Akhir Kisah Ki Ageng Mangir Wanabaya di Barat Jogja

makam ki ageng mangir mojok.co

Ilustrasi makam Ki Ageng Mangir. (Ega Fanshuri/Mojok.co)

Ki Ageng Mangir Wanabaya seorang pemimpin dari desa perdikan yang tersohor. Namanya berkaitan erat dengan Mataram Islam karena perselisihannya dengan Panembahan Senopati. Kisah akhir hidup Ki Ageng Mangir ada beragam versi. Pun demikian dengan makamnya. Ada yang menyebut di Kotagede, adapula yang bilang di Godean. Berikut ini kisah Kontributor kami yang melakukan ziarah ke Makam Ki Ageng Mangir di Godean.

***

Waktu menunjukkan hampir pukul 23.00 WIB. Peta digital di handphone mengatakan tujuan saya tinggal 100 meter lagi. Pelan. Melintasi dusun dan komplek perumahan. Beberapa pria dewasa terlihat sedang ronda. Sepi. Kehidupan telah selesai hari itu, kebanyakan orang sudah beristirahat.

Persinggahan saya kali ini adalah makam Ki Ageng Mangir. Tokoh ‘kiri’ di halaman sejarah Mataram Islam. Peringatan dari peta digital kemudian berbunyi lagi. Saya celingukan di tepi jalan mencari titik lokasi makam tersebut. Rupanya di antara rimbun pepohonan, terdapat sebuah gerbang dengan cat hitam bergaya Majapahit. Ini dia!

Saya lantas memasuki lokasi makam. Terlihat enam orang duduk berkumpul di sebuah ruangan. Dan di dekatnya, dua orang wanita sedang tidur. Salah satu wanita terbangun saat saya mendekat. Namanya Minah. Ia adalah juru kunci dan penjaga makam Ki Ageng Mangir di Sorolaten, Sidokarto, Godean, Sleman.

Sang pemimpin perdikan

Bagi beberapa kalangan, nama dan pembicaraan soal Ki Ageng Mangir mungkin akan terasa seksi dalam babad sejarah Mataram Islam. Versi populer mengatakan bahwa makam sosok ini berada di komplek makam raja-raja Kotagede dengan separuh bagian berada di luar dan separuh lagi di dalam. Konon, ini menyangkut predikat sosok Ki Ageng Mangir Wanabaya atau tenar disebut Mangir sebagai pemberontak.

Mencari kisah Mangir di buku sejarah konvensional tidaklah mudah. Babad Tanah Jawi (W.L. Ontlof, 2017) sama sekali tidak menyinggungnya. Bahkan tulisan peneliti luar negeri seperti H.J De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram  juga tidak memasukkan informasi soal sosok ini. Versi cerita paling umum akan mengatakan bahwa nama Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah pemberontak yang enggan tunduk di bawah panji Mataram Islam semasa Panembahan Senopati berkuasa.

Gerbang menuju makam Mangir. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Peneliti sejarah Savitri Scherer dalam prakatanya di naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa Ki Ageng Mangir punya nama asli Wanabaya. Ia adalah sosok pria berusia 23 tahun yang diangkat sebagai pemimpin desa perdikan (desa yang dibebaskan dari pungutan pajak zaman kerajaan) bernama Mangir. Ia mendapatkan gelar atau julukan Ki Ageng. Pengangkatan ini karena kepiawaiannya dalam dalam mempertahankan desa dari rongrongan pasukan perang senopati.

Berbagai versi cerita mengatakan bahwa Ki Ageng Mangir adalah gelar turun temurun di tanah perdikan itu. Artinya, Wanabaya bukalah satu-satunya nama Ki Ageng Mangir dalam gelaran sejarah di desa perdikan Mangir.

Tentang hubungan Mangir-Mataram Islam, Savitri menyatakan kemungkinan dulunya 2 wilayah ini baik-baik saja. Masalah muncul saat Panembahan Senopati membutuhkan daya tambahan untuk menopang gaya hidupnya dan Keraton Mataram Islam.

Singkat cerita, salah satu putri Senopati bernama Pembayun diutus untuk menyamar menjadi penari demi mendekati Mangir. Pembayun dan Mangir kemudian menikah. Akhir kisah keduanya terjadi saat Wanabaya sudah bersedia tunduk pada Mataram dan hendak menghaturkan sembah pada Senopati di istananya. Sebelum babak itu terjadi, berbagai versi menggambarkan adanya saling serang antara tentara Mangir dan Mataram yang kemudian menewaskan Ki Ageng Mangir.

Maka, posisi makam Mangir di Kotagede tadi punya makna bahwa sosok itu memegang dua predikat: menantu sekaligus musuh Senopati. Informasi di laman Kundha Kabudayan DIY juga mengonfirmasi dua predikat tersebut.

Cerita dari 1969

Minah membenahi selimutnya sambil menyapa saya. Ia duduk bersila. Perempuan lain yang belakangan saya ketahui sebagai kakaknya masih tertidur di sampingnya. Minah lantas membuka cerita bahwa makam Mangir di Sorolaten ditemukan pada tahun 1969 oleh seorang pria bernama Pak Warno. Sepengetahuannya, Warno adalah pria asal Kampung Gamel, Kalurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Yogyakarta.

Minah tidak tahu pasti bagaimana proses penemuan itu. Ia mengatakan bahwa cara itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Maka, jangan bayangkan bahwa proses penemuan itu secara logika. Dalam bahasa modern, proses itu menggunakan metode bernama retrokognisi. “Katanya, Pak Warno melihat tanda bahwa di sinilah makam Ki Ageng Mangir,” imbuhnya. Tentu saja saat itu belum berbentuk nisan.

Tahun 1972, proses pembangunan fasilitas makam dimulai. Kini, terdapat 3 bangunan di komplek makam Ki Ageng Mangir. Masing-masing adalah musala, ruang terbuka untuk tempat istirahat para peziarah, serta bangunan tempat makam Ki Ageng Mangir berada.

Minah mengatakan bahwa tempat ini dulunya adalah pemakaman umum. Saat penemuan makam Mangir disusul pembangunan berbagai fasilitas, beberapa makam dipindahkan ke sebelah barat. Namun, ada satu makam enggan dipindahkan dan kini berada di sisi timur depan bangunan makam Mangir. Sementara di sisi barat bangunan, ada satu makam lain milik salah satu leluhurnya.

Makam Ki Ageng Mangir Wanabaya. (foto Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Kini, makam Mangir berada di sebuah ruangan serupa kamar. Nisannya terbuat dari batu hitam dan bagian kepala nisan diberi sebuah kain putih. Terdapat sebuah kelambu dan atap kecil untuk melindungi nisan. Di samping nisan, disediakan tempat pembakaran dupa dan selembar karpet untuk tempat duduk peziarah. Di sampingnya, terdapat satu ruangan dengan pembatas tembok dengan 2 nisan di sana. Keduanya adalah pusara Pak Warno beserta istri, sosok penemu makam Mangir.

Minah menyebutkan satu nama sebagai alasan adanya makam Mangir di Godean. Konon, setelah meninggal, Mangir dibawa oleh sosok bernama Demang Tangkil lalu dimakamkan di sini. Pemilihan tempat diduga karena di wilayah ini sejak dulu terkenal dengan banyaknya area pemakaman. Makam Demang Tangkil kini berada di sekitar komplek Kepatihan, Yogyakarta. Sementara di sebelah timur Sorolaten terdapat sebuah dusun bernama Tangkilan.

“Dusun ini saja punya 5 makam, di sebelah selatan juga masih ada makam lagi tapi milik dusun lain,” terangnya.

Minah melanjutkan ceritanya bahwa berbagai fasilitas di makam ini dibangun dari sumbangan para peziarah. Entah karena cap ‘pemberontak’ pada Mangir atau alasan lain, Minah mengatakan tidak ada perhatian apapun dari instansi terkait soal keberadaan makam ini.

Wanita yang enggan menyebut usianya ini mengatakan bahwa ia adalah juru kunci keempat di keluarganya. Sang kakek adalah juru kunci pertama, lalu sang nenek, setelah itu berpindah ke orang tua Minah. Kini, ia dan sang kakak yang menjaga makam ini.

“Saya di sini mengabdi, jadi saya merawat dan membiayai segala kebutuhan operasional, kadang ya ada peziarah membantu juga,” tuturnya dengan tatapan sendu. Mendengar obrolan kami, kakak Minah terbangun dan duduk.

Kisah-kisah turunan

Sejatinya, nama daerah Mangir hingga kini masih eksis dan berada di wilayah administrasi Kecamatan Pajangan, Bantul. Berdasarkan penelusuran di internet, nama Ki Ageng Mangir atau Wanabaya masih punya tempat di hati masyarakat sekitar.

