Tangis Macaca di Yogyakarta (Bagian 2): Konflik dengan Petani Gunungkidul dan Perusahaan yang Terindikasi Ilegal

Ilustrasi Konflik Monyet ekor panjang dengan Petani dan Perusahaan yang Terindikasi Ilegal. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Upaya mengurangi konflik petani dengan monyet ekor panjang di Gunungkidul sebenarnya sudah dilakukan. Antara lain menanam aneka buah-buahan di hutan yang jadi habitat monyet. Namun, oleh sebagian petani justru dirusak untuk ditanami tanaman lain, seperti jagung.

Di sisi lain, perusahaan yang memiliki hak penangkapan monyet di wilayah Jawa, CV Primaco Indonesia diduga ilegal karena perizinannya yang kurang lengkap.

Liputan investigasi ini dibuat dari kontributor Mojok yang mengikuti program “Bela Satwa Project” yang diinisiasi oleh Garda Animalia dan Auriga Nusantara. Proses reportase investigasi ini berlangsung dari pertengahan tahun 2022 hingga Desember 2022.

Tulisan edisi sebelumnya, Monyet Ekor Panjang Ditangkap Paksa dari Hutan untuk Ekspor

***

Sorakan dan tepuk tangan bergemuruh setiap ada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang terperangkap di jaring yang telah dipasang oleh orang-orang suruhan CV Primaco Indonesia. Mereka menyambut gembira setiap ada monyet yang terjaring dan berhasil ditangkap di kawasan Alas Klampok, Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul, pada September tahun lalu.

Warga dukung penangkapan monyet ekor panjang

Bagi warga Saptosari dan sekitarnya, kehadiran para penangkap monyet itu ibarat malaikat penyelamat. Hampir dua dekade lamanya, mereka bergelut dengan kawanan monyet. Monyet ekor panjang sudah dianggap sebagai hama utama bagi para petani. Tak hanya di Saptosari, tapi juga di sebagian besar wilayah Gunungkidul.

“Sebenarnya dari petani itu yang dibutuhkan cuma gimana caranya menghilangkan kera ekor panjang. Kalau tidak dihilangkan ya sebisa mungkin dikurangi,” kata salah seorang petani yang juga tokoh masyarakat di Desa Jetis, Sumidi, menggunakan bahasa Jawa, ketika ditemui pertengahan tahun 2022.

Setiap tahun, terutama menjelang musim panen, petani di Gunungkidul mesti seharian menjaga ladangnya, dari pukul lima subuh sampai maghrib. Sehari saja tak dijaga, tanaman yang mereka tanam di ladang bisa ludes dimakan kawanan monyet ekor panjang.

“Apapun (dimakan), jagung, singkong, kacang tanah, kolonjono, bahkan kalau musim kemarau kelapa juga dimakan, tapi paling suka jagung. Yang nggak dimakan cuma cabai,” ujarnya.

Bupati Gunungkidul bersama Dudung pemimpin penangkap monyet di Gunungkidul saat diwawancarai wartawan_Sumber Dhaksinarga TV. MOJOK.CO
Bupati Gunungkidul bersama Dudung pemimpin penangkap monyet di Gunungkidul saat diwawancarai wartawan Dhaksinarga TV. (TV Pemda Gunungkidul)

Karena itu, ketika orang-orang suruhan CV Primaco datang untuk menangkap monyet-monyet di sekitar ladang petani, warga menyambut gembira. Mereka bahkan rela iuran untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum 11 pemburu itu selama kurang lebih dua pekan. Ada yang iuran Rp 20 ribu, Rp 30 ribu, bahkan Rp 50 ribu, asalkan monyet-monyet itu bisa ditangkap.

“Itu kesepakatan warga, karena petani senang banget mereka datang,” ujarnya.

Sebenarnya, monyet-monyet di Gunungkidul sudah diberikan tempat khusus di kawasan Suaka Margasatwa Paliyan. Namun, ternyata sumber makanan di dalam kawasan Suaka Margasatwa tersebut terbatas, sehingga tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Terlebih di saat musim kemarau.

“Akhirnya pasti keluarnya ke ladang warga,” kata Sumidi.

Frustrasi para petani Gunungkidul

Salah seorang petani di Desa Jetis, Saptosari, Wasdiono, juga menyampaikan kegembiraan serupa. Pasalnya, selama ini para petani sudah merasa frustrasi dengan keberadaan monyet di sekitar ladang mereka. Banyak yang sudah menunggu berbulan-bulan untuk panen. Menjaga dari pagi sampai petang, tapi karena lengah sehari saja mereka gagal panen lantaran habis dimakan monyet ekor panjang.

