Kita Pernah Punya Program Hilirisasi Candu! Saya Pun Mencari Tempat Jualan Narkoba Itu di Malioboro Kota Jogja

Ilustrasi Kita Pernah Punya Program Hilirisasi Candu! Saya Mencari Tempat Jualan Narkoba Itu di Malioboro (Mojok.co)

Momen unik terjadi di salah satu smoking area Parkiran Abu Bakar Ali, dekat Jalan Malioboro, Kota Jogja pada Kamis sore (22/2/2024) lalu. Setelah menghabiskan sebatang kretek, saya mendatangi tiga anak muda yang tengah asyik mengobrol. “Permisi, ada yang tahu enggak tempat jualan narkoba di Malioboro?” tanya saya, iseng.

Sudah saya duga, mereka kaget. Tercengang! Mana mungkin ada orang nekat berjualan barang haram itu di ikon wisata Kota Jogja ini?

Namun, di luar dugaan. Salah seorang dari mereka ternyata tertarik dengan pertanyaan iseng saya. Hafid (20), nama wisatawan yang belakangan saya ketahui asal Bojonegoro itu, gantian melempar jawaban yang bikin saya lebih kaget.

“Wah. Kalau ada, sih, saya juga mau, Mas,” ujarnya, dengan nada bercanda. Teman-temannya pun ikut tertawa mendengar jawaban Hafid.

“Mau tahu lokasinya, apa mau beli barangnya?”

Kami saling menatap.

Malioboro memang pernah jadi pusat jual-beli barang haram ini

Sebentar. Sebelum para pembaca melaporkan kami ke BNN, ada baiknya saya meluruskan dulu pembahasan tadi. 

Jadi, di tengah keponya mereka soal tempat jualan narkoba di Malioboro ini, saya juga bilang kalau narkoba yang dimaksud adalah jenis madat alias opium. Bukan sabu, ekstasi, maupun narkoba cap gorila, dan sejenisnya.

Opium sendiri merupakan getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.

 

Kita Pernah Punya Program Hilirisasi Candu! Saya Mencari Tempat Jualan Narkoba Itu di Malioboro.mojok.co
Getah candu atau Papaver sorniforum L. sebagai bahan baku utama opium (dok. Antara Foto)

Menurut penjelasan BNN, opium masuk dalam kategori narkotika golongan 1. Artinya, ia dianggap berbahaya karena menimbulkan efek ketergantungan. Selain opium, narkoba golongan 1 juga meliputi ganja dan koka.

Nah, keberadaan opium di Kota Jogja sendiri sudah ada sejak masa kolonial Hindia Belanda. Bahkan, dahulu, kota ini merupakan salah satu pusat jual beli opium terbesar di Hindia-Belanda. Pada masa lalu, peredaran opium paling besar terjadi di Jalan Malioboro. 

“Lokasi tepatnya di mana, tuh?” tanya Hafid, kepo.

“Teras Malioboro I. Pusat jualan opium terbesar di sini,” jawab saya sambil menunjuk ke arah selatan. “Mau ke sana?” saya menawarkan.

Candu sudah jadi bagian dari sejarah kita

Madat, opium, atau juga bisa kita sebut candu ini, sebenarnya sudah menyatu dalam sejarah negeri kita. Sambil berjalan dari Parkiran Abu Bakar Ali ke Teras Malioboro 1, saya menjelaskan kepada Hafid dan kawan-kawannya bahwa ada banyak literatur yang bisa mereka rujuk soal sejarah opium ini.

“Buku karya James R. Rush, ‘Candu Tempo Doeloe’, keluaran Komunitas Bambu. Bisa kalian rujuk,” jelas saya. “‘Serat Erang-Erang’ dari Wirapustaka lebih klasik lagi, sih.”

Menurut dua sumber yang jadi rujukan saya itu, opium memang merupakan salah satu komoditas perdagangan yang penting pada masa kolonialisme. Bahkan,  pemerintah Hindia Belanda memonopoli opium dan menjadikannya objek pajak. 

Program hilirisasi candu

Bayangkan, dahulu opium sepenting dan sevital itu buat perekonomian Hindia Belanda. Bahkan, mereka pernah, lho, memperebutkan hak monopoli opium dengan Inggris dan Denmark. 

