Senin, 12 Desember 2022, puluhan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Primates Fight Back melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta. Mereka mendesak supaya pemerintah segera menetapkan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai satwa dilindungi.
Aksi itu merupakan buntut dari maraknya eksploitasi terhadap monyet ekor panjang oleh manusia, mulai dari perburuan, perdagangan, penyiksaan, termasuk penggunaan monyet sebagai hewan percobaan untuk kepentingan medis.
Eksploitasi terhadap monyet disebut sebagai biang keladi turunnya populasi monyet, hingga pada Maret 2022 International Union for Conservation of Nature (IUCN) menaikkan status monyet ekor panjang dari rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered). IUCN mencatat, dalam 40 tahun populasi monyet ekor panjang telah menurun hingga 40 persen.
Mojok menyajikan liputan investigasi dari kontributor kami yang mengikuti program “Bela Satwa Project” yang diinisiasi oleh Garda Animalia dan Auriga Nusantara. Proses reportase investigasi ini berlangsung dari pertengahan tahun 2022 hingga Desember 2022. Liputan panjang ini akan kami sajikan dalam dua kali penerbitan, hari ini dan besok.
Peringatan: Tulisan ini mungkin mengandung kekerasan pada hewan dan bisa mengganggu kenyamanan Anda.
***
“Sudah terlalu lama negara melakukan pembiaran terhadap segala tindak kejahatan yang terjadi terhadap monyet dan beruk, yang mengancam hak hidup mereka di hutan. Dengan tidak menetapkan mereka (monyet dan beruk) sebagai satwa dilindungi, berarti negara turut andil dalam depopulasi kedua spesies tersebut. Serta membiarkan terjadinya konflik serta terganggunya keseimbangan lingkungan,” kata Fiolita Berandhini dari Animal Don’t Speak Human (ADSH), sebuah organisasi pembela satwa yang tergabung dalam Koalisi Primates Fight Back
Monyet ekor panjang untuk penelitian biomedis
Indonesia jadi salah satu negara penyuplai monyet ekor panjang untuk riset biomedis ke China dan Amerika Serikat. Apalagi pascapandemi COVID-19, permintaan monyet ekor panjang untuk mendukung riset produksi vaksin semakin besar.
Tahun 2021, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah mengeluarkan rekomendasi kuota tangkap monyet ekor panjang di alam sebesar 2.070 ekor untuk keperluan ekspor. Sebanyak 2.070 ekor itu terbagi untuk beberapa provinsi, yaitu Jawa Timur 330 ekor, Jawa Tengah 270 ekor, Jawa Barat 300 ekor, Sumatera Selatan 870 ekor, serta Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 300 ekor.
Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK dalam Buku Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar 2021 menyebutkan perusahaan yang memegang hak penangkapan monyet di wilayah Jawa adalah CV Primaco Indonesia.
Kepala Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH) BRIN, Amir Hamidy, mengungkapkan bahwa setidaknya ada dua alasan utama pemanfaatan monyet ekor panjang untuk riset biomedis.
Pertama, laporan konflik antara masyarakat dengan monyet ekor panjang makin sering terjadi, meski belum ada hasil survei populasi berapa sebenarnya jumlah monyet ekor panjang yang ada di alam liar saat ini. Di saat bersamaan, kebutuhan hewan percobaan untuk keperluan biomedis mulai dari obat hingga vaksin semakin tinggi.
“Hari ini kan kebutuhan vaksin kita sangat besar. Vaksin, obat, semua yang kita konsumsi kan harus melalui uji coba dulu, dan yang paling mungkin ya memanfaatkan Macaca,” kata Amir Hamidy saat wawancara virtual, Minggu 31 Juli 2022.
Monyet ekor panjang yang overpopulasi jadi alasan
Kuota 300 individu monyet ekor panjang yang diberikan oleh BRIN kepada DIY pada 2021 sebenarnya jauh lebih sedikit ketimbang yang diajukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY.
Kepala BKSDA DIY, Muhammad Wahyudi, mengatakan bahwa pada 2022, BKSDA DIY sebenarnya mengajukan kuota penangkapan sebanyak 1.250 ekor kepada BRIN. Meski belum tahu pasti berapa populasi monyet yang ada di DIY, tapi banyaknya laporan konflik monyet ekor panjang yang terjadi di DIY menurutnya telah mengindikasikan bahwa monyet ekor panjang di DIY telah overpopulasi.
Namun, BRIN berkata lain. Laporan konflik yang terjadi tak bisa jadi dasar bahwa telah terjadi overpopulasi monyet di Yogya. Hal itu juga yang membuat BRIN tak menyetujui usulan penangkapan 1.250 monyet. Dan hanya mengizinkan penangkapan 300 ekor saja.