Setelah monyet-monyet itu ditangkapi oleh orang-orang suruhan Primaco, para petani menurutnya bisa sedikit bernapas lega. Pasalnya, jumlah monyet yang kerap menyerang ladang petani jauh berkurang.

“Kalau mereka di sini sebulan atau dua bulan, sebenarnya bisa habis itu monyet, kalau boleh dihabiskan. Tapi kan tidak boleh, tetap dibatasi sama aturan,” kata Wasdiono.

Namun, kini populasi monyet di lokasi tersebut menurut dia sudah mulai bertambah lagi. Petani mesti memperketat penjagaan mereka di ladangnya masing-masing. Berangkat subuh, pulang maghrib, mesti mereka lakoni demi bisa mendapatkan hasil dari tanaman-tanaman yang sudah mereka tanam.

Tak hanya itu, setelah ditangkap, Wasdiono mengatakan bahwa monyet-monyet di Alas Klampok saat ini lebih ganas dan berani dengan manusia. Meski sudah diusir, alih-alih minggat mereka malah balik menyerang orang yang mengusirnya.

Sebenarnya beberapa tahun lalu sejumlah upaya sudah dilakukan untuk mengatasi serangan monyet ekor panjang di ladang petani. Mulai dari memasang jaring mengelilingi ladang pertanian, sampai menanami pohon buah-buahan di sebuah bukit. Harapannya, tanaman-tanaman buah itu bisa menjadi sumber makanan monyet sehingga tidak lagi memangsa tanaman petani.

“Tapi namanya di hutan milik negara, akhirnya dirusak sama petani, dirusak sendiri sama penggarap. Buah-buahnya dipetikin, pohon-pohonnya ditebangi, soalnya mau ditanami jagung, singkong. Akhirnya ya (monyetnya) tidak masuk ke situ karena tidak nyaman, keluar lagi ke ladang petani,” kata Wasdiono.

Konflik terjadi di separuh Gunungkidul

Konflik antara monyet ekor panjang dengan warga di Gunungkidul hampir menyeluruh. Laporan Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul mencatat, dari 18 Kecamatan atau Kapanewon di Gunungkidul, konflik terjadi di sembilan kecamatan. Lokasi itu di antaranya Kapanewon Saptosari, Paliyan, Semin, Rongkop, Tepus, Tanjungsari, Panggang, Purwosari, hingga Girisubo.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta, Muhammad Wahyudi, mengatakan bahwa konflik antara monyet dan masyarakat di Yogyakarta, terutama di Gunungkidul memang semakin sering terjadi. Namun, menurutnya itu bukan hanya terjadi di wilayah Yogyakarta saja, namun merata hampir di semua wilayah Indonesia bahkan di dunia.

Di Yogyakarta, konflik antara monyet dan masyarakat juga tidak hanya terjadi di Gunungkidul. Melainkan hampir di seluruh kabupaten lain, mulai dari Bantul, Sleman, hingga Kulon Progo.

“Jadi cukup merata untuk di Yogyakarta,” kata Muhammad Wahyudi saat ditemui pada 27 Juli 2022 silam.

Menyusutnya habitat monyet

Di Yogya, penyebab utama semakin meluasnya konflik antara monyet dan manusia menurut Wahyudi tidak lain karena permasalahan habitat. Kawasan-kawasan yang sebelumnya menjadi habitat monyet semakin menyusut karena aktivitas manusia mulai dari perkebunan, pertanian, perumahan. Serta di Gunungkidul yang paling marak adalah aktivitas pariwisata.

Penangkapan monyet oleh orang suruhan CV Primaco di Gunungkidul. (Sumber Action For Primates)

Tak cuma menyusut, secara kualitas habitat monyet juga terus mengalami penurunan daya dukung. Sumber makanan di habitatnya yang semakin sempit itu tak cukup lagi memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya mereka harus masuk ke ladang warga untuk mencari makan, yang sebenarnya awalnya merupakan habitat mereka.

Masalah itu diperparah dengan jumlah predator monyet seperti ular dan elang yang juga semakin berkurang karena terus diburu oleh manusia. Hal ini mengakibatkan populasi monyet semakin sulit dikendalikan, apalagi kemampuannya kawin bisa mencapai 27 kali dalam sehari.

“Dan kelemahan kita juga manusia, begitu lihat monyet terus kita kasih makan, itu perilaku yang tidak tepat secara ekologi. Karena akan membuat ketergantungan monyet, dan secara inteligensi akan berpikir bahwa manusia mempunyai sumber makanan untuk dia,” ujarnya.

Manusia yang enggan berbagi?

Peneliti dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang tahun ini terlibat survei populasi monyet ekor panjang di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sandy Nurvianto, mengatakan bahwa permasalahan menahun yang terjadi di Gunungkidul tidak bisa semata-mata menjadikan monyet sebagai pihak yang jahat. Memang, monyet kerap memakan tanaman petani, tapi penyebab mereka masuk ke ladang-ladang petani juga mesti menjadi perhatian.