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf Baron van Imhoff (1745), mereka malah memberlakukan sistem perdagangan bebas bagi opium. Sejak kebijakan ini berlaku, tiap tahun diperkirakan ada rata-rata 56 ton opium yang mendarat di bumi Jawa. Bukan main! 

Maka, tidak mengherankan jika pada 1880 pajak perdagangan opium menjadi penghasilan paling besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, pada 1894 pemerintah mendirikan pabrik opium sendiri di wilayah Salemba. Kini kawasannya berada di area Universitas Indonesia (UI).

Kalau dipikir-pikir, itu mirip semacam konsep hilirisasi, sih. Jadi, candu, si bahan mentah, dihasilkan di sini. Begitupun juga dengan pengolahannya menjadi opium.

Akibatnya, peredaran opium pun makin meluas. Wilayah-wilayah perdesaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga wilayah vorstenlanden Surakarta dan Yogyakarta, jadi tempat candu beredar secara bebas.

Menurut berbagai catatan yang saya rujuk tadi, terdapat 372 tempat penjualan opium yang tersebar di Yogyakarta sepanjang akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Mulai dari toko kecil-kecilan, hingga yang besar.

Kantor pusatnya ada di dekat Tugu Jogja

Kami tiba di depan Teras Malioboro 1. Kepada para wisatawan ini, saya menceritakan bahwa bangunan ini sudah beberapa kali berganti fungsi. Mulai dari gedung bioskop hingga tempat jualan opium.

Sebelumnya, saya juga telah melakukan riset pada Peta Kota Jogja tahun 1946 (ditulis pada 1935). Menurut peta tersebut, lokasi kantor pusat dagang opium ada di Jalan AM Sangaji, Jetis, tepat berada di sebelah utara Tugu Jogja.

Dulu, kantornya bernama Opiumregie (dalam bahasa Inggris: Opium Monopoly). Kantor ini bertugas mengendalikan laporan distribusi opium yang keluar-masuk Kota Jogja. Mereka juga mendata para penjual opium yang disebut “mantri candu”.

Indeks nomor 10 menunjukkan lokasi Opium Monopoly
atau Opiumregie (dok. Leiden University Libraries)

Fyi, para mantri candu wajib mencantumkan papan nama “kantor penjualan” atau “toko penjualan candu”. Dalam bahasa Belanda, umumnya menggunakan  kata “opiumverkoopplaats”.

“Berubah jadi apa lokasinya sekarang?” tanya Hafid, kepo soal kantor pusat monopoli candu itu.

Berdasarkan titik pada peta lawas itu, saya menduga bangunan kantor Opiumregie kini berada di lahan yang menjadi SPBU Pertamina Tugu.

Di mana tempat jualan narkoba di Malioboro Jogja?

Lebih lanjut, berdasarkan data Opiumregie tadi, sebagian besar rumah penjual candu atau opiumverkoopplaats ada di kawasan pecinan yang kala itu melingkupi sepanjang Jalan Patjinan (sekarang sekitaran Jalan Margo Mulyo hingga Jalan Jend. Ahmad Yani) dari Teras Malioboro I di sisi barat dan Kampung Ketandan di sisi timur.

Catatan peta Kota Jogja terbitan 1946 tadi juga menunjukkan toko candu terbesar berada di dua tempat. Pertama, lokasinya ada di bangunan yang saat ini menjadi Teras Malioboro I (sebelumnya pernah jadi gedung Bioskop Al Hambra). 

Kedua, ia terletak tepat di sudut perempatan Jalan Malioboro dan Jalan Suryatmajan. Saya menduga lokasinya sekarang tepat berada di bangunan yang menjadi Mirota Gallery dan Toko Obat Sumber Husodo Tek An Tong.

“Kira-kira, sekarang masih ada yang jualan enggak, ya?” tanya Hafid, masih dengan rasa keponya. Kita semua tahu jawabannya.

 Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Gedung-gedung Mewah Terbengkalai di Malioboro hingga Tugu Jogja, Ada Hotel Belanda dan Bank yang Bangkrut

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version