Ada sebuah makam keramat di Yogyakarta yang konon membuat salah satu titik Selokan Mataram harus dibelokkan. Para warga tak berani jika makam tersebut harus tergusur karena pembangunan selokan yang menyambungkan Sungai Progo dengan Sungai Opak.
***
Informasi mengenai makam keramat ini sudah saya peroleh sejak lama. Namun baru punya kesempatan menelusurinya saat ini. Pencarian pagi itu, Jumat (9/9/2022), membuat saya berhenti di sebuah angkringan yang terletak di seberang Kantor Kelurahan Margokaton, Seyegan, Sleman. Kabarnya, makam keramat tersebut terletak di desa ini.
“Kemarin katanya makam itu juga itu mau digusur pembangunan jalan tol. Tapi nggak jadi,” kata Sri Ningsih (39), penjaja angkringan.
Sembari menikmati teh hangat, saya lantas bertanya padanya tentang lokasi makam tersebut. Sri langsung langsung paham dan memberikan penjelasan singkat tentang makam yang saya cari. Makam tersebut adalah makam Kiai dan Nyai Baedhowi. Lokasinya berada sekitar satu kilometer meter dari angkringan. Tepat di sisi timur Selokan Mataram.
Motor lantas saya pacu melanjutkan perjalanan ke arah barat menuju lokasi makam sesuai instruksi Sri. Jalanan penuh debu dan banyak kendaraan berat yang melintas. Beberapa pekerja pembangunan jalan tol Jogja-Bawen tampak bersliweran di pinggiran jalan.
Sebuah jembatan terlihat. Saya perlambat laju motor untuk menyusuri sisi timur selokan. Alhasil, sebuah pemakaman terlihat tak jauh dari jalan raya. Lokasinya dekat dengan irigasi yang sedang mengering. Memang betul, tepat di depan area makam, aliran Selokan Mataram sedikit dibelokkan. Hanya beberapa puluh meter.
Saya sudah sampai di tujuan. Di tengah pemakaman yang tak terlalu luas ini berdiri sebuah cungkup. Batin saya, mungkin di sanalah makam Kiai dan Nyai Baedhowi berada. Saya parkirkan kendaraan di pinggir Selokan Mataram, kemudian memasuki area makam.
Sepintas tempat ini memang layaknya pemakaman umum biasa. Saya lepas sepatu dan masuk ke area cungkup. Menengok satu per satu nisan yang ada di sana. Tak ada nama yang tertera.
Namun, ada satu yang cukup mencolok, ukuran batu nisannya lebih besar ketimbang yang lain. Kendati begitu, saya belum bisa memastikan apakah makam ini yang saya cari. Saya putuskan untuk keluar makam dan mencari konfirmasi pada warga sekitar.
Beruntung, saat hendak keluar, di sudut pemakaman ada seorang seorang kakek tua. Mulutnya tampak sedang merapal doa di hadapan sebuah nisan yang ada di luar cungkup.
Setelah menunggu sang kakek selesai berdoa, saya menanyakan keberadaan makam yang saya cari. Ternyata betul, cungkup itulah tempat peristirahatan Kiai dan Nyai Baedhowi.
Namun sayangnya sang kakek tak tahu menahu sejarah mengenai makam ini. Saya lantas keluar area pemakaman dan menuju sebuah warung tongseng yang ada di dekat jembatan yang saya lewati tadi. Berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut mengenai kisah Kiai Baedhowi.
Sebelum beranjak pergi, saya menengok sisi utara dari area pemakaman. Tanahnya sudah diratakan. Beberapa puluh meter dari tempat saya berdiri, sebuah buldoser tengah sibuk beroperasi di antara reruntuhan bangunan rumah. Proses pembangunan tol Jogja-Bawen sudah mulai gencar dilakukan.
Setelah melihat para pekerja proyek, saya melanjutkan perjalanan ke warung tongseng. Di sana, seorang perempuan paruh baya pemilik warung mengarahkan saya untuk menemui sosok bernama Murtaki.
“Itu rumahnya di sana yang ada benderanya. Beliau kalau nggak salah masih keturunan dari Kiai Baedhowi,” ucap perempuan yang mengaku bernama Sarono (59) sambil menunjuk sebuah rumah di barat jembatan.
Sepenggal kisah tentang pembangunan Selokan Mataram
Di rumah yang sisi utaranya juga sudah terimbas proyek tol, saya berjumpa dengan lelaki paruh baya bernama Murtadho (58). Ia merupakan adik dari Murtaki yang dimaksud ibu di warung tongseng tadi.
Berhubung Murtaki sedang tak ada di rumah, Murtadho berkenan menceritakan kisah tentang makam Kiai Baedhowi. Sebuah makam yang konon membuat Selokan Mataram harus dibelokkan.
Aliran irigasi yang panjangnya sekitar 33 km ini membentang dari sisi barat ke timur Jogja. Menyatukan dua aliran sungai besar di daerah ini yakni Sungai Progo dan Sungai Opak. Pembangunannya dimulai tahun 1943 saat Jogja dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Proses pembangunan Selokan Mataram bertepatan dengan masa penjajahan Jepang. Ada sejumlah alasan yang disebut mendasari pembangunan irigasi yang mengairi ribuan hektare sawah ini.