Konflik demi konflik antara monyet dengan petani di Gunungkidul menurut dia disebabkan karena manusia yang tidak mau berbagi dengan monyet ekor panjang, yang notabene sebenarnya sudah ada di lokasi itu sebelum manusia menggunakannya sebagai ladang pertanian.

Maka, upaya terbaik dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah ini tidak lain adalah memperbaiki daya dukung habitat monyet itu sendiri.

“Kita memang harus adil, satu-satunya jalan itu memperbaiki kondisi habitat,” kata Sandy.

Saat kapasitas makanan di habitatnya cukup, maka pergerakan monyet tidak akan terlalu luas. Mereka tidak perlu keluar dari dalam habitatnya untuk mencari makanan ke ladang-ladang milik warga. Saat daya dukung habitatnya bagus, populasi mereka juga akan lebih stabil.

“Karena biasanya daripada energinya dipakai untuk reproduksi, biasanya untuk fitnesnya, untuk kebugaran mereka,” ujarnya.

Solusi dengan perbaikan habitat monyet

Salah satu upaya yang paling mungkin untuk perbaikan habitat memang dengan menanami habitat mereka dengan tanaman-tanaman sumber makanan, seperti buah-buahan. Untuk wilayah Gunungkidul, ada beberapa tanaman yang sebenarnya dicocok, seperti jambu monyet, kersen atau talok, jambu biji, dan sebagainya.

“Kalau tujuannya untuk monyet sih kalau bisa yang tidak disukai masyarakat. Soalnya kalau buahnya yang disenangi masyarakat nanti jadi rebutan sama manusia,” kata Sandy Nurvianto.

Tapi, perbaikan habitat juga tidak akan berhasil jika akhirnya masyarakat tak mau berbagi dengan monyet, juga satwa lain di sekitarnya. Seperti yang sudah-sudah, ketika habitat monyet sudah mulai diperbaiki dengan berbagai tanaman buah, justru dirusak lagi oleh masyarakat. Baik untuk diambil buahnya maupun untuk perluasan ladang pertanian.

Bahkan, ketika semua monyet diberangus habis, menurut Sandy masalah juga tidak akan selesai begitu saja. Bagaimanapun, monyet memiliki peran yang penting di dalam habitat sebagai penyebar biji-bijian dengan jangkauan yang cukup luas.

“Kalaupun monyet-monyet itu dibunuh semua, belum tentu masalah akan selesai. Bahkan, sangat mungkin akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar mengingat perannya di dalam ekosistem yang sangat vital,” tegasnya. 

Alas Klampok di Gunungkidul yang jadi habitat monyet ekor panjang. (Widi Hermawan/Mojok.co)

Belum ada survei populasi monyet

Sampai saat ini, belum ada hasil survei populasi yang menunjukkan jumlah populasi monyet ekor panjang di seluruh Indonesia, termasuk di Yogya. Survei populasi merupakan dasar dan syarat utama dalam penentuan kuota tangkap.

Meski begitu, pada 2021 Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengeluarkan kuota tangkap dan ekspor 1.070 ekor monyet panjang yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebagai salah satu provinsi yang mendapat kuota, memiliki kuota 300 ekor monyet.

Kepala BKSDA Yogyakarta, Muhammad Wahyudi, mengatakan bahwa BKSDA sebenarnya sempat melakukan survei populasi monyet ekor panjang pada 2019 di wilayah Gunungkidul dan Kulon Progo. Di Gunungkidul, BKSDA mendapatkan estimasi populasi monyet ekor panjang sebanyak 25 kelompok dengan jumlah populasi antara 830 sampai 1.800 individu, sedangkan di Kulon Progo mereka mendapatkan estimasi populasi sebanyak 13 kelompok dengan perkiraan populasi sekitar 800 sampai 1.000 individu.

Survei populasi itu menggunakan metode wawancara dengan masyarakat dan petani di sekitar lokasi. Dalam dokumen yang diperoleh dari BKSDA Yogyakarta juga disebutkan bahwa tim survei tak bertemu langsung dengan monyet-monyet tersebut selama proses survei populasi.

“Selama pengecekan lokasi konflik tidak secara langsung menghitung jumlah kelompok/individu. Monyet juga tidak ditemukan saat dilakukan wawancara dengan petani di lahan pertanian,” tulis keterangan dalam dokumen yang tim investigasi peroleh dari BKSDA Yogyakarta.

Hasil survei tak bisa jadi dasar penangkapan monyet

Muhammad Wahyudi menegaskan bahwa hasil survei itulah yang menjadi dasar BKSDA Yogyakarta mengajukan kuota tangkap monyet ekor panjang ke BRIN sebanyak 1.250 ekor pada 2020, meski yang disetujui oleh BRIN hanya 300 ekor.

