Mantan juru mudi kapal ikan, banting setir jadi penjual Es Teler. Pilihan itu dijalani Abdul Rasyid, untuk hidupi belasan istri dan puluhan anak serta cucunya. Sudah hampir setengah abad ia melakoni bisnis ini di Makassar. Usahanya mencari cuan di areal pekuburan, tak memalingkan pelanggan untuk datang. Di akhir hayatnya, pria kelahiran 1934 itu berhasil membangun masjid di kampung halamannya. Sebelum wafat Rasyid juga menuntaskan rukun Islam ke lima.
42 Tahun Mencari Cuan di Pekuburan
Sore di pertengahan September cukup bersahabat. Mojok menyambangi angkringan Es Teler di sisi timur Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kristen Panaikang, Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar.
Dua wanita paruh baya sibuk menata kaleng susu yang baru saja dilubangi ujungnya. Kaleng-kaleng itu ditaruh di rak atas etalase kaca. Seorang wanita duduk manis di meja, menyambung lidah pesanan pelanggan kepada dua wanita bermata bulat tadi.
Saya masih mengantri untuk memesan. Di depanku ada tiga wanita datang lebih dulu. Nurhayati menyambut mereka, “Makan di sini atau dibungkus,” ketiga wanita berambut pendek itu kompak menjawab, “Makan di sini!.”
Dua wanita berjilbab yang sedari tadi ada di balik etalase, bekerja. Satu persatu bahan yang tersimpan di wadah hijau dalam etalase, dicampurkan ke dalam gelas kaca. Potongan pepaya, cincau, nata de coco, nangka, sagu mutiara, dan tape. Itu belum selesai, setelah dilumuri susu dan vla “rahasia”, terakhir ditabur kacang disco.
“Resepnya itu dari Haji laki-laki, bapak saya. Memang (Vla) itu dirahasiakan. Karena campuran yang istimewa di sini, rahasia perusahaan,” kata Nurhayati saat berbincang dengan Mojok, sembari menunggu giliran memesan.
Tidak sampai 2 menit, wanita mungil datang membawakan, Es Teler pesanan saya, “Tidak berubah rasanya, masih sama dari dulu, paling enak memang ini vlanya,” ucapku. “Makanmi dulu baru cerita-cerita lagi,” ungkap Nurhayati ini dengan dialek Makassar, sambil tertawa kecil.
Nurhayati memperkenalkan tiga saudara kandungnya: Hasbiah Rasyid, Ratna Dewi Rasyid, dan Mirawati Rasyid.
“Rasyid itu bapak saya, yang rintis ini Es Teler. Abdul Rasyid Lasinrang. Tapi sudah Almarhum,” tutur wanita 55 tahun itu.
Kami mulai beradu mata, bibir kecil Nurhayati tak berhenti bergerak, menceritakan awal mula usaha kuliner keluarganya. “Sudah 42 tahun, mulai 1979,” imbuhnya sambil menerima orderan dari pembeli.
Ibu lima anak ini, mengaku pilihan berjualan di kuburan hanya karena berdekatan dari rumah keluarganya di kawasan Campagaya, Kecamatan Panakkukang.
Persis berada di sisi utara TPU Kristen Panaikang. Saban hari, Isuzu Panther grand royal 1999 jadi andalan untuk mengangkut barang dagangan, termasuk selusin kursi plastik yang diikat di atas mobil berkelir putih itu. “Tapi kemarin mogok, jadi kita pakai yang Kijang (Krista 2002).”
Nurhayati berkisah, memulai bisnis keluarga tersebut tak mudah. Ayahnya harus pontang-panting banting tulang. Bermodal Rp100 di era Orde Baru, segelas Es Teler kala itu dijual Rp150. “Terus naik jadi Rp 200, kalau harga bahan mulai naik pasti dikasih naik harganya juga ini, tapi naik-naik Rp50. Sekarang satu gelasnya Rp10.000.”
Usaha Es Teler Kuburan Panaikang asuhan H. Abdul Rasyid sudah merambah di beberapa tempat, termasuk di luar Kota Makassar. Di Kabupaten Gowa, Maros dan Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
“Kalau di Makassar itu di Antang (Kecamatan Manggala), sama di Daya. Jadi lima cabang,” jelas Nurhayati dengan senyum tipisnya.
Saudara-saudaranya lah yang mengelola semua cabang usaha tersebut. “Jadi ini bisnis keluarga,” imbuhnya lagi.
Penamaan teler berasal dari singkatan atas pencapaian usaha H Rasyid; TElah bErhasil Rasyid di kuburan Panaikang.