“Sehingga kita tidak disetujui tahun 2020, karena alasannya konflik dengan manusia bukan jadi salah satu dasar pengusulan kuota,” kata Muhammad Wahyudi, Rabu 27 Juli 2022.
Konflik antara monyet ekor panjang dengan masyarakat di Yogya menurut Wahyudi memang sudah cukup mengkhawatirkan, terutama di Kabupaten Gunungkidul. Catatan Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul, dari 18 kecamatan di Gunungkidul, konflik telah terjadi di sembilan kecamatan. Lokasi itu di antaranya Kecamatan Saptosari, Paliyan, Semin, Rongkop, Tepus, Tanjungsari, Panggang, Purwosari, hingga Girisubo.
Selain di Gunungkidul, konflik monyet dengan manusia menurut Wahyudi juga terjadi di kabupaten lain, mulai dari Sleman, Bantul, hingga Kulon Progo.
“Jadi cukup merata untuk di Yogyakarta,” ujarnya.
Monyet ekor panjang dinilai jadi hama
Salah seorang petani yang juga tokoh masyarakat di Desa Jetis, Saptosari, Gunungkidul, Sumidi, mengatakan bahwa monyet memakan apa saja yang petani tanam kecuali cabai. Bagi petani di Gunungkidul, monyet bahkan sudah dianggap sebagai hama utama.
Hal itu membuat setiap tahun, terutama menjelang musim panen, petani di Gunungkidul mesti seharian menjaga ladangnya, paling tidak dari pukul lima subuh sampai maghrib. Sehari saja tak dijaga, tanaman yang mereka tanam bisa ludes dimakan monyet.
“Apapun (dimakan), jagung, singkong, kacang tanah, kolonjono, bahkan kalau musim kemarau kelapa juga dimakan, tapi paling suka jagung. Yang nggak dimakan cuma cabai,” kata Sumidi, Senin 7 Juli 2022.
Karena itu, saat terjadi penangkapan monyet di desanya pada pertengahan 2021, para petani, termasuk Sumidi sangat senang. Mereka rela iuran untuk memberi makan orang-orang yang bertugas untuk menangkap monyet, bahkan beberapa di antara mereka ikut membantu menangkap monyet.
“Sebenarnya dari petani yang dibutuhkan cuma gimana caranya menghilangkan kera ekor panjang, (kalau) tidak dihilangkan ya sebisa mungkin dikurangi,” ujarnya.
Tak bisa dipungkiri, jasa monyet ekor panjang (juga jenis primata non-manusia lain) dalam tersedianya berbagai jenis obat dan vaksin untuk manusia sangat besar. Tapi monyet yang telah ditangkap dan menjadi hewan percobaan di laboratorium tak pernah memiliki kehidupan yang sama lagi.
Laporan Action for Primates, sebuah organisasi yang berbasis di Inggris dan aktif mengawal isu eksploitasi monyet ekor panjang di seluruh dunia, memperlihatkan bagaimana kegiatan pemanfaatan monyet ekor panjang di laboratorium seringkali tidak memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan mereka.
Kesakitan di ranjang pasien
Co-founder Action For Primates, Sarah Kite, bahkan mengatakan bahwa pemanfaatan ini seringkali berujung pada penyiksaan terhadap monyet ekor panjang sebagai primata utama dalam percobaan biomedis.
Siksaan itu kerap terjadi sejak proses penangkapan, pengangkutan, hingga mereka berada di ‘kursi primata’, istilah yang digunakan oleh industri penelitian sebagai sebuah alat penjepit leher primata yang jadi objek percobaan.
Sarah mengatakan, Studi yang dilakukan British Union for the Abolition of Vivisection (BUAV) pada 2008 dan 2009, mengungkapkan bahwa ada banyak bukti yang terakumulasi selama bertahun-tahun yang menunjukkan kekejaman dan penderitaan luar biasa yang dialami monyet selama penangkapan, pengurungan, penahanan, dan transportasi.
Studi yang dilakukan para ilmuwan dari dalam industri penelitian itu sendiri (Fernstrom 2008; Honess 2004; Schapiro 2012), juga menunjukkan bahwa transportasi menyebabkan efek negatif yang besar pada perilaku dan kesejahteraan monyet ekor panjang.
Monyet ekor panjang sering dikemas ke dalam peti kayu kecil untuk dikirim. Saking kecilnya, peti kayu itu membuat monyet tak bisa leluasa bergerak, bahkan sekadar untuk menyesuaikan postur normal. Proses pengangkutan ke tempat tujuan juga sering berlangsung selama berhari-hari.