“Itu kita sudah survei 2019 dan kita menemukan data di situ kurang lebih 1.800 (di Gunungkidul), di situ kita menghitung, bisa kita ambil 1.250, tapi yang keluar hanya 300 ekor,” kata Muhammad Wahyudi pada 27 Juli 2022 silam.

Pada 2021 BKSDA Yogya sempat mengajukan lagi kuota tangkap ke BRIN sebanyak 1.500 ekor, namun usulan itu tidak disetujui. Tahun lalu, BKSDA masih mengajukan kuota tangkap sebanyak 1.000 ekor, lagi-lagi usulan itu tak disetujui. Alasannya, sampai saat ini belum ada survei populasi yang bisa digunakan sebagai dasar penentuan kuota tangkap tersebut.

Pakar satwa liar dari Fakultas Biologi UGM yang juga aktif melakukan penelitian monyet ekor panjang, Rury Eprilurahman, mengatakan bahwa survei yang dilakukan oleh BKSDA Yogyakarta tak layak untuk dijadikan dasar penentuan kuota tangkap. Apalagi survei tersebut hanya menggunakan metode wawancara yang potensi biasnya sangat besar.

“Setahu saya tidak bisa (dijadikan dasar penentuan kuota tangkap). Penentuan kuota harus ada studi perjumpaan langsung Macaca-nya,” kata Rury Eprilurahman.

Wawancara kurang valid untuk tentukan populasi monyet

Hasil dari studi dengan metode perjumpaan langsung menurut dia jauh lebih valid ketimbang data sekunder melalui metode wawancara. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan latar belakang narasumber membuat risiko terjadinya double counting atau perhitungan ganda sangat tinggi. Pasalnya, data hasil wawancara biasanya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan survei melalui perjumpaan langsung.

“Nilai kepercayaannya lebih tinggi dengan metode standar yang terukur, bukan hanya info wawancara. Wawancara bisa jadi data awal tapi perlu dipastikan dengan perjumpaan di lapangan,” tegasnya.

Rury juga menegaskan, sampai saat ini belum ada data populasi monyet ekor panjang yang valid di Yogyakarta. Dalam waktu dekat ini, dia dan peneliti lain dari UGM baru akan mulai melakukan survei populasi monyet di Yogyakarta.

Jalan menuju hutan habitat monyet ekor panjang di Gunungkidul. (Widi Hermawan/Mojok.co)

Peneliti dari Fakultas Kehutanan UGM yang terlibat dalam rencana survei populasi monyet di Yogyakarta, Sandy Nurvianto, mengatakan hal serupa. Selain menegaskan bahwa survei dengan metode wawancara tak layak dijadikan dasar penentuan kuota tangkap, dia juga mengatakan bahwa konflik-konflik yang terjadi antara monyet dengan masyarakat bukan indikator telah terjadi over populasi.

“Belum tentu over populasi (meskipun banyak konflik),” kata Sandy Nurvianto.

Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah monyet ekor panjang sudah mengalami over populasi atau belum adalah melalui survei dengan metode yang saintifik dan dapat dipertanggung jawabkan, yakni harus dihitung langsung. Adapun metode yang biasa digunakan untuk mengetahui populasi satwa liar seperti monyet adalah sensus, transect, dan concentration count.

“Kalau belum ada (survei populasi yang valid dan saintifik) mungkin (BKSDA) punya penerawangan,” ujarnya.

Belum ada survei, izin tangkap ditangguhkan

Pada 2022, BRIN menangguhkan izin penangkapan monyet ekor panjang dari alam liar. Protes keras dari berbagai pihak, terutama para kelompok pecinta satwa menjadi salah satu alasan mengapa BRIN tak lagi mengeluarkan rekomendasi kuota tangkap monyet ekor panjang pada 2022. Penangguhan itu kembali dilakukan BRIN pada tahun 2023 ini.

Kepala Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH) BRIN, Amir Hamidy, bahkan mengungkapkan dirinya sempat mendapat surat dari 182 LSM pecinta satwa saat wacana pemanfaatan monyet mencuat ke publik. Meskipun pada akhirnya BRIN tetap mengeluarkan kuota tangkap sebanyak 2.070 ekor pada 2021 yang tersebar dari wilayah DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, hingga Sumatra Selatan.

Khusus untuk Pulau Jawa, BRIN mengizinkan penangkapan sebanyak 1.200 ekor monyet yang semuanya diberikan kepada CV Primaco Indonesia.

Amir mengakui, saat BRIN mengeluarkan kuota tangkap pada 2021 memang belum ada data hasil survei populasi monyet. Namun, dia mengatakan bahwa survei populasi bukanlah harga mati dalam penentuan kuota tangkap.