“Begitu bapak Haji istilahkan ini tempat. Karena memang beliau yang pertama menjual Es Teler di Makassar, mungkin di Indonesia juga. Jadi bukan kasih teler, mabuk begitu. Itu singkatan namanya bapak,” ungkap Nurhayati sambil tertawa besar, diikuti dua saudaranya yang sedari tadi menyimak perbincangan kami.
Ia mengisahkan perjalanan merintis usaha tersebut, “Dulu itu bapak dorong gerobak dari rumah di Campagaya sampai Asrama Haji Sudiang (berjarak 15 Kilometer ke Timur, Makassar). Dua tahun begitu, baru buka tempat di sini (TPU Kristen Panaikang),” bebernya.
Menurut Nurhayati, tahun 1980 hingga 1990 jadi masa keemasaan usaha tersebut. Kala itu ia masih remaja, rutin membantu orang tuanya di angkringan. Kursi plastik ditata di areal parkiran TPU Kristen Panaikang. Gerobak terparkir di tepi jalan bata beton yang menghubungkan ke kawasan tempat tinggalnya, Jalan Setapak Kasih namanya.
Kala itu bisnisnya mampu meraup keuntungan Rp 5 ribu hingga Rp 6 ribu per hari. “Sekarang kalau terik matahari, itu bisa Rp 6 Juta sampai Rp 7 Juta. Kalau (musim) hujan, tidak tentu biasa Rp 1 Juta, kadang Rp 3 Juta. Kalau bulan Ramadan itu bisa dua kali lipat,” tutur Sulung dari 37 bersaudara ini.
Jujur Jalan Mujur
Kurang lebih 20 menit berbincang, Nurhayati yang duduk di balik meja dengan kursi plastik tetap sibuk bertransaksi dengan pembeli. Uang dagangannya di taruh dalam kotak plastik mungil, bertingkat. Tidak ada mesin kasir modern di atas meja. Kondisi tersebut adalah ajaran saklek dari sang ayah. “Jujur, kejujuran itu yang utama.”
Berkat kejujuran itu, menurut Nurhayati bertuah berkah mujur dalam setiap usaha dijalani. “Haji itu dulu pernah jual sop, buah-buahan, selalu laris, pokoknya dimana-mana saja usaha pasti laris. Garis tangannya mungkin memang mujur. Selalu itu dia jaga sama kita-kita anaknya, diajarkan selalu jujur kalau mau mujur.”
Selain itu, Rasyid selalu mengingatkan perkara ibadah dan sedekah. “Itu yang diingatkan. Jadi biar kita ini anak-anaknya tidak sekolah tinggi yang penting yang tiga ini dijaga: kejujuran, ibadah, dan sedekah,” kata Nurhayati.
Sejak dahulu, menurut Nurhayati, orang tuanya selalu mengutamakan kualitas bahan-bahan dagangannya. “Sama pelayanan sama pembeli, pembeli itu raja, kalau ada pembeli biasa saya datangi ku ajak cerita. Pokoknya ramah ki sama pembelita,” ucapnya dengan dialek Makassar.
Ia menuturkan, pembelinya beragam dari masyarakat biasa sampai pejabat pusat. Pelanggannya datang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan hingga negeri Jiran, Malaysia.
“Pernah ada pejabat, tidak tahu siapa namanya, perempuan sering pidato di teve, baru cukur seperti laki-laki, katanya di bawahnya wakil presiden (jabatannya) dipasangkan agak tua mukanya,” kata Hasbiah memotong pembicaraan saya dengan Nurhayati.
Hasbiah mengisahkan sang pejabat datang sekira 2014 lalu. Ada dua jenderal bintang dua menemani pejabat itu. “Tidak sampai 15 menit pulangmi.”
Nurhayati melanjutkan pejabat itu ngidam es telernya. “Katanya pernah makan di sini waktu masih sekolah sampai kuliah di Unhas. Sekalinya jadi pejabat kebetulan di Makassar, mau sekali makan es teler kuburan. Waktu itu sama suaminya.”
“Sempat saya berfoto. Ada fotonya di Kodam, sama bapak saya juga, satu keluarga kita foto bersama,” tutur Nurhayati.
Radius 5 KM, lokasi penjualan es teler ini terdapat beberapa kantor, sekolah dan kampus. Di antaranya; Markas Komando Daerah Militer (Kodam) XIV Hasanuddin, Sekolah Polisi Negara Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Gudang Bulog, Bank BRI Asrama Tentara, Balai Latihan Kerja Kota Makassar, SMA Negeri 5 Makassar, dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Tiga pembeli yang di awal tadi mengantri di depanku adalah mahasiswi Unhas. Mei, Ayu dan Eta. Mereka mengaku baru empat kali ke sana. Tidak ada rasa risih, menikmati Es Teler di pekuburan.
“Di sini adem, tidak panas banyak pohon kan, termasuk bersih juga tempatnya, baru murah juga,” ungkap Ayu.
Sementara, Mei berpandangan, kelezatan Es Teler kuburan Panaikang, “Gurih, ini sausnya kayak ada campuran duriannya, isi buahnya juga banyak. Enak lah recomended,” ujar Mahasiswi Jurusan Komunikasi Unhas ini.
Berawal dari Nahkoda Kapal Tangkap Ikan
Sebelum berjualan es teler, Rasyid adalah nahkoda kapal ikan asal negeri matahari terbit. “Pernah itu sekolah di Jepang. Dipanggil sama bosnya. itu waktu muda, sebelum menikah. Dia yang kasih jalan kapal penangkap ikan. Yah, nahkoda. saya lupa nama kapalnya, tapi kapal Jepang. Biasa itu bapakku bawa saya ke Paotere (tempat pelelangan ikan di Makassar) baru tunjukan itu, nama kapalnya. Oh KM (Kapal Motor) Bonecom, itu nama kapalnya, kapal penangkap ikan,” ujar Nurhayati yang sumringah.
Rasyid, lahir di Pangkajene dan Kepulauan, disingkat Pangkep, sebuah Kabupaten dengan puluhan pulau-pulau kecil. Tumbuh di daerah itu, Ia pandai dalam urusan berenang, hobinya tidak jauh-jauh dari perairan, memancing. “Paling jago. Itu kalau pergi memancing, banyak dia bawa pulang ikan. Itu juga yang kami makan sekeluarga,” tutur Nurhayati.
Kemampuan itu yang jadi bekal Rasyid untuk menjajal profesi sebagai nahkoda kapal penangkap ikan.
Nurhayati bilang, ayahnya tak pernah menempuh pendidikan keahlian pelaut. “Almarhum itu hanya sekolah sampai SD. Dulu ada namanya SR (sekolah rakyat), itu lagi tidak sampai tamat, karena kalau disuruh pergi sekolah, malahan pergi memancing. Cuman dia pintar membaca.”
Selain itu, wanita berhidung mungil ini meyakini ayahnya punya firasat jitu lokasi dimana ikan berlimpah di lautan. Pelayaran pertama dimulai saat Rasyid berusia 26. “Berlayar sekitar pulau di Sulawesi sampai Kalimantan,” ungkap Nurhayati.
Saat berlayar di Kepulauan Selayar, Rasyid bertemu wanita yang belakangan dinikahinya. “Mamaku mi. saya lupa tahun berapa nikah,” tutur Nurhayati sambil mendongak menerima pesanan dari dua pria berseragam loreng.
Ia menggambarkan ayahnya bertubuh tinggi, kekar, perawakan tegap. Wajahnya simetris, hidung mungil. “Kayak itu bapak tentara,” kata Nurhayati, menunjuk satu dari dua tentara yang baru saja membungkus empat es teler.
Adil Berpoligami
Abdul Rasyid menghembuskan napas terakhir pada 27 Agustus 2021, di usia 87 tahun. Selain meninggalkan es teler legenda. Almarhum memiliki empat kapal penangkap ikan untuk usaha ekspor ikannya yang dikelola anak-anaknya. Lima rumah bertingkat di Kabupaten Maros dan Makassar, jadi gambaran kesuksesan sang juragan es teler.
Nurhayati menuturkan, dua tahun sebelum meninggal, ayahnya masih rajin ke angkringan usahanya di pekuburan Panaikang. “Tidak lama begitu, bulan Juli masuk Rumah Sakit Stella Maris. Komplikasi jantung sama paru-paru,” ujarnya.
Ia berkisah, bapaknya sudah jauh-jauh hari menyiapkan kematiannya. Sepulang ibadah haji pada 2003, Rasyid bertekad membangun masjid di kampung halamannya, Dusun Alekarajae, Desa Padang Lampe, Kecamatan Ma’rang, Kabupaten Pangkep.
Pengerjaan Masjid yang dinamai Al Rasyid itu selesai 2017, di samping bangunan rumah ibadah bercat hijau dan kuning itu dibuatkan makam. “Dia bilang ‘kalau saya mati simpan di sini. Jadi dipersiapkan sendiri memang kuburannya,” tutur Nurhayati.
“Baru bagusnya dia (Rasyid) itu bisa tahu kapan dia meninggal. Dia bilang ‘saya mati nanti Jumat subuh’. Betul itu, meninggalnya pas jam 5 sebelum salat subuh. Bersamaan mengaji-mengaji masjid samping rumah di Maros”
Nