Jamu Cekok Kerkop, Melegenda Sejak 1875 karena Mengandung Kesabaran

Yogyakarta punya ramuan sakti Jamu Cekok Kerkop yang eksis sejak tahun 1875. Tak ada rahasia ramuan khusus pada warung jamu ini. Nilai istimewanya terletak pada rasa kekeluargaan antarmanusia di dalamnya.

***

Samijan (45) mendekap anak laki-lakinya yang berusia tujuh bulan. Sementara istrinya, Diana Nursitawati (41) sibuk menyiapkan selembar kain bermotif. Mereka masuk ke warung jamu dan duduk di sebuah kursi kayu panjang yang jadi kursi tunggu.

Tak lama kemudian, seorang pegawai warung jamu mendatangi mereka. Pegawai itu segera mengambil kain yang disiapkan Diana dan mencelupkannya ke ramuan jamu. Ternyata anak mereka keburu melihat kain berlumur jamu. Sontak tangis anak itu pecah.

Pegawai warung jamu itu bernama Mujirah (65). Tangisan si anak laki-laki tak membuat Mujirah gentar apalagi kesal. Mujirah sejenak menyembunyikan kain yang sudah dibasahi jamu. Dia beraksi lagi setelah tangis anak itu agak mereda.

Pelan-pelan, tangan kanannya memencet salah satu lubang hidung si anak. Lalu dari arah belakang kepala si anak, dia memasukkan ramuan jamu dengan cara memeras kain yang basah berlumur jamu. Anak itu akhirnya menjerit-jerit. Menangis sekencang-kencangnya karena merasakan pahit di indra pengecapnya.

“Sudah, sudah. Sudah selesai. Jangan nangis. Cah pinter, cah pinter,” kata Mujirah menenangkan si anak yang masih menangis.

jamu kerkop mojok.co
Proses mencekoki jamu pada anak-anak di Jamu Cekok Kerkop (Salsabila Annisa/Mojok.co)

Itulah pemandangan yang saya saksikan saat tiba di Warung Jamu Cekok Kerkop, Rabu (16/3/2022) pukul 07.00 pagi. Warung Jamu Cekok Kerkop berlokasi di Jalan Brigjen Katamso No. 132, Kota Yogyakarta. Warga sekitar lebih akrab menyebutnya Kulon Kerkop (Barat Makam Kerkhof). Nama Kerkhof merujuk pada kompleks pemakaman orang Belanda yang letaknya dekat Purawisata.

Sembari Mujirah menenangkan si anak, saya mengajak ngobrol Diana. Baru ditanya sedikit soal kondisi anaknya, Diana sudah bercerita banyak. Kata Diana, anaknya menunjukkan gejala batuk. Oleh karena itu Diana langsung bergegas ke warung Jamu Cekok Kerkop untuk mencari jamu anti-batuk.

“Kalau anak saya sakit, saya larinya ke sini dulu sebelum ke rumah sakit. Kalau bisa sembuh pakai jamu, ngapain ke dokter? Anak saya masih kecil, kasihan kalau kena efek samping kebanyakan obat. Mendingan pakai jamu saja. Anak sembuh tanpa efek samping,” kata Diana.

Sambil memasukkan kain bekas cekokan jamu ke dalam tasnya, Diana terus menuturkan ceritanya. Rupanya keluarga Diana sudah berlangganan ke Warung Jamu Cekok Kerkop sejak tahun 1980-an. Tepatnya sejak jaman nenek dan kakek buyutnya. Menurutnya, budaya pergi ke Jamu Cekok Kerkop tak lepas dari khasiat jamu dan suasana kekeluargaan di dalamnya.

Pegawai yang menyayangi anak-anak

Setelah Diana, sekitar lima pasangan suami istri datang silih berganti untuk mencekoki (memberi minum jamu) anak mereka. Suara tangis nyaring pun terdengar berkali-kali memenuhi warung jamu yang berbentuk lorong panjang itu. Di tengah nyaringnya suara tangisan anak-anak, Joni Wijanarko (57), pemilik Jamu Cekok Kerkop generasi ke-5 menghampiri saya yang sedang sibuk mengambil foto.

Penampilan Joni sederhana. Dia hanya mengenakan kaus hitam dan celana kain panjang. Kacamata berlensa tebal bertengger di hidungnya. Setengah bagian bawah kacamatanya menjepit bagian atas masker putih yang dikenakannya. Katanya agar tidak mudah lepas. Namun karena suara tangis anak-anak begitu nyaring, dia minta izin melepas maskernya agar suaranya terdengar lebih jelas.

Joni Wijanarko (kiri) bersama sang ibu (tengah) dan Mujirah berfoto di warung Jamu Cekok Kerkop (kanan) (Salsabila Annisa/Mojok.co)

Joni lalu mulai menanggapi pertanyaan saya seputar rahasia warung jamu itu bisa bertahan hingga ratusan tahun. Menurutnya, tak ada ramuan khusus untuk membuat jamu. Bahan dasar dan tambahannya sama saja seperti yang digunakan bakul jamu tradisional lainnya. Misalnya temulawak, temuireng, lempuyang, dan lainnya.

“Justru yang jadi rahasia kenapa warung ini bertahan sekian ratus tahun itu dari pelayanan dan kesabaran pegawai ketika ngurusi anak-anak. Soalnya kan pelanggan di sini kebanyakan anak-anak yang dibawa orang tuanya,” kata Joni sambil melihat ke arah para pegawainya yang sibuk meracik jamu di sebuah etalase kayu.

Joni kemudian mengacungkan ke empat jarinya. Sejumlah itu lah pegawai yang kini mengabdi di warung jamu milik keluarganya. Para pegawai itu bernama Mujirah (65), Denok (54), Asih (51), dan Parwati (50). Keempat pegawai itu, menurut Joni, sudah benar-benar teruji kesabarannya dalam menangani anak-anak.

“Orang tua dan tetangga mereka dulu bekerja di sini. Jadi ketika mereka kecil sudah sering main ke sini dan melihat tata cara mencekoki anak-anak. Mereka sudah hafal caranya jauh sebelum mempraktekkannya,” kata Joni. Selain itu, keluarga Joni percaya bahwa keempat pegawainya saat ini mewarisi sifat sabar orang tua mereka.

Kepercayaan itu buktinya tidak salah. Mujirah, Denok, Asih dan Parwati tak pernah sedikit pun memarahi anak yang melancarkan aksi Gerakan Tutup Mulut (GTM) saat hendak dicekoki. Ketika ada anak yang memberontak, ngamuk, atau menangis, mereka akan berhenti sejenak untuk menenangkan. Menurut Joni, mereka terlihat menyayangi anak-anak itu seperti anak mereka sendiri.

Joni teringat saat dirinya masih berusia sekitar 7 tahun. Tepatnya saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu warung jamu masih dikelola ayahnya, Zaelani. Pegawai jamu Kerkop saat itu adalah orang tua dan tetangga Mujirah, Denok, Asih dan Parwati. Sambil melihat para pegawai itu mempersiapkan ramuan jamu, Zaelani menitipkan satu pesan padanya.

“Kalau orang tuanya saja pada sabar sama anak kecil, terus jujur juga, berarti anak-anak mereka juga punya sifat-sifat itu. Jadi ketika Bu Mujirah, Bu Denok, Bu Asih dan Bu Parwati ingin kerja di sini, ya saya tidak perlu lagi ngetes kesabaran dan kejujuran mereka,” kata Joni menirukan pesan mendiang ayahnya sebelum menitipkan warung jamu kepadanya.

Kesabaran pegawai adalah kunci eksisnya Warung Jamu Kerkop hingga satu abad. Bagi Joni, slogan itu tak main-main. Harus dipatuhi. Joni kemudian menuturkan buktinya. Saat dia baru pertama kali mengelola jamu Kerkop, ada seorang pegawai yang wajahnya judes. Dia cemberut setiap hari bahkan saat meracik jamu dan menyapa pelanggan.

Mujirah mempersiapkan jamu untuk pelanggan warung jamu kerkop (Salsabila Annisa/Mojok.co)

Setiap melayani pelanggan yang membawa anak-anak, menurut Joni, caranya mencekoki juga kurang halus. Terkesan menjagal. Anak ngamuk sedikit, emosinya langsung terpancing. Jadi terkadang dia agak membentak saat mencekoki anak-anak. Hal itu disaksikan pelanggan lainnya yang juga membawa anak mereka.

Keesokan harinya, selama beberapa hari, Joni melihat beberapa pelanggan yang hanya menghentikan motornya di depan warung. Mereka umumnya pasutri yang membawa anak. Jenis pelanggan ini biasanya putar balik dan tidak jadi masuk.

“Saya amati, kalau tau yang jaga itu pegawai yang galak tadi, pasti mereka yang bawa anak itu kok nggak jadi masuk. Langsung pulang begitu saja lho. Berarti kan kesabaran pegawai itu penting sekali,” kata Joni sambil tertawa kecil. Badannya sampai berguncang.

Melihat kejadian itu, Joni tidak mau meremehkan. Joni langsung menasihati si pegawai dengan baik-baik. Joni meminta pegawai itu berlatih mengontrol emosinya ketika berhadapan dengan anak-anak yang mengamuk atau menangis. Sebab, penyelesaian masalah secara kekeluargaan juga jadi kunci bertahannya warung jamu satu ini.

Di tengah ceritanya, Joni tiba-tiba minta izin untuk pergi ke ruang cuci baju di rumahnya. Letak rumahnya persis di belakang lapak jamu. Hanya lorong memanjang yang menghubungkan kedua ruang itu.

Tetap sabar meski jari sering kena gigit

Saat ditinggal Joni, sesosok perempuan bertubuh agak gemuk menghampiri saya. Panjang rambutnya hingga bawah telinga. Dia mengenakan kaus bermotif seragam tantara dan celana pendek. Di tangan kanannya, dia menggenggam satu buah nasi bungkus. Dia menawari saya ikut makan siang jika saya mau.

Alih-alih ikut makan siang, saya menawarkan duduk di samping Denok dan mengajaknya ngobrol soal pekerjaannya sebagai peracik jamu kerkop. Ternyata Denok adalah adik dari Mujirah. Mereka bekerja di warung jamu kerkop sejak 1988. Saat itu Denok sudah punya satu anak berusia sekitar 7 tahun.

Denok langsung mengambil spesialisasi sebagai penghalus ramuan jamu. Saat ramuan sudah ditumbuk oleh Parwati, Denok menghaluskannya menggunakan alat bernama pipisan. Dia melakukannya setiap pukul 08.00 pagi. Tepatnya setelah ia mengambil belanjaan empon-empon di Pasar Beringharjo.

Denok, pegawai jamu cekok Kerkop (Salsabila Annisa/Mojok.co)

Sore harinya, Denok bergantian giliran dengan Mujirah untuk mencekoki anak-anak. Menurut Denok, kegiatan mencekoki anak cukup mendebarkan. Pasalnya, Denok tak pernah bisa memprediksi seberapa parah tangisan dan amukan anak-anak yang akan dicekokinya. Ada yang menangis tanpa mengamuk, ada yang menangis hingga mengamuk. Tak jarang mengamuk sampai menendang ke segala penjuru.

“Tapi yang paling sering itu kejadian jari kami kegigit, Mbak. Biasanya itu terjadi waktu kami nyekoki anak yang usianya sekitar 5 tahun. Kan udah ada giginya, to? Nek mereka ngamuk, nggigitnya itu bisa keras banget sampai jari kami berdarah,” kata Denok.

Seharusnya, anak usia 5 tahun sudah harus dilatih minum jamu dari gelas. Namun cara itu membutuhkan keberanian dari si anak. Seringnya, si anak malah tidak jadi minum dan gelasnya disingkirkan oleh mereka. Jelas saja orang tua menganggap metode cekok lebih mudah. Sayangnya pilihan mereka terkadang mengorbankan jari para pencekok di kerkop.

Saat jarinya tergigit, Denok dan pegawai lainnya paling hanya mengaduh. Sebisa mungkin mereka menghindari ikut ngamuk atau marah. Sebab anak yang sudah menggigit, menurut mereka, sedang sangat ketakutan. Kalau dimarahi akan tambah mengamuk.

“Kalau udah berdarah ya harus mundur. Gantian sama pegawai lain. Yang kegigit ke belakang dulu, diobati pakai obat merah. Sambil nunggu kering, ngerjain yang lain. Nanti kalau dah kering dan bersih lukanya, besoknya nyekoki lagi,” kata Denok.

Konsisten dengan cara tradisional

Usai ngobrol dengan Denok, Joni mengajak saya mengamati dapur pembuatan Jamu Cekok Kerkop. Letaknya persis di sebelah ruang cuci baju keluarganya. Di ruangan tertutup itu, ada banyak bahan baku jamu yang disimpan di dalam kontainer plastik. Mulai dari temulawak, lempuyang, kunir, kencur, dan lainnya.

Joni membuka salah satu kontainer berisi lempuyang. Kemudian dia menjelaskan kepada saya yang awam ini soal resep ramuan jamu legendaris khas Jogja. Pada dasarnya bahan dasar jamu itu adalah temulawak, temuireng, temugiring, kunir, daun pepaya dan lenengan.

“Jamu semua penyakit itu jamu penambah nafsu makan. Makanya ada bahan temugiring. Temugiring itu ada artinya lho. Artinya ketemu cacingnya dalam perut, terus digiring keluar,” kata Joni.

Ramuan dasar tadi kemudian ditambahi bahan khusus, tergantung jenis penyakitnya. Contohnya jamu untuk meredakan batuk. Peracik jamu tinggal mencampur bahan dasar dengan sedikit potongan getah pohon Inggu yang membeku. Getah pohon inggu diambil dengan disadap seperti getah karet. Oleh karena itu, Inggu yang dibeli Joni di Pasar Beringharjo berbentuk seperti jenang ireng.

Joni Wijanarko menumbuk empon-empon resep jamu cekok di lumpang batu (Salsabila Annisa/Mojok.co)

Joni kemudian menunjukkan lumpang yang terbuat dari batu. Katanya lumpang itu sudah berjasa menumbuk empon-empon selama satu abad. Sejak generasi pertama, lumpang itu belum pernah pensiun bekerja. Saya tidak heran. Sebab saya melihat bagian pinggir lumpang itu sudah pada keropos.

“Nggak peduli sudah ada blender dan alat pemeras otomatis, tapi kami nggak pernah tergoda menggunakannya. Kami konsisten pakai tumbukan tradisional. Lalu setelah ditumbuk, bahan dihaluskan dengan pipisan,” kata Joni sambil menunjuk pipisan yang terletak di depan lumpang batunya.

Ternyata, alasan dibalik pemeliharaan lumpang batu selama ratusan tahun itu tak hanya perkara konsistensi menggunakan cara tradisional. Seluruh anggota keluarga Warung Jamu Kerkop percaya ada kekuatan leluhur yang menempel pada alat-alat tua yang mereka gunakan.

“Kami percaya di alat-alat tradisional yang sudah tua ini ada energi leluhur yang melekat. Ada restu mereka. Ada doa mereka untuk kelangsungan hidup warung jamu ini. Mungkin itu lah yang buat rasa jamunya juga konsisten,” kata Joni.

Di akhir cerita, Joni menekankan lagi bahwa rahasia eksis jamu Kerkop lebih dari sekadar ramuan jamu. Secara turun temurun, baik interaksi kekeluargaan antar pegawai maupun interaksi pegawai dengan pelanggan selalu kental dengan rasa kekeluargaan. Bahkan, alat-alat berusia ratusan tahun yang ada di dapur jamu Kerkop pun diperlakukan seperti keluarga. Tak pernah dibuang, selalu dirawat.

“Dan yang paling penting itu setiap mau bekerja, baik itu belanja bahan di Pasar Beringharjo atau meracik jamu, harus selalu berdoa. Minta dilancarkan segala sesuatunya,” kata Joni.

Reporter: Salsabila Annisa Azmi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Al-Quran Tulisan Tangan Berusia 200 Tahun, Saksi Penyebaran Islam di Gunungkidul dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version