BRIN menurutnya telah memiliki dokumen Non-Detriment Findings (NDF), yakni kajian dari otoritas keilmuan (scientific authority) dalam hal ini BRIN, bahwa aktivitas ekspor dan penangkapan monyet ekor panjang dari alam liar tidak membahayakan populasi di alam.

“Data survei populasi bukan menjadi dasar utama dalam penentuan kebijakan, dalam NDF suatu dokumen yang menyatakan level pemanfaatan suatu spesies itu pada level sustain atau tidak menyebabkan kerusakan populasi di alam,” kata Amir Hamidy.

Namun, saat diminta dokumen NDF yang dimaksud, Amir enggan memberikan dengan alasan masih berbentuk draf. Adapun dasar penyusunan draf NDF ini menurutnya adalah laporan konflik dari masyarakat dan hasil penelitian akademis yang sudah dilakukan sebelumnya secara individu.

“Jadi bukan berarti data populasi itu enggak tersedia sama sekali. Yang lulus skripsi Macaca kan banyak, cek di perpustakaan kehutanan dan biologi, dan itu kita cari semua datanya dan itu sudah ada,” lanjutnya.

Tak ada dokumen akademis 

Tim investigasi telah melakukan penelusuran studi-studi yang telah dilakukan terkait monyet ekor panjang di wilayah DIY, tetapi tak banyak dokumen akademis yang meneliti tentang survei populasi monyet ekor panjang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Semua penelitian yang dilakukan juga hanya melakukan estimasi populasi monyet ekor panjang di salah satu titik habitat saja, tidak menyeluruh di wilayah DIY.

Misalnya penelitian skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa Kedokteran Hewan UGM, Arief Nurdiansyah, yang meneliti populasi monyet ekor panjang di Tlogo Muncar, kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) pada 2018. Pada 2021, mahasiswa Kedokteran UGM, Nurul Aulia Dewi kembali meneliti populasi monyet di Tlogo Muncar di dalam skripsinya. 

Selain di Tlogo Muncar, pada 2019 mahasiswa Kehutanan UGM, Darmawati Ridho, juga melakukan penelitian estimasi populasi monyet ekor panjang di kawasan Suaka Margasatwa Paliyan, Gunungkidul. Selain itu, tak ditemukan dokumen akademis lain yang meneliti survei populasi monyet ekor panjang di wilayah DIY dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Kendati demikian, Amir menegaskan bahwa semua indikator yang dia miliki sudah memenuhi semua syarat pemanfaatan monyet ekor panjang. Apalagi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, monyet ekor panjang di Indonesia menurutnya tak pernah dimanfaatkan sehingga kemungkinan populasinya sudah aman untuk dimanfaatkan.

Aksi mendesak monyet sebagai satwa dilindungi. (Sumber Garda Animalia)

BRIN mulai survei di Jateng dan Sumatra

Tahun 2022, BRIN baru mulai melakukan survei populasi monyet di sejumlah daerah di Indonesia. Di periode pertama, ada tiga daerah yang dilakukan survei, di antaranya Jawa Tengah, Pulau Deli di Banten, serta Sumatra Selatan. Sembari menunggu hasil survei itu, sampai kini BRIN tak mengeluarkan rekomendasi kuota tangkap untuk monyet ekor panjang.

“NDF akan lebih kuat kalau ada data populasi riil yang sekarang kita laksanakan, sekarang sebenarnya malah masih perbaikan dari draf-draf NDF yang kita buat tahun 2019,” kata dia.

Amir juga menyinggung kekerasan yang terjadi dalam proses penangkapan monyet di alam serta penangkapan di bawah usia tangkap, dimana banyak bayi-bayi monyet berusia di bawah dua tahun yang turut diangkut.

Dia mengatakan, pelanggaran-pelanggaran tersebut akan menjadi bahan evaluasi BRIN dalam mengeluarkan rekomendasi kuota tangkap berikutnya. Sebab, jika ingin melakukan pemanfaatan monyet ekor panjang, maka prinsip kesejahteraan satwa atau animal welfare adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi.

“Ya sudah tinggal dievaluasi lagi, ke depannya menggunakan metode yang lebih animal welfare sesuai dengan WHO,” ujarnya.

Kuota tangkap tak bisa dikeluarkan tanpa survei populasi

Pakar Hukum Lingkungan yang pernah menjabat sebagai Ahli Perancang Peraturan Perundang-undangan Utama di KLHK, Budi Riyanto, menegaskan bahwa survei populasi adalah proses yang tidak bisa ditawar-tawar dalam penentuan kuota tangkap monyet ekor panjang.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 juncto 447 tahun 2003 tentang tata usaha pengambilan atau penangkapan dan peredaran tumbuhan dan satwa liar, pada pasal 8 secara tegas disebutkan bahwa rekomendasi kuota tangkap harus didasarkan pada data dan informasi ilmiah hasil inventarisasi monitoring populasi.

