Kiai Haji As’ad Humam adalah sosok penemu metode Iqro. Guru ngaji asal Kotagede, Jogja, ini merupakan orang paling berperan dalam menemukan metode paling efektif belajar membaca Alquran tersebut. Fotonya, yang ikonik itu, bahkan masih bisa kita jumpai di halaman sampul belakang Iqro hingga saat ini.
Metode Iqro, pertama kali diajarkan di pusat kebudayaan Muhammadiyah, Kotagede, oleh As’ad dan beberapa koleganya. Sejumlah sumber menyebut, meskipun metode Iqro berasal dari pegiat Muhammadiyah, gerakannya berdiri secara mandiri dan tidak terkait dengan Muhammadiyah.
Sebagai orang yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan TPA di masjid-masjid desa, tentu Iqro punya kesan tersendiri bagi saya. Agaknya, tak hanya saya, tapi ada banyak orang di luar sana juga ikut merasakannya. Iqro, jadi jalan paling awal bagi seseorang untuk memahami kitab suci umat muslim ini secara fasih. Saya berani bertaruh, mayoritas anak-anak yang fasih Alquran, pasti lebih dulu “mencicipi” Iqro karena metode belajarnya memang sangat efektif.
Namun, sebelum generasi sekarang mengenal metode belajar baca Alquran yang kita kenal saat ini, ternyata ada perjalanan panjang yang mengiringinya.
Debat sengit metode terbaik belajar Alquran
Perkembangan Taman Pendidikan Alquran (TPA) mulai menggeliat di Indonesia pada masa 1980-an. Animonya tak hanya terasa di perkotaan. Di masjid-masjid kampung pun mulai banyak anak-anak belajar membaca Alquran dengan giat.
Mengutip buku The Crescent Arises Over the Banyan Tree (2012) karya Mitsuo Nakamura, era “kebangkitan” TPA ditandai dengan munculnya Kiai Dahlan Salim Zarkasyi, tokoh penggerak metode Qiroati asal Semarang.
Mula-mula, ia menyebarluaskan metode tersebut dari TK-TK di Semarang pada awal 1980-an. Salah satunya TK Alquran Mujawwin. Dari sini, daerah-daerah lain mulai mengikutinya.
Salah satunya di Jogja yang digerakkan oleh As’ad Humam. Melalui metode Qiroati, ia mulai membangun gerakan TPA di sekitaran Kotagede.
Sayangnya, memasuki pertengahan 1980-an, kritik mengenai metode tradisional Baghdadi tersebut justru datang dari As’ad sendiri. Menurutnya, metode Qiroati tidak efektif karena membutuhkan 2-3 tahun bagi anak untuk fasih Alquran.
Kritik ini langsung As’ad sampaikan ke Dahlan Salim. Ia juga menganggap metode tadi perlu penyempurnaan. Sayangnya, kritik dan saran itu mental karena Dahlan Salim menganggap metode Qiroati sudah baku bagi TPA.
Metode Iqro “kebetulan ketemu” di bawah pohon jambu
Gara-gara kritik tersebut. Hubungan antara kubu Semarang dengan Kubu Jogja menjadi memanas. Semarang, dengan Dahlan Salim, meneruskan metode Qiroati yang penuh celah tadi. Sementara di Jogja, As’ad terus mencari formulasi yang tepat dan efektif dalam belajar membaca Alquran.
Anak kedua As’ad, Erweesbe Maimanati, dalam wawancaranya dengan Majalah Gatra (edisi 19 Februari 1996), menyebut kalau setiap hari ia menemani ayahnya mencari metode terbaik baca Alquran di bawah pohon jambu sebelah rumahnya.
“Saya sebagai kawan dan anaknya, cuma menyediakan kertas dan peralatan tulis. Jika kertas-kertas itu terbang, kami anak-anaknya, mengumpulkannya kembali,” kenang dia. “Ini bapak lakukan selama bertahun-tahun,” kata Erweesbe menyambung.
Akhirnya, As’ad berhasil menyempurnakan formulanya. Laporan Majalah Gatra tadi juga mengklaim, melalui metode yang As’ad temukan seseorang bisa fasih membaca Alquran hanya dalam hitungan bulan. Ini tentu lebih efektif ketimbang metode Qiroati yang butuh 2-3 tahun.
Melalui metode Iqro, seseorang bisa fasih baca Alquran dalam hitungan bulan
Melalui metode yang belakangan kita menyebutnya dengan “Iqro” itu, As’ad mengajarkan orang mengaji dari kata per kata. Memulainya dari yang paling mudah, sampai yang paling sulit. Misalnya, murid diberi kata “a-ba”, “ba-ta”, “a-ba-ta”, dan seterusnya hingga ke kalimat panjang.
Pembelajaran membaca Alquran pun bisa lebih sederhana. Murid jadi mudah memahami.
Akhirnya metode Iqro pertama kali diujicobakan kepada anak-anak yang ada di bawah asuhan Tim Tadarus Angkatan Muda Masjid dan Musholla (AMM) Jogja. Ia secara perlahan tumbuh subur dalam TPA-TPA di Jogja.
Melalui ujicoba tersebut, nyatanya siswa-siswa dapat lebih cepat membaca Alquran. Karena keberhasilan ini, pemerintah pada akhirnya menjadikan metode Iqro buat memberantas “buta aksara Alquran”.
Berawal dari Kotagede, metode ini meluas ke penjuru negeri bahkan mancanegara. Negeri jiran seperti Malaysia, Brunei bahkan Singapura, juga mengadopsi metode Iqro sebagai cara belajar Alquran di negara mereka. Banyak penerbit kemudian mencetak jutaan eksemplar buku Iqro.
Tak bisa menikmati masa kejayaan Iqro
Meskipun Iqro dengan cepat meraih masa kejayaannya, sang pioneer As’ad Humam tak bisa merasakan era kegemilangan ini. Ia menghembuskan nafas terakhir pada Februari 1996, tepat saat “demam Iqro” mulai menjangkiti seluruh negeri.
Dalam bukunya, Mitsuo Nakamura menyebut, penjualan Iqro secara nasional dan internasional memberikan pemasukan yang luar biasa bagi Tim Tadarus AMM. Uniknya, meski statusnya sebagai penemu, royalti tak masuk ke kantong pribadi As’ad. Uang hasil penjualan Iqro ternyata dipakai untuk membangun pusat pengajian dan sarana keagamaan lain.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya, di tiap eksemplar Iqro, terpampang wajah As’ad, sang penemu metode Iqro. Sampai saat ini, Iqro masih jadi metode terbaik mengajarkan orang membaca Alquran.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News.