Pada berbagai penelitian, kebijakan memasukkan rute bus kota ke lingkungan kampus bertujuan memberikan layanan kepada masyarakat yang hendak mengakses lingkungan UGM. Namun, pada perjalanannya kebijakan ini memang menuai pro dan kontra. Salah satunya karena membuat kampus semrawut.
Perubahan yang sempat dapat protes keras dari mahasiswa
Penataan dan perubahan akhirnya terjadi perlahan. Mulai dari akses jalan yang perlahan dibatasi hingga pedagang yang satu per satu dibatasi.
Kebijakan penataan area kampus UGM itu berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama. Pada prosesnya sempat ada beberapa tentangan dari pihak mahasiswa.
Melansir Kompas.com, pada 2009 BEM UGM menyatakan sikap tegas menolak penutupan akses masyarakat ke kampus berjuluk kampus kerakyatan itu. Kebijakan ini dinilai melunturkan citra UGM sebagai Kampus Kerakyatan.
Mereka juga akan menolak tegas rencana penerapan tarif parkir di kawasan kampus yang menurut rencana akan diberlakukan pada pertengahan Bulan September 2009. Menteri Koordinator Kebijakan Eksternal BEM KM UGM saat itu, Lakso Anindito, mengatakan terbukanya akses kampus selama ini merupakan wujud kedekatan kampus dengan masyarakat Yogyakarta.
“Kalau akses itu dibatasi atau bahkan ditutup, maka hilang juga kedekatan UGM dengan masyarakat,” ujarnya.
Namun, perubahan itu tetap berjalan. Sehingga Kampus Kerakyatan menjadi seperti yang bisa dilihat masyarakat saat ini. Masih banyak fasilitas kampus yang terbuka dan bisa diakses oleh masyarakat. Namun, lebih tertata dan tidak seterbuka pada tempo dulu.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News