Menurut berbagai versi, di akhir kisahnya, Wanabaya meregang nyawa setelah kepalanya dihantamkan ke batu singgasana oleh Senopati saat hendak mengunjukkan sembah tanda penyerahan diri. Lokasi ini disebut berada di situs Watu Gilang. Kini berada di sebelah selatan komplek Makam Raja-Raja Kotagede. Walaupun demikian, ada banyak versi lain tentang cara Mangir diakhiri hidupnya.

Pramoedya Ananta Toer dalam bagian ‘pertanggungjawaban’ di naskah drama Mangir menduga bahwa desa ini mendapatkan status perdikan di masa Kerajaan Majapahit, tepatnya saat pecah saat Perang Paragreg. Artinya, Mangir adalah sebuah perkampungan tua yang sudah eksis bahkan sebelum adanya Mataram Islam.

Sastrawan legendaris itu juga mengkritisi cerita soal bagaimana Mangir dihabisi. Bagi Pram, kematian Mangir dengan cara dibenturkan ke batu sulit untuk diterima mengingat latar belakangnya sebagai seorang pendekar. Menyoal hal ini, Savitri Scherer berpendapat bahwa Mangir mengira adanya janin di perut Pembayun bakal jadi jaminan ia akan diterima oleh Senopati. Sementara, Senopati sudah siap berkorban segalanya, termasuk janin di perut anaknya itu.

Pintu masuk menuju bangunan makam Mangir. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Dalam tulisannya, Pram menyoroti salah satu alasan kenapa penulisan cerita soal Mangir –yang ia sebut sebagai salah satu permata dalam kesusastraan Jawa– baru muncul seratus tahun lebih dari kejadian aslinya. Pram menyodorkan alasan, salah satunya, adanya rasa malu bagi Mataram karena kalah dari balatentara orang desa ala Mangir.

Mangir memang mendapat cap sebagai pemberontak. Namun, itu tidak menghilangkan berbagai cerita turunan dan ingatan masyarakat. Salah satu cerita turunan paling terkenal adalah Baru Klinting. Nama ini mulanya adalah seorang tokoh anak buah Mangir yang lantas dikisahkan sebagai seekor ular. Belakangan, Baru Klinting disebut menjelma menjadi tombak pusaka milik Mangir.

Sama seperti keberadaan Ki Ageng Mangir Wanabaya, Baru Klinting juga masih punya tempat di cerita rakyat tradisional hingga hari ini. Dalam analisanya, Pram mengatakan bahwa versi cerita Baru Klinting yang ia sebut dibenci, ditakuti, sekaligus dihormati Mataram, dimunculkan untuk mendorong sosok ini ke alam dongeng sehingga bisa bebas dari upaya pembuktian.

Kembali ke Minah, secara pribadi ia enggan memberikan klaim soal mana makam Mangir yang asli. “Sumangga, sesuai kemantapan hati masing-masing orang, mau ziarah ke petilasan beliau di Pajangan juga bagus, mau ke Kotagede juga bagus,” katanya.

Mangir boleh saja masih berada di ranah ‘kiri’ dalam sejarah Mataram Islam. Namun, Minah mengatakan bahwa makam di Sorolaten ini tetap saja ramai dikunjungi peziarah dari berbagai latar belakang. Ia juga tetap membuka komunikasi dengan pihak dusun. Jika ada peziarah yang menginap misalnya, ia akan melaporkan kepada kepala dusun. Saat pandemi kemarin pun ia tetap membuka makam karena adanya izin dari kepala dusun Sorolaten.

Membaca ulang kisah Ki Ageng Mangir Wanabaya tentu akan membawa kita ke berbagai sudut pandang. Tentang perebutan jabatan, konflik, dan kisah-kisah terlupakan dari sebuah kerajaan besar di masa silam. Savitri Scherer bahkan mencermati bagaimana Pembayun yang tidak lain adalah anak raja justru ditumbalkan oleh sang raja alias bapaknya sendiri.

Waktu berlalu begitu cepat di Sorolaten, jam sudah menunjukkan pukul 00.10 saat saya pamit. Minah kembali membenahi selimutnya. Sementara 6 orang tadi tinggal menyisakan 4 saja, 2 lainnya sudah tertidur pulas.

Benar kata Minah, area selatan tempat ini dipenuhi dengan berbagai kompleks makam umum. Kompleks itu bahkan jauh lebih bersih dan tertata dibanding makam tempat Minah berjaga. Mungkin, ini karena nama di makam itu. Sebuah nama yang seksi dan mungkin masih saja dianggap berbahaya hingga kini.

Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Menyusuri Jejak Cinta Kalinyamat, Wanita Pemberani dari Jepara 

Exit mobile version