“Selama waktu itu, monyet mungkin harus mengalami penundaan, ventilasi yang tidak memadai, kebisingan, dan fluktuasi suhu yang ekstrem,” kata Sarah Kite.
Di dalam laboratorium, monyet juga sering mengalami keracunan dari obat atau bahan kimia yang diberikan kepadanya. Calon obat tersebut biasanya diberikan langsung secara intravena melalui aliran darah atau disuntikkan melalui selang yang dipaksa masuk ke mulut mereka untuk mencapai perut, dengan leher yang dijepit pada kursi primata.
Monyet ekor panjang jadi hewan uji coba
Setelah mendapat obat atau bahan kimia itu, mereka sering mengalami efek samping mulai dari lesu, muntah, kejang, kesulitan bernapas, masalah kulit, dan penurunan berat badan.
“Ada juga efek tak terlihat seperti pendarahan internal dan kegagalan organ. Dengan beberapa obat, bahkan dengan dosis rendah, ada yang mengakibatkan kematian langsung,” ujarnya.
Jauh sebelum sampai ranjang pasien, saat proses penangkapan di alam liar monyet-monyet ini juga telah mengalami penyiksaan. Menurut Sarah, menangkap monyet dari alam sendiri merupakan tindakan kejam yang akan menimbulkan penderitaan dan kesusahan yang panjang karena dipindahkan secara paksa dari habitat dan keluarga atau kelompok sosialnya.
“Hal ini menyebabkan stres dan kesusahan yang eksterm bagi mereka yang dibawa maupun ditinggalkan, yang efeknya berlangsung tanpa batas waktu,” tegasnya.
Apalagi jika dalam proses penangkapan juga disertai dengan tindak kekerasan, seperti dipukul, dicekik, diinjak, bahkan dibunuh bagi mereka yang terus melawan. Dan semua ini juga terjadi dalam proses penangkapan monyet ekor panjang di Yogya pada pertengahan 2021 silam.
Monyet ekor panjang ditangkap paksa
September 2021, 11 orang melakukan penangkapan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di sebuah hutan di Desa Jetis, Saptosari, Gunungkidul, tak jauh dari kawasan hutan Suaka Margasatwa Paliyan. Sebagian dari mereka bertugas menjaga jaring yang melintang mengitari bukit, sebagian sisanya menggiring kawanan monyet ke arah jaring yang panjangnya puluhan meter, hampir mengelilingi separuh bukit.
Dari atas bukit, kawanan monyet lari terbirit-birit menuruni bukit saat tiba-tiba ada orang berbaju hitam yang mengejutkan mereka. Beberapa ada yang sambil membopong bayinya yang masih menyusu.
Kawanan itu tak sadar, bahwa mereka justru sedang menuju ke jaring perangkap yang sudah disiapkan oleh kelompok penangkap monyet itu. Benar saja, saat sampai di bawah bukit mereka langsung tertahan oleh jaring yang telah membentang. Sementara di kanan, kiri, juga belakang sudah ada para penangkap yang mengepung mereka.
Satu-satunya tempat persembunyian yang tersisa adalah semak-semak di bagian bawah jaring. Namun, semak-semak yang disusun menyerupai gua kecil itu ternyata adalah jebakan lain. Jebakan yang juga dibuat oleh kelompok orang penangkap monyet itu.
“Dibuatkan seperti gua dari semak dan pohon, sembarang pohon. Tujuannya kalau monyetnya masuk ke jaring, mereka masuk ke semak-semak itu, terus nanti baru ditangkapi,” kata salah seorang warga setempat, Wasdiono, yang ikut menyaksikan beberapa kali proses penangkapan monyet itu, Minggu 3 Juli 2022.
Kurang lebih tiga pekan para penangkap monyet itu bekerja di hutan desanya. Beberapa kali, Wasdiono sempat mengirimkan makanan untuk para penangkap monyet yang selama bertugas lebih memilih tinggal di dalam hutan ketimbang menginap di rumah warga.
Libatkan orang Baduy Luar
Menurut Wasdiono, para penangkap monyet itu mengaku berasal dari daerah Baduy Luar, Banten. Mereka didatangkan oleh sebuah perusahaan khusus untuk menangkapi monyet-monyet di Gunungkidul, termasuk di sekitar desanya.
“Orang dari PT (perusahaan) bawa anak buah, bilangnya dari Baduy Luar. Ke sini nangkepin itu. Terus hasil tangkapannya ya disetorkan ke PT,” ujarnya.
