Kisah Pilu di Jalan Seturan Raya Sleman: Lelaki Kehilangan Rumah dan Perempuan Malang yang 13 Tahun Terpisah dengan Anak

Ilustrasi Jalan Seturan Raya (Mojok.co/Ega Fansuri)

Di tepi Jalan Seturan Raya, Sleman, ada seorang ibu yang kehilangan anaknya sejak 13 tahun silam. Di sampingnya ada seorang lelaki yang kehilangan rumah. Tumpukan rongsok menjadi saksi perjuangan mereka berdua.

***

Ada sebuah pemandangan yang agak mengganjal setiap melewati Jalan Seturan Raya, Sleman. Tepatnya di persimpangan sisi selatan UPN Veteran Yogyakarta. Di tepi salah satu jalan terpadat di Sleman, ada orang yang hidup berdampingan dengan tumpukan rongsok.

Sosok manusia yang sekelibat terlihat di balik gerobak dorong penuh rongsok itu seakan tidak peduli dengan keramaian jalan. Sinar lampu jalan yang cukup terang di titik itu pun tampak tak membuatnya silau ketika malam.

Berulang kali saya melewatinya dengan rasa penasaran. Sampai akhirnya, pada Senin (2/10/2023) malam saya putuskan untuk menepi.

Ada dua orang malam itu. Seorang lelaki dan perempuan duduk saling berjarak. Laki-laki itu sedang sibuk membaca koran Tribun Jogja edisi sehari sebelumnya. Halaman olahraga yang menampakkan berita PSIM Jogja yang baru saja memenangkan laga tandang pada akhir pekan lalu.

Setelah mengucap permisi dan izin untuk berbincang, kedua orang tadi dengan ramah mempersilakan saya untuk bergabung duduk di tikar sederhana yang tergelar di trotoar.

“Monggo, sini saja Mas. Duduk bareng kami,” kata lelaki itu.

Lelaki itu ternyata bernama Imam (60). Asalnya dari Ngampilan, Kota Yogyakarta dan sudah enam bulan terakhir kerap bermalam di tepi Jalan Seturan Raya. Sementara sang perempuan bernama Gianti (46). Ia hanya singgah sementara setelah mencari rongsokan.

“Kalau saya nanti pulang ke rumah di Singosaren, Bantul. Bapaknya ini yang tidur di sini,” ujar Gianti.

Memilih Jalan Seturan Raya meski ramai karena barang sering dicuri

Imam lantas menutup lembaran koran yang sedang ia baca. Katanya, koran bekas yang ia dapat dari tempat sampah ini adalah caranya menghibur diri.

“Biar nggak bosan di sini,” cetusnya.

Meski asalnya hanya dari Ngampilan, Imam mengaku sudah tahunan menggelandang. Sedangkan profesi tukang rongsok sudah ia jalani sejak umur dua puluh tahun.

Ia menggelandang di jalan setelah tempat tinggalnya dijual oleh saudara. Imam yang tak menikah pun memilih hidup berpindah dari satu titik ke titik lain di sekitar Jogja.

Belakangan, ia mengaku menemukan kenyamanan di Jalan Seturan Raya, Sleman. Dulunya ia pernah lama tinggal di Jalan Solo, Jalan Gejayan, dan beberapa ruas jalan lain di Jogja.

Awalnya saya cukup heran, mengapa ia tidak memilih tempat yang sepi dan gelap supaya istirahat malamnya lebih nyaman. Ternyata, keramaian di tempat ini membuatnya merasa aman.

“Dulu rongsok saya sering dicuri yang lain saat malam,” keluhnya.

“Yang nyuri ya teman sendiri, tukang rongsok lain,” imbuhnya.

Meski awalnya cukup sulit tidur di keramaian Jalan Seturan Raya, Sleman yang tidak pernah berhenti, lama kelamaan Imam mengaku jadi terbiasa. Terik dan hujan ia lewati di tepi jalan ini. Kalau hujan turun, ia akan berlindung di dalam gerobak yang atasnya tertutup baliho bekas.

“Kalau malam hujan ya tidurnya di situ juga,” tuturnya.

Hidup menggelandang bersama tumpukan rongsok penuh ketidakpastian. Belakangan, menurutnya harga rongsok sedang turun. Kertas bekas hanya laku Rp1500 per kilogram. Botol air mineral bekas yang biasanya bisa laku Rp4 ribu per kilo pun sekarang hanya Rp2500.

Pilu di Jalan Seturan Sleman.MOJOK.CO
Gianti dan Imam di antara tumpukan rongsok di tepi Jalan Seturan Raya, Sleman (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Menurut perhitungannya, setahun terakhir rata-rata pendapatannya Rp40-50 ribu per hari. Kalau dulu, bisa sampai Rp70 ribu. Ia menjualnya ke pengepul atau kadang kala lewat temannya sesama tukang rongsok.

Seorang ibu yang kehilangan anaknya

Imam penasaran dan bertanya apakah saya mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta. Memang dulunya begitu. Namun, saya menjelaskan kalau sekarang sudah bekerja sebagai wartawan. Saat bicara soal profesi saya, tiba-tiba Gianti menyahut.

“Mas, bisa bantu saya nggak ya?” tanyanya.

Dengan lirih, ia lalu bercerita kalau kehilangan anaknya sekitar 13 tahun silam. Anak satu-satunya itu minggat dari rumah dan tak pernah kembali.

Dulu, anak lelaki bernama Rohim Surniawan itu ia titipkan ke panti asuhan. Gianti mengaku tak tega jika anaknya harus hidup bersamanya yang sehari-hari mencari rongsokan. Sementara suaminya, tidak lagi menafkahi secara rutin.

“Dulu suami saya suka main tangan. Rohim pas kecil sering nangis. Dia sudah paham dan minta saya pisah sama bapaknya,” kenangnya di tepi keramaian Jalan Seturan Raya.

Namun, saat itu Gianti mengaku belum bisa bercerai dengan suaminya. Ia mengaku ingin mengumpulkan uang terlebih dahulu sebelum memutuskan berpisah. Sayangnya, di masa ia sedang berjuang, tiba-tiba anaknya pergi dari panti asuhan tanpa sepengetahuannya.

“Mungkin dia kecewa sama saya, sama keluarganya, saya nggak bisa apa-apa dulu,” ujarnya lirih.

Dua tahun setelah kehilangan jejak sang anak, secara tidak sengaja mengaku pernah melihat wajah Rohim di sebuah video YouTube tentang anak jalanan di Jakarta. Tepatnya di kawasan Bukit Duri.

“Saya pernah ke Jakarta buat nyari dia tapi nggak ketemu,” kenangnya.

Pada 2016 ia mengaku terpuruk dan nyaris putus asa karena mengetahui Kampung Bukit Duri terkena penggusuran. Semakin sulit baginya untuk mencari keberadaan sang anak.

Ia berharap suatu saat nanti bisa bertemu kembali dengan anak itu. Saat bertemu dengan saya, ia mengaku tak membawa foto sang anak. Namun, saya memberikan kartu nama barangkali nanti ia akan menghubungi dan memberikan foto anak itu.

“Sekarang ibu sudah cerai sama bapakmu. Ibu sudah menikah lagi,” katanya.

Tidak pernah berhenti berharap

Di tengah ketidakpastian hidup, harapan Gianti untuk bertemu sang anak tak pernah surut. Andai punya uang lebih ia mengaku pasti akan mencari ke Jakarta lagi.

“Dulu sempat pasang iklan di Kedaulatan Rakyat. Tapi nggak ada hasil,” ujarnya.

Kini, Gianti hanya berusaha menjalani hidup. Mencari uang dari jalanan untuk menghidupi diri sekaligus menabung sedikit demi sedikit. Siapa tahu, suatu saat nanti, anaknya kembali.

Perempuan ini mengepul rongsok dari sore hingga malam. Sementara pagi dan siang, ia bekerja di bersih-bersih di sebuah kos eksklusif di sekitar Jalan Seturan Raya. Tak jauh dari tempatnya beristirahat malam hari ini.

Meski sudah menikah lagi, Gianti tak bisa berpangku tangan ke suaminya yang hanya bekerja serabutan. Perempuan ini memilih melawan kerasnya jalan.

Di balik ingar-bingar Jalan Seturan Raya yang penuh tempat hiburan, Gianti dan Imam berusaha bertahan hidup di trotoar. Mencari sesuap nasi dari rongsokan.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor : Agung Purwandono

BACA JUGA Para Perempuan Kuat yang Mencoba Bertahan Hidup di Kerasnya Terminal Jombor Jogja

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version