Main ke Markas Hizbullah, Jangan Baper Disebut Kafir

Bertamu seru HIZBULLAH mojok

Minggu lalu, bersama 16 peserta School of Peace dari sepuluh negara Asia, saya berkesempatan main ke Laskar Hisbullah Divisi Sunan Bonang di Solo. Saya sempat bertanya-tanya, benarkah Hizbullah yang akan kami kunjungi adalah laskar yang itu.

Bukan apa-apa, setiap mengikuti dialog atau kunjungan lintas agama, biasanya komunitas yang dipilih adalah perwakilan kelompok moderat. Sementara Hizbullah dikenal sebagai salah satu komunitas muslim yang nggak santai di Solo. Apalagi kami datang bersama Pendeta Paulus Hartono, pimpinan Mennonite Diakonia Service Solo yang juga dikenal bukan jemaat yang santai. Wow. Sungguh mati aku jadi penasaran ….

Mabes Hizbullah Mojok

Sesampainya di Tegalsari, Laweyan, serombongan anggota laskar mempersilakan kami masuk ke aula. Sekilas mereka tampak seperti tentara, mengenakan setelan baju dan celana hijau serta baret hitam dengan simbol bintang yang ada bulannya. Menurut komandan, penampilan mereka seperti itu sebab mereka keluarga pejuang.

Dalam sejarah Indonesia, Laskar Hizbullah dikenal sebagai salah satu pasukan yang aktif melawan Belanda di bawah komando spiritual KH. Hasyim Asy’ari dan komando militer KH. Zaenul Arifin. Setelah kemerdekaan, mereka berkomitmen untuk tetap mengabdi pada negara melalui beberapa agenda sosial.

“Dalam ajaran Islam, yang bukan Islam itu kafir,” kata Komandan Yani Rusmanto membuka dialog, setelah perkenalan singkat.

Weiss … belum sepuluh menit langsung ngobrolin kafir aja, Pak!

Saya yang masih sibuk dengan ayam goreng buru-buru menyelesaikan makan siang dan menyimak obrolan. Apalagi saya punya tanggungan menerjemahkan ucapan beliau untuk teman di kanan-kiri saya.

“Istilah kafir itu bukan berarti kami membenci nonmuslim, tapi ya memang begitu sebutannya. Jadi jangan marah. Nah, Pak Paulus ini tidak marah dibilang kafir. Pak Paulus ini kafir yang baik,“ kata Pak Yani tertawa kecil, lalu saling lempar senyum dengan Pak Paulus. Manis sekali. Saya jadi awkward.

Tapi setidaknya saya jadi paham, untuk bisa membuka hubungan dengan komunitas seperti Hizbullah, kamu tidak boleh baper disebut kafir. Meskipun dalam Sirah Nabawiyah sebenarnya Rasul tidak pernah menekankan persoalan kafir sebagai sebutan, tapi … ya, kalau memang niat berdialog dengan mereka, ikuti saja aturan mainnya.

Pak Yani lanjut bercerita. Awal mula pertemanannya dengan Pak Paulus yakni tahun 2004, tepatnya ketika musibah tsunami melanda Aceh. Misi Laskar Hizbullah ke Aceh sekaligus menjadi kerjasama pertama mereka dengan nonmuslim.

“Kenapa Hizbullah mau bekerjasama dengan nonmuslim?” tanya seorang peserta.

Komandan lalu menjelaskan kalau sebenarnya kerja kemanusiaan seperti itu terjadi karena baik umat Islam atau Kristen sama-sama menjalankan akidah mereka. Maksudnya, aturan agama yang memerintahkan untuk tolong-menolong dalam kebaikan.

Pak Paulus menambahkan, dalam kerja lintas agama seperti itu, pertama-tama semua pihak harus jujur. Tidak punya kepentingan lain, termasuk usaha mengubah agama.

“Buktinya saya masih jadi pendeta. Pak Yani juga masih jadi komandan Hizbullah,” kata Pak Paulus sambil tertawa kecil. Keduanya kembali saling senyum. Saya kembali awkward.

“Apa ada anggota yang tidak suka dengan persahabatan kalian?” tanya peserta lain.

Persahabatan pimpinan nasrani dan muslim memang cukup banyak, tapi tidak dengan latar belakang Mennonite dan Hizbullah yang sama-sama dikenal keras.

“Perlu sepuluh tahun bagi saya untuk meyakinkan pihak gereja kalau dialog seperti ini juga bagian dari menebarkan cinta kasih Yesus,” cerita Pak Paulus.

Wow, sepuluh tahun. Sebagai ukhti kebanyakan alasan, saya jadi minder.

Pak Yani juga sempat mengalami penolakan dari anggotanya. “Tapi karena persahabatan ini tidak menentang akidah, kami tetap jalan. Makanya kami menolak berkegiatan di gereja, juga tidak boleh ada simbol keagamaan,” kata komandan tegas. Saya menyapukan pandangan ke seisi aula dan langsung sadar kalau tidak ada dekorasi keagamaan di ruangan itu.

Dalam rangka menerjemahkan persahabatan yang tidak menentang akidah itu, Hizbullah punya batas kerjasama dengan nonmuslim yang cukup rigid, di antaranya hanya tolong-menolong untuk urusan kemanusiaan seperti membantu korban bencana atau orang miskin, tetapi tidak untuk urusan keagamaan. Makanya kita tidak pernah mendapati Hizbullah menjaga gereja.

“Kemanusiaan dan keyakinan harus dipisah,” kata komandan, datar tapi tegas.

“Kalau dalam bahasa Pak Yani, kita ini lakum dinukum wa liya din. Untuk menjaga persahabatan, kami tidak membahas agama. Keyakinan saya untuk saya, begitu pula dengan keyakinan Pak Yani,” kata Pak Paulus, dilanjutkan dengan penjelasan panjang tentang nilai-nilai yang penting untuk menjaga hubungan lintas-agama.

Sejujurnya, saya mulai bosan karena obrolan menjadi semakin normatif. Kata-kata mutiara dari kedua pimpinan tersebut memang benar, tapi kami ingin lebih dari itu.

“Bagaimana peran Hizbullah dalam melindungi hak-hak minoritas di Solo, Pak?” tanya saya biar tidak mengantuk. “Di awal perkenalan, Bapak menyebutkan kalau Hizbullah suka membela kaum terzalimi. Tapi, Hizbullah juga suka menutup rumah ibadah kaum minoritas di Solo—yang dalam hal ini mereka terzalimi,” lanjut saya berhati-hati biar tidak dikira ngajak ribut.

“Kita tidak pernah melarang orang nonmuslim ibadah,” jawab Pak Yani. “Beberapa gereja memang pernah kami tutup, bukan karena kami benci, tapi karena mereka tidak punya IMB dan sangat sering melakukan kegiatan. Warga sekitar jadi tidak nyaman lalu melaporkan. Kami hanya membantu menindaklanjuti,” katanya.

Hmmm, normatif sekali. Saya sudah sering dengar jawaban seperti itu.

“Beberapa musala atau masjid juga tidak mempunyai IMB, tapi tidak ada yang ditutup,” kata Pak Paulus sambil tersenyum kecut. Nah, itu, Pak ….

Sebenarnya saya ingin lanjut bertanya, “Kenapa Hizbullah tidak membantu Pak Paulus memediasi dialog dengan warga agar mempermudah mendapatkan IMB, misalnya?”

Bagi umat agama minoritas, cari syarat IMB begitu tidak gampang lho. Kalau zaman Rasulullah dulu, kaum Yahudi bisa ibadah dengan leluasa di bawah jaminan Piagam Madinah ya karena tidak ada birokrasi IMB. Tapi sebelum pertanyaan saya meluncur, Pak Paulus berbicara.

“Soal IMB ini kami memang sering beda pendapat. Tapi itu tidak membuat kami berhenti bersinergi. Transformation needs time.”

Saya menghela napas. Kalimat terakhir Pak Paulus seperti menyentil saya supaya tidak bertanya aneh-aneh dan merusak persahabatan mereka. Ok, fine.

Buat saya, dialog di Markas Hizbullah siang itu masih sangat normatif. Tapi saya juga tidak bisa melangkahi proses yang sedang berlangsung. Hizbullah mau didatangi rombongan pemuda lintas agama bersama pendeta yang dulu disebutnya ‘kafir berdarah halal’ saja sudah merupakan transformasi luar biasa.

Saya percaya, peluang dialog lebih santai di masa depan bersama kelompok yang dilabeli keras, ekstrem, dsb itu masih terbuka lebar. Apalagi kalau ada perwakilan anggota Hizbullah yang charming muda, yang bisa lebih mewakili generasi kami. Apalagi, risol mayo-nya enak sekali.

Exit mobile version