Semua monyet yang masuk ke perangkap, ditangkap. Jantan, betina, indukan yang sedang bunting atau menyusui, juga monyet-monyet yang masih bayi. Sisanya, bernasib lebih sial. Para pejantan dewasa yang berusaha melepaskan diri dan menyelamatkan kelompoknya, dibantai oleh para penangkap monyet itu.
Mereka dipukul pakai kayu, bahkan ada yang ditebas pakai senjata mirip mandau sampai mati.
“Monyet yang besar, melawan, yang kira-kira bahaya ya dibunuh. (Mereka) bawa mandau, kayak pedang, kalau ada yang melawan ya dibunuh,” kata Wasdiono.
Monyet-monyet yang terbunuh itu, kemudian disembelih, dicincang, lalu dimasak sebagai lauk untuk makan. Beberapa kali, Wasdiono mengaku menjumpai mereka sedang mengasap daging monyet ketika mengantarkan makanan kepada mereka. Bahkan, Wasdiono sempat ditawari untuk ikut makan daging monyet yang sudah masak.
“Nggak mau saya,” kata Wasdiono sembari bergidik.
Monyet semakin berani pada petani
Apa yang diceritakan oleh Wasdiono, sama dengan yang diceritakan Sutarmo, seorang petani yang kami temui di Alas Klampok. Dia juga sempat menyaksikan proses penangkapan monyet yang dilakukan oleh orang-orang itu di Kawasan Alas Klampok.
Menurut dia, warga setempat menyambut baik kedatangan para penangkap monyet itu. Pasalnya, selama ini monyet-monyet tersebut sudah dianggap seperti hama karena sering masuk ke lahan pertanian warga dan memakan tanaman yang mereka tanam.
Beberapa bulan setelah monyet-monyet itu ditangkapi, jumlahnya memang sedikit berkurang. Tapi menurut Sutarmo, monyet-monyet itu justru semakin berani dengan manusia, terutama dengan perempuan. Ketika diusir, alih-alih pergi, seringkali mereka malah melawan.
“(Soalnya waktu ditangkapi) kalau ada yang melawan, teriak-teriak, disembelih. Ya (buat) dimakan,” kata Sutarmo.
Selain makin beringas, saat ini jumlah monyet di Alas Klampok dan sekitarnya menurut dia juga mulai bertambah lagi. Perkembangbiakan mereka menurutnya justru semakin cepat.
“Setelah penangkapan memang berkurang, tapi setelah 4 bulanan, induk-induknya jadi gendong anak semua,” ujarnya.
Seorang petani sekaligus tokoh masyarakat setempat, Sumidi, mengungkapkan bahwa dirinya sudah sangat akrab dengan para penangkap monyet di daerahnya. Sebab, selama tinggal di Saptosari, Sumidilah yang membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari para penangkap monyet itu.
Dia juga mengkonfirmasi adanya sejumlah monyet ekor panjang –terutama mereka yang melawan para penangkap– yang dibunuh lalu dimasak, dibakar, diberi kecap dengan potongan bawang seperti sate. Hal itu menurut dia sudah jadi rahasia umum bagi masyarakat setempat.
“Sudah tahu semua itu,” kata Sumidi, Senin 4 Juli 2022.
Sumidi mengungkapkan bahwa ketua kelompok penangkap itu adalah suruhan sebuah perusahaan, namanya Dudung. Dia bertugas untuk mengantar dan memimpin para penangkap monyet itu dari satu tempat ke tempat yang lain.
“Pak Dudungnya itu yang mengantarkan dari perusahaan,” ujarnya.
Perusahaan penangkap monyet untuk ekspor
Dudung yang dimaksud oleh Sumidi sempat diwawancarai oleh awak media ketika Bupati Gunungkidul, Sunaryanta, meninjau proses penangkapan monyet di Alas Klampok pada 23 September 2021. Rekaman wawancara itu diunggah oleh beberapa media lokal di YouTube, di antaranya Dhaksinarga TV, akun YouTube yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul.
Sumidi mengkonfirmasi bahwa Dudung yang dia maksud adalah orang yang sama dengan Dudung yang diwawancarai dalam video tersebut.
“Ya, benar, ini Pak Dudung waktu ada di sini,” ujarnya ketika menyaksikan ulang video tersebut.
Dalam agenda kunjungan itu, Polisi Hutan Suaka Margasatwa Paliyan BKSDA Yogyakarta, Agus Sunarto juga mengungkapkan bahwa penangkapan monyet di Gunungkidul merupakan bentuk kerja sama dengan sebuah perusahaan bernama CV Primaco Indonesia.
“Dalam hal penangkapan ini bekerja sama dengan PT Primaco (CV Primaco Indonesia), yang dia sebagai pemegang izin peredaran MEP dan juga penangkaran MEP,” kata Agus Sunarto.
Perusahaan yang disebutkan oleh Agus identik dengan perusahaan yang tercatat Buku Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode 2021 yang dikeluarkan oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di dalam buku tersebut, tercantum nama CV Primaco Indonesia sebagai perusahaan yang memiliki izin penangkapan monyet ekor panjang untuk wilayah Pulau Jawa, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
CV Primaco Indonesia mendapat jatah penangkapan di Pulau Jawa sebesar 1.200 ekor, khusus di wilayah DIY sebesar 300 ekor. Hal itu juga dikonfirmasi oleh Kepala BKSDA DIY, Muhammad Wahyudi.
“Kuota penangkapan di Yogya dikerjakan oleh Primaco namanya yang mempunyai izin untuk menangkap monyet,” kata Muhammad Wahyudi, Rabu 27 Juli 2022.
Dia juga membenarkan jika dalam proses penangkapannya, CV Primaco Indonesia mengerahkan orang-orang dari Baduy Luar. Sebab, orang-orang tersebut dinilai memiliki kemampuan khusus untuk menangkap monyet dari alam liar.
“Itu mereka (CV Primaco Indonesia) menggunakan tenaga ahli dari luar, dari Baduy Luar,” ujarnya.
BKSDA bantah ada kekerasan
Muhammad Wahyudi menegaskan bahwa semua bentuk kekerasan dalam penangkapan monyet ekor panjang di Yogyakarta itu tidak pernah terjadi. Menurutnya, proses penangkapan selalu didampingi oleh petugas dari BKSDA Yogyakarta, sehingga tak mungkin terjadi aksi kekejaman seperti yang diceritakan Wasdiono, Sumidi, juga warga Gunungkidul lainnya.
Wahyudi bahkan menegaskan bahwa kabar adanya kekejaman dalam penangkapan monyet di Yogyakarta hanyalah karangan dan berita hoaks semata.
“Saya pastikan tidak ada pemotongan itu, tidak ada. Ada Polhut (Polisi Hutan) kita ikut mendampingi di situ, siapa mau melawan, enggak ada. Jadi sangat tidak mungkin kalau dilakukan itu, mungkin itu di daerah lain,” kata Wahyudi ketika ditemui, Rabu (27/7).
Menurut dia, maraknya berita kekejaman dalam penangkapan monyet di Indonesia dan Yogyakarta disebabkan karena sedang adanya persaingan dalam industri medis global. CV Primaco, menurut dia juga tidak akan gegabah karena akan terlalu banyak yang dikorbankan jika memang kekerasan-kekerasan itu terjadi.
“Karena nama CV Primaco ini kan CV besar. Tidak mungkin dicederai hanya dengan (kekerasan dalam penangkapan), ditutup mas perusahaannya itu. Berapa rugi, miliaran akan rugi hanya dengan bawa orang motong monyet di situ,” tegasnya.
Pemburu membenarkan ada kekerasan
Namun, salah seorang penangkap monyet ekor panjang di Gunungkidul, Sarip, yang berasal dari Baduy Luar, mengatakan yang sebaliknya. Dia menjelaskan bahwa seringkali dia dan rombongannya terpaksa membunuh monyet-monyet saat bertugas di lapangan, terutama monyet-monyet yang menyerang dan melawan. Biasanya adalah monyet-monyet jantan dewasa yang merupakan ketua koloni.
“Dia yang melawan ya terpaksa kita potong, daripada dia merusak (melukai), lebih baik kita yang menyelamatkan diri,” kata Sarip.
Sarip juga memberikan informasi yang mencengangkan. Dia mengatakan, selama penangkapan monyet di Gunungkidul pada 2021 yang lamanya tak sampai sebulan, mereka berhasil menangkap lebih dari 700 monyet. Jumlah itu jauh melampaui kuota penangkapan di Yogyakarta yang dikeluarkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yakni sebesar 300 ekor pada 2021.
“Di Jogja itu kemarin Alhamdulillah 25 hari itu menangkap lebih dari 700 ekor, dari Saptosari terutama di (Desa) Jetis. Kemarin diangkut tiga kali pakai truk ke Cikampek, ya, ke Primaco,” ujarnya.
Apa yang disampaikan oleh Sarip diperkuat dengan sebuah video kekerasan penangkapan monyet yang telah beredar di media sosial awal tahun 2021. Video tersebut diunggah pertama kali oleh akun Instagram milik Action for Primates, sebuah LSM perlindungan terhadap primata yang berbasis di Inggris.
Kekerasan pada monyet terjadi di banyak daerah
Video tersebut menampilkan aksi penangkapan monyet di sebuah daerah dengan menggunakan jaring. Di beberapa bagian video juga terlihat sejumlah tindak kekerasan yang melanggar prinsip-prinsip animal welfare, mulai dari monyet yang diinjak, bayi monyet yang diambil paksa dan dipisahkan dari indukannya, sampai monyet yang dipukul dan dibunuh.
Co-founder Action For Primates, Sarah Kite, mengkonfirmasi bahwa orang-orang yang melakukan penangkapan dan kekerasan terhadap monyet dalam video tersebut adalah orang-orang yang disuruh oleh CV Primaco. Sarah juga mengkonfirmasi bahwa peristiwa penangkapan monyet ekor panjang dengan cara yang brutal itu memang terjadi di Gunungkidul, Yogyakarta.
Dalam sebuah brief yang dia kirimkan, kekerasan terhadap monyet ekor panjang dalam penangkapan tersebut tak hanya terjadi di Gunungkidul, melainkan di sejumlah daerah lain di Indonesia seperti di Wonogiri, Jawa Tengah dan Pacitan, Jawa Timur.
“Lokasi penangkapan selama tahun 2021 meliputi Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta; Pacitan, Jawa Timur; dan Wonogiri, Jawa Tengah,” kata Sarah Kite.
Aturan-aturan yang dilanggar
Pemukulan hingga pembunuhan monyet yang terjadi di Gunungkidul telah menerabas sejumlah aturan yang berlaku.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447 tahun 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkaran dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, pada Pasal 27 ayat (2). Jelas disebutkan bahwa pengambilan atau penangkapan spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelestarian dan tidak menyebabkan kematian atau luka pada spesimen tumbuhan atau satwa liar yang ditangkap.
Hal itu dikuatkan pada ayat (4), yang berbunyi khusus untuk satwa, penangkapan yang dilakukan wajib memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare). Yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan, atau perlakuan lain yang menyebabkan tertekan (stress) pada individu yang ditangkap maupun kelompok atau populasi yang ditinggalkan di habitat aslinya.
Kenyataannya, dalam proses penangkapan monyet di Gunungkidul ditemukan sejumlah kekerasan. Dimana monyet-monyet yang melawan dipukul, dibunuh, bahkan dimakan.
Dalam Buku Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode 2021 juga disebutkan bahwa monyet yang boleh ditangkap dari alam adalah yang sudah berumur minimal 2 tahun. Namun, dalam praktiknya semua yang berhasil ditangkap tetap mereka bawa, termasuk bayi monyet yang usianya masih hitungan bulan.
Proses penangkapan monyet yang dilakukan di Yogya juga diduga melebihi kuota yang ditetapkan oleh BRIN, dimana keterangan salah seorang pemburu mengatakan jumlah monyet yang berhasil ditangkap di Yogya mencapai 700 ekor lebih. Padahal batas maksimum kuota tangkap yang dikeluarkan oleh BRIN seperti tercantum dalam Buku Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode 2021 hanya 300 ekor.
Kisah dari penangkap monyet ekor panjang
Dessum, seorang penangkap monyet dari Baduy Luar yang dipekerjakan CV Primaco sempat alami kecelakaan kerja di Gunungkidul. Dia terjatuh dari sebuah bukit, tapi bayarannya kecil.
Dari 11 orang penangkap monyet yang dipekerjakan oleh CV Primaco Indonesia di Gunungkidul pada pertengahan 2021 silam, Sarip adalah salah satunya. Dia berasal dari daerah Baduy Luar, Banten.
Meski begitu, Yogya bukan tempat asing baginya. Sarip mengaku sudah berkali-kali menangkap monyet-monyet liar di hutan Yogya, terutama di Gunungkidul.
“Lebih dari 20 kali, udah sering sih, nggak bisa saya hitung berapa kali. Sedikit-sedikit hafal lah daerah Jogja,” kata Sarip saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu 14 Agustus 2022.
Dia juga mengatakan sudah puluhan tahun bekerja menangkap monyet untuk Primaco. Tak hanya di Yogya, Sarip telah malang melintang di daerah lain mulai dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, seperti Wonogiri, Kendal, Pacitan, hingga Banyuwangi.
Sarip bukanlah satu-satunya orang dari Baduy Luar yang berprofesi sebagai penangkap monyet. Menurut dia, ada sekitar lima kelompok penangkap monyet dari daerahnya, setiap tim terdiri dari sekitar 10 orang.
“Tapi yang sebagian tugasnya ke Lampung, Sumatra, Palembang, tugasnya ke situ. Kalau saya paling ikut daerah Jogja, Jawa, Pacitan, pernah juga ke Banyuwangi,” ujarnya.
Keahlian turun-temurun
Sarip menangkap monyet tidak lahir begitu saja. Keahlian itu diasah selama bertahun-tahun. Sarip bahkan sudah mulai belajar menangkap monyet sejak usianya masih remaja.
Saat usianya masih belasan awal, dia kerap ikut orang tuanya keliling dari satu daerah ke daerah lain untuk menangkap monyet. Hingga akhirnya kini dia menjadi salah satu penangkap monyet yang ulung.
“Sudah mulai ikut orang tua itu udah lama sih, udah 20 tahunan,” kata Sarip.
Keahlian menangkap monyet menurut dia memang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Itu mengapa dia memiliki keahlian menangkap monyet yang tidak dimiliki oleh orang-orang dari daerah lain.
Setiap akan melakukan penangkapan monyet mereka selalu memulainya dengan ritual: menyiapkan sesajen, membakar kemenyan, dan tentunya merapal mantra. Ritual itu intinya bertujuan untuk meminta izin kepada leluhur para monyet untuk menangkapi anak-cucunya. Orang-orang dari Baduy Luar percaya, monyet-monyet di setiap hutan juga memiliki leluhur yang senantiasa melindungi dan menjaga mereka.
“Kalau tanpa ritual itu memang susah, karena (monyet) ekor panjang itu bisa dibilang hewan yang paling ganas. Dan di situ ada leluhurnya, harus kita minta (izin) sama leluhurnya,” lanjut dia.
Takut karma, alasan pemburu tak habiskan monyet
Selesai dengan semua ritual itu, tugas yang lebih berat dimulai. Sebagian dari para penangkap akan bertugas membentangkan jaring yang panjangnya mencapai puluhan meter, sedangkan sisanya bertugas menggiring monyet-monyet menuju ke jaring. Tak lupa, di sepanjang jaring itu dibuat semacam gua dari tumpukan ranting dan dedaunan. Nantinya, monyet-monyet yang terjebak di jaring akan bersembunyi di bawah tumpukan ranting dan dedaunan itu.
“(Waktu monyet) ekor panjangnya udah pada ngumpet (di bawah dedaunan), baru jaringnya disatuin, baru ditangkepin,” ujarnya.
Dengan cara itu, sesulit apapun medan atau monyet-monyet itu ditangkap, mereka tak pernah pulang dengan tangan kosong. Serugi-ruginya, Sarip dan rombongannya berhasil menangkap 10 sampai 20 ekor monyet dalam sekali penangkapan.
Di Yogyakarta saja, hanya dalam kurun waktu tak sampai sebulan, Sarip dan kelompoknya mengaku berhasil menangkap 700 ekor monyet lebih. Jumlah ini jauh melebihi izin kuota tangkap yang diizinkan di Yogyakarta tahun lalu sebesar 300 ekor.
“Di Jogja itu kemarin Alhamdulillah 25 hari itu menangkap lebih dari 700 ekor, dari Saptosari terutama di (Desa) Jetis. Kemarin diangkut tiga kali pakai truk ke Cikampek, ya, ke Primaco,” kata Sarip.
Sarip dan teman-temannya sebenarnya bisa saja menghabiskan semua monyet di tempat mereka bertugas, termasuk di Gunungkidul. Namun, menurutnya ada pantangan bagi orang Baduy untuk menghabiskan koloni monyet ekor panjang di suatu wilayah. Jika sampai dihabiskan, mereka percaya akan ada bencana yang menimpa mereka, entah apa itu bentuknya.
“Soalnya kan ada memalanya (karma), dikurangin boleh tapi jangan dihabisin. Itu titipan dari leluhurnya gitu,” tegasnya.
Sempat jatuh ke jurang dan terpaksa bunuh monyet
Pekerjaan yang digeluti oleh Sarip adalah pekerjaan yang penuh risiko. Bagaimanapun, monyet ekor panjang adalah satwa liar dengan semua sifat liar mereka.
Seringkali proses penangkapan tak sesuai rencana. Sebab, tak jarang monyet-monyet yang terdesak itu memberikan perlawanan bahkan menyerang balik. Biasanya monyet-monyet yang melawan ini adalah monyet-monyet jantan dewasa, mereka para pemimpin koloni. Jika situasinya seperti itu, maka Sarip dan rombongannya akan memilih untuk memenggal dan membunuh monyet-monyet yang melawan itu.
“Dia yang melawan ya terpaksa kita potong, daripada dia merusak (melukai), lebih baik kita yang menyelamatkan diri,” kata Sarip.
Hal itu juga terjadi saat dia dan rombongannya menangkapi monyet di Gunungkidul. Dia mengaku terpaksa menebas leher monyet-monyet jantan dewasa yang melawan demi menyelamatkan diri. Meski mereka tahu, hal itu tidak diperkenankan oleh perusahaan maupun oleh pemerintah. Namun, seringkali situasi di lapangan lebih sulit dari yang dibayangkan.
Serangan monyet hanya satu dari risiko yang mesti dihadapi Sarip dan teman-temannya. Sebab, seringkali mereka juga ditugaskan di daerah-daerah dengan medan yang sulit dan berbahaya, seperti di Gunungkidul.
Hutan di Gunungkidul menurut Sarip merupakan salah satu medan paling sulit yang pernah dia datangi. Sebab, hutan di Gunungkidul didominasi oleh kawasan perbukitan. Tak hanya berbukit, wilayah hutan di Gunungkidul juga terdiri atas batuan karst yang cukup tajam. Sehingga menambah risiko dalam pekerjaan mereka.
Pernah ketika sedang bertugas di Gunungkidul, Sarip mengalami kecelakaan kerja yang membuatnya harus dibawa ke rumah sakit, meskipun tak harus dirawat inap.
“Saya kan lari mengejar monyetnya itu, lalu tidak tahunya di bawahnya ada jurang, saya jatuh,” ujarnya.
Upah yang kecil menangkap monyet ekor panjang
Untuk pekerjaan dengan risiko sebesar itu, Sarip dan rombongannya biasanya dibayar antara Rp1 juta sampai Rp1,5 juta setiap penangkapan. Jumlah yang sangat pas-pasan, bahkan seringkali kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Tapi ketimbang tak ada pekerjaan dan penghasilan, Sarip tetap menekuni pekerjaan itu.
“Ya mau gimana? Diterima aja,” kata dia.
Beruntung, Sarip dan teman-temannya kerap mendapat bantuan dari masyarakat di tempat mereka ditugaskan. Misalnya, ketika bertugas di Gunungkidul, karena masyarakat merasa terbantu, setiap hari mereka dikirimi makanan dan minuman, bahkan rokok. Bantuan itu sangat membantu mereka untuk menghemat pengeluaran selama bertugas, sehingga uang yang bisa mereka bawa pulang tak berkurang banyak.
Tak banyak informasi tentang harga monyet ekor panjang yang diekspor oleh CV Primaco Indonesia. Tapi informasi dari berbagai sumber, termasuk dari New York Times dan The Ecologist, menyebutkan bahwa harga monyet ekor panjang liar itu mahal. Monyet untuk riset biomedisdi pasar komersial AS mencapai lebih dari 10.000 dolar AS (Rp149.728.000 kurs 1 dolar AS = Rp14.972,80) per ekor.
Harga ini naik sekitar dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Tingginya kebutuhan hewan percobaan terutama monyet ekor panjang untuk pengujian vaksin dan obat. Di saat bersamaan China telah menyetop ekspor monyet ke luar negaranya, yang katanya menjadi penyebab tingginya harga monyet saat ini.
“Kalau harganya saya enggak tahu, saya cuma nangkep habis itu dibawa sama perusahaannya,” kata Sarip.
Masih terjadi penangkapan monyet di alam liar
Saat ini, Sarip masih menunggu panggilan perusahaan untuk melakukan penangkapan lagi. Penangkapan terakhir yang dia ketahui sekitar dua bulan silam di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Namun, karena ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan, Sarip tak bisa ikut teman-temannya melakukan penangkapan.
“Katanya kemarin itu cuma 18 hari, lumayan sih 500 ekor dapat,” kata Sarip.
Informasi yang disampaikan Sarip menjadi tanda tanya. Pasalnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun ini telah melakukan penangguhan kebijakan penangkapan monyet ekor panjang dari alam liar dengan alasan masih menunggu proses survei populasi.
Artinya, tahun ini tidak ada kuota tangkap monyet ekor panjang di seluruh wilayah Indonesia. Namun, berdasarkan informasi dari Sarip, ternyata masih terjadi penangkapan monyet ekor panjang dari alam dengan hasil tangkapan mencapai ratusan ekor.
Reporter: Widi Hermawan
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Suara Hati Petani di Gunungkidul karena Monyet yang Marah Kena JJLS dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.