPuguh Yusgiantoro/Mojok.co

Armando juga melihat banyak bibit-bibit sepak bola yang akhirnya mentalnya kena karena pendekatan yang salah. Misalnya dia melihat di sebuah pertandingan sepak bola usia dini, seorang pelatih memarahi pemainnya. 

“Dia bilang, kamu yang membuat kalah! Tahu nggak akibatnya, pemain itu sampai 4 bulan nggak mau latihan bola lagi. Pelatih itu gantian saya marahi. Bagaimanapun saya juga besar karena SSB. Saya bilang kepadanya,’ Satu kali saja kamu bilang, bajingan, kurang ajar, kamu merusak masa depan anak-anak,” kata Armando. 

Kembali soal wasit, Armando mengatakan, menjadi wasit itu bukan soal sekadar nyemprit. Kepada yuniornya  ia selalu berpesan, kalau memimpin pertandingan dengan baik, maka akan ada doa baik dari satu juta orang penonton yang menjadi pahala. Sebaliknya kalau memimpin pertandingan dengan buruk, maka mungkin akan ada doa buruk dari satu juta penonton yang mungkin salah satunya terkabul.

“Orang kalau berbuat salah, ia menodai integritasnya, itu bisa butuh puluhan tahun untuk mengembalikan nama baiknya, itu harus dipegang oleh orang-orang yang mau jadi wasit,” katanya.
 BACA JUGA Cerita dari Wasit Sepak Bola: Tarkam, Suap, dan Lisensi dan liputan menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.

Exit mobile version