“Tidak bisa, kerja ilmiah harus survei dulu tetap. Perintah kuota dan sebagainya harus didahului data dan hasil inventarisasi yang jadi tugasnya balai KSDA dan LIPI (BRIN), diminta atau tidak setiap bulan dan tahun harus ada data,” kata Budi Riyanto.

Budi juga mengatakan bahwa langkah penundaan kuota tangkap oleh BRIN dalam dua tahun terakhir ini semakin menunjukkan bahwa memang ada pelanggaran dan indisipliner dalam prosedur penentuan kuota tangkap sebelumnya.

“Kalau LIPI (BRIN) menunda karena belum ada data, berarti memang banyak yang indisipliner. Karena monitoring dan evaluasi harus dilakukan setiap saat, berarti ada missing link di dalam hal pengawasan, monitoring,” tegasnya.

Survei populasi yang valid makin vital terutama setelah monyet ekor panjang mengalami kenaikan status dari rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered) berdasarkan asesmen yang dilakukan Lembaga Konservasi Internasional (IUCN) pada Maret 2022 silam.

Kenaikan status konservasi ini dilakukan setelah monyet ekor panjang mengalami penurunan populasi hampir 40 persen dalam tiga generasi terakhir atau sekitar 42 tahun. Tak hanya itu, tingkat penurunan populasi ini diperkirakan akan terus meningkat sebesar 50 persen dalam 40 tahun berikutnya.

“Tanpa survei populasi yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan, risiko terjadinya penghitungan ganda sangat besar dan ini jadi ancaman serius bagi populasi monyet ekor panjang,” kata Budi Riyanto.

Datang ke CV Primaco Indonesia

Untuk melakukan konfirmasi temuan di lapangan dan informasi dari sejumlah narasumber tentang dugaan kekerasan terhadap monyet ekor panjang di Yogya, tim investigasi mendatangi langsung CV Primaco Indonesia yang beralamat di RT 10/RW 01, Desa Cinangka, Kecamatan Bungursari, Purwakarta, Jawa Barat. Lokasinya berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Cikampek atau yang lebih dikenal dengan Hutan Penelitian Cikampek pada 25 Agustus 2022.

Lokasi perusahaan cukup sulit untuk ditemukan, selain tidak tercantum di Google Maps, ternyata nama perusahaan ini tak familiar di telinga masyarakat sekitar.

“Saya malah baru tahu ada penangkaran monyet di sini, padahal saya nariknya ya di sekitar sini, kalau monyet masuk ke perkampungan warga memang sering denger,” kata seorang sopir taksi online yang mengantar kami ke lokasi.

Kantor CV Primaco Indonesia. (Widi Hermawan/Mojok.co)

Setelah mendapat informasi dari sejumlah warga sekitar, akhirnya kami bisa menemukan lokasi penangkaran monyet milik CV Primaco Indonesia. Lokasinya cukup tersembunyi. Kami harus masuk ke sebuah gang kecil cukup jauh dari jalan raya, tepat di ujung gang kecil tersebut penangkaran tersebut berada.

Kami tiba di lokasi penangkaran sekitar pukul 11.00 WIB. Penangkaran tersebut terdiri atas sebuah kantor berukuran sedang dan beberapa bangunan memanjang yang menurut keterangan dari salah seorang penjaga merupakan kandang monyet. Dari dalam bangunan tersebut juga terdengar suara yang cukup bising dan ramai yang identik dengan suara monyet, berbarengan dengan bunyi benda logam yang dibentur-benturkan.

Tak terlihat aktivitas di dalam kantor, pintu tertutup, dari luar terlihat nama CV Primaco Indonesia di dinding dan sejumlah foto. Kami berkali-kali mengetuk pintu, namun hasilnya nihil, hingga kami bertemu dengan salah seorang pekerja yang mengaku sebagai tukang bersih-bersih.

Namun, saat dimintai keterangan, pegawai tersebut lebih banyak memilih bungkam dan menjawab “tidak tahu”.

“Kalau masalah itu (monyet) saya tidak tahu apa-apa. Saya cuma karyawan biasa, langsung tanya sama orang kantor aja,” kata petugas tersebut.

Tahun 2022 ada sekitar 2.000 monyet di penangkaran

Petugas tersebut juga tidak bisa memberikan kepastian kapan pengelola CV Primaco Indonesia datang ke penangkaran. Dia hanya meminta kami untuk datang lagi pada sore hari sekitar pukul 15.00 WIB. 

Sebelum kami meninggalkan penangkaran, petugas tersebut sempat memberikan kontak salah seorang atasan dengan nama Rizal. Petugas tersebut tak memberikan informasi pasti apa jabatannya. Dia hanya mengatakan bahwa Rizal adalah “Orang kantor, yang biasa ngurusin sini,” kata dia.

Kami mencoba menghubungi nomor pimpinan perusahaan yang diberikan salah seorang pegawai tersebut melalui pesan singkat WhatsApp. Namun, hingga sore hari, yang bersangkutan tidak memberikan respons.

Sekitar pukul 15.00 WIB, kami kembali datang ke kantor CV Primaco Indonesia, sesuai dengan saran salah seorang petugas. Namun, lagi-lagi kami tak bisa menemui pimpinan perusahaan. Kami hanya bertemu dengan pekerja lain yang mengaku sebagai orang yang mengurus monyet di dalam penangkaran.

Karyawan tersebut mengaku sudah sekitar dua tahun bekerja di CV Primaco. Dia mengkonfirmasi bahwa tempat tersebut memang dijadikan sebagai penangkaran monyet-monyet yang ditangkap dari alam liar. Ada sekitar 2.000 monyet yang ditampung di penangkaran itu.

Sepanjang tahun 2022, dia mengatakan sempat ada beberapa kali monyet yang masuk ke penangkaran tersebut.

“Ada (monyet yang masuk) tahun ini. Terakhir udah lama, sekitar sebulan lalu (Juli 2022),” kata dia.

Penangkaran monyet milik CV Primaco Indonesia di Purwakarta Jawa Barat. (Widi Hermawan/Mojok.co)

Namun, karyawan tersebut enggan memberikan informasi lebih banyak, terutama terkait akan dikemanakan monyet-monyet yang ditangkarkan di Primaco.

“Enggak tahu, langsung ke bos-nya saja kalau itu,” ujarnya.

Pimpinan CV Primaco sulit dihubungi

Sekitar pukul 17.00 WIB, Rizal, yang disebut sebagai pengelola CV Primaco di bidang manajerial baru merespons pesan kami. Namun, dia mengatakan bahwa dirinya sedang di luar kota sampai satu pekan ke depan. Dia juga mengirimkan nomor baru, sebab dia mengatakan jika nomor yang kami hubungi adalah nomor saudaranya.

Melalui aplikasi Get Contact, kami mengecek kontak yang dia sebut sebagai nomor saudaranya, namun nama yang tertera di aplikasi tersebut adalah nama Rizal. Sementara Get Contact tak mendeteksi satu nama pun yang tertera untuk nomor baru yang dia kirimkan.

Kami juga sudah menghubungi nomor baru yang diberikan oleh Rizal, namun nomor tersebut sampai hari ini tidak menanggapi pesan kami. Kami kembali menghubungi nomor lama Rizal keesokan harinya pada 26 Agustus 2022, namun ternyata kontak kami sudah diblokir oleh yang bersangkutan.

Pada 26 Agustus pagi, kami kembali mendatangi kantor CV Primaco. Lagi-lagi, kami tak bisa menemui pimpinan perusahaan. Kami hanya bisa bertemu seorang karyawan lain yang mengaku sebagai tukang bersih-bersih. Dia juga tak bisa memberikan banyak informasi kepada kami tentang CV Primaco Indonesia.

“Soalnya saya juga baru di sini,” kata karyawan tersebut.

Sebelum artikel ini diterbitkan, kami telah mencoba menghubungi kedua nomor Rizal menggunakan nomor lain untuk meminta konfirmasi. Namun, yang bersangkutan tidak merespons pesan kami. Beberapa kali kami juga menghubunginya via telepon suara, namun Rizal tak menerima panggilan kami.

Tak terdaftar di AHU 

Pada 27 September 2022, kami mendapat balasan surat dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham dengan nomor AHU.2.UM.01.01-3613. Surat tersebut merupakan balasan atas permohonan data perusahaan CV Primaco Indonesia yang sudah kami kirimkan sejak 16 Juli 2022.

Surat tersebut memberitahukan bahwa CV Primaco Indonesia sampai saat ini tidak terdaftar di dalam Sistem Administrasi Badan Usaha (SABU) Dirjen AHU Kemenkumham.

“Dengan ini kami sampaikan CV Primaco Indonesia sampai saat ini tidak terdaftar berdasarkan Sistem Administrasi Badan Usaha Direktorat Jenderal Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” tulis surat tersebut.

Tidak terdaftarnya CV Primaco Indonesia di AHU menjadi pertanyaan. Mengingat perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan penangkaran dan pengekspor monyet terbesar di Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 2000. Tak hanya mendapatkan izin penangkapan di alam liar, CV Primaco juga diketahui telah mengekspor monyet ke luar negeri beberapa kali.

Mengutip laporan Action for Primates, ekspor terakhir oleh CV Primaco Indonesia dilakukan pada September 2022. Pengangkutan monyet itu dilakukan oleh Maleth Aero, sebuah maskapai penerbangan yang berbasis di Malta. 

Masih lakukan ekspor pada September 2022

Sebanyak 240 ekor monyet ekor panjang dari Indonesia diangkut ke Amerika Serikat dengan penerbangan nomor DB3004 melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 24 September 2022 sekitar pukul 11.19.  Mendarat di Houston, Texas, pada 25 September 2022 sekitar pukul 05.30 waktu setempat.

Perjalanan yang memakan waktu sekitar 30 jam itu sempat melakukan pemberhentian selama beberapa jam di Tbilisi, Georgia. Menurut sumber bandara yang dilaporkan kepada Action for Primates, perusahaan pengekspor monyet ekor panjang tersebut adalah CV Primaco Indonesia.

Kantor CV Primaco Indonesia. (Widi Hermawan/Mojok.co)

Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Sanggara Yudha, mengatakan bahwa tidak terdaftarnya CV Primaco Indonesia di Kemenkumham karena jenis badan usaha Primaco Indonesia adalah CV, bukan PT. Karena bentuknya CV, maka menurut dia izin pendirian badan usahanya tidak perlu melalui Kemenkumham. Melainkan cukup melalui pengadilan negeri setempat, dalam hal ini Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa Barat.

“Kalau saya lihat, Primaco ini kan bentuknya CV, CV itu cukup didaftarkan di pengadilan negeri setempat,” kata Sanggara Yudha saat diwawancarai melalui Zoom, Selasa 11 November 2022.

Namun, Dosen Hukum Perdata dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang memiliki kepakaran di bidang hukum korporasi dan asosiasi, Susilo Andi Darma, mengatakan bahwa setiap badan usaha, termasuk yang berbentuk CV harus terdaftar di Kemenkumham.

“CV harus terdaftar di Kemenkumham dan harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB),” kata Susilo Andi Darma saat dihubungi, Senin (5/12 2022).

Wajib kantongi izin dari Kemenkumham

Sebelumnya, sebuah CV memang tak harus mendaftarkan diri ke Kemenkumham, tapi cukup mendaftarkan usahanya di pengadilan negeri tempatnya berada. Namun, setelah diterbitkannya Permenkumham Nomor 17 tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata, disebutkan bahwa badan usaha berbentuk CV juga harus mendaftarkan diri ke Kemenkumham.

Syarat itu berlaku untuk semua perusahaan berbentuk CV, termasuk yang sudah berdiri sebelum adanya aturan tersebut. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1), disebutkan bahwa CV, Firma, dan Persekutuan Perdata yang telah terdaftar di pengadilan negeri wajib melakukan pencatatan pendaftaran perusahaan ke Kemenkumham paling lama satu tahun setelah peraturan tersebut disahkan, yakni sejak tahun 2018.

“Jadi kalau pun sebelumnya terdaftar di pengadilan negeri, dia tetap wajib mendaftarkan diri ke Kemenkumham,” kata dia.

Hal sama juga disampaikan oleh Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ahli Perancang Peraturan Perundang-undangan Utama di KLHK, Budi Riyanto. Dia bahkan mengatakan bahwa tidak terdaftarnya CV Primaco Indonesia di sistem SABU Kemenkumham mengindikasikan bahwa aktivitas perusahaan tersebut selama ini ilegal.

“Kalau badan hukum harus terdaftar dong di Kemenkumham. Nanti semua identitas dan kewajiban dia kan terdaftar di situ, kalau enggak (terdaftar) kan berarti ilegal,” tegas Budi Riyanto.

Dia menegaskan bahwa dengan tidak terdaftarnya CV Primaco Indonesia di Kemenkumham, maka menunjukkan bahwa selama ini aktivitas perusahaan tersebut ilegal. Budi juga mempertanyakan mengapa perusahaan sekelas Primaco Indonesia dengan kewenangan yang sangat besar, (bukan hanya dapat izin menangkap monyet dari alam liar tapi memiliki izin melakukan ekspor ke luar negeri) bisa tidak terdaftar di Kemenkumham.

“Artinya kalau tidak terdaftar di Kemenkumham semua aktivitasnya ilegal. Orang atau badan usaha yang tidak punya hak dan kewajiban masa melakukan kegiatan. Apalagi sampai mendapatkan izin penangkapan dan ekspor satwa liar,” tegasnya.

Reporter: Hermawan R
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Tangis Macaca di Yogyakarta (Bagian 1): Ditangkap Paksa dari Hutan untuk Ekspor dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.

Exit mobile version