Dalam Selokan Mataram Menurut Perspektif Lokal (2018) disebutkan bahwa alasan mistisnya yakni kepercayaan jika Kali Progo menyatu dengan Kali Opak maka akan mendatangkan kemakmuran. Kepercayaan ini disebut bersumber dari naskah Jangka Joyoboyo.
Selain itu, ada juga alasan politis yang disebut mendasari pembangunan ini. Pembangunan ini disebut sebagai langkah Sri Sultan HB IX untuk memperkuat kekuasaannya. Sekaligus menyelamatkan warga Jogja dari program kerja paksa Romusha yang diterapkan pemerintah pendudukan Jepang saat itu.
Wilayah Margokaton, Seyegan, Sleman yang berada di barat Jogja merupakan area awal yang dilewati Selokan Mataram. Saat proses pembangunan tersebut, makam Kiai Baedhowi diperkirakan sudah ada di sana.
Murtadho bercerita kalau awalnya, pembangunan selokan dari arah utara ke selatan di Padukuhan Susukan ini akan dibuat lurus. Namun keberadaan makam yang dianggap aulia’ atau sosok yang dimuliakan oleh penduduk setempat ini membuat hal itu urung dilakukan.
“Cerita yang saya dengar dari bapak saya dulu, waktu itu kan mau diluruskan, tapi masyarakat menolak. Nggak berani karena mungkin ada ketakutan. Si Mbah [Kiai Baedhowi] saat hidup dulu dianggap pemuka agama,” jelasnya.
Ia lalu menceritakan suatu kisah yang juga didengar secara turun temurun dari bapaknya. Konon, dulu saat terjadi Perang Jawa sekitar 1825-1830, Pangeran Diponegoro mengirim beberapa utusan untuk meminta bantuan logistik berupa beras pada Kiai Baedhowi.
“Padahal, Si Mbah itu secara dzahir bukan orang yang berada. Jadi entah mengapa minta bantuan ke beliau,” ujarnya.
Murtadho melanjutkan, beberapa utusan itu datang membawa empat hingga enam gerobak berisi karung kosong yang hendak diisi beras. Namun Kiai Baedhowi mengajak para utusan untuk pergi ke Kali Krasak yang letaknya di barat Seyegan.
Alih-alih diisi beras, Kiai Baedhowi menyuruh para utusan Pangeran Diponegoro untuk mengisi karungnya dengan pasir yang ada di sekitar kali. Setelah karungnya terisi, para utusan tersebut kembali pulang.
“Konon saat dalam perjalanan pulang dan mengecek karung-karung tersebut, ternyata isinya sudah berbeda. Berubah jadi beras,” tutur Murtadho.
Murtadho mendapat kisah tersebut dari bapaknya. Keluarganya dimakamkan di cungkup yang sama dengan makam Kiai Baedhowi. Mulai dari kakek, bapak, hingga ibunya.
“Di sana ada simbah saya Hasan Sudikoro, bapak, ibu, dan beberapa keluarga lain,” ujarnya.
Murtadho sendiri mengaku tak tahu persis kapan Kiai dan Nyai Baedhowi meninggal dan dimakamkan di sana. Ia juga tidak mengetahui pasti silsilah keturunan hingga Kiai Baedhowi. Namun, sejak lahir ia sudah tinggal di kawasan ini.
Kisah tentang sosok pendahulu di makam itu hanya diturunkan secara lisan dari mendiang bapak dan kakeknya. Penjelasannya singkat dan terbatas, Murtadho tak punya lebih banyak penjelasan.
Pada buku Selokan Mataram Dalam Cerita dan Fakta, ada penjelasan singkat tentang tempat ini dari seorang narasumber bernama Djasmanto yang merupakan tetua kampung Margokaton. Disebutkan bahwa Kiai Baedhowi merupakan tokoh terpandang sekaligus sosok yang jadi cikal bakal Padukuhan Susukan III.
Dahulu, area itu hanya untuk mengubur Kiai Baedhowi dan keluarganya saja. Kini sudah beralih jadi pemakaman umum meski areanya terbatas. Cungkup yang menaungi beberapa nisan keluarga Kiai Baedhowi, menurut Murtadho, juga baru dibangun beberapa tahun belakangan.
Waktu terus berjalan. Pada masa lalu, makam Kiai Baedhowi menjadi lintasan pembangunan Selokan Mataram. Hari ini, tempat itu juga menghadapi pembangunan besar lain yakni jalan tol. Sejauh yang Murtadho ketahui, hingga saat ini, area itu belum hendak digusur meski sebelahnya sudah rata dengan tanah.
“Tapi ada kemungkinan pelebaran juga, saya dengar saat sosialisasi kemarin,” ucapnya.
Tentu ia berharap agar makam tersebut tak pindahkan. Namun menurutnya, tanah itu milik Sultan. Sehingga, ia hanya bisa menurut kehendak raja nanti akan jadi seperti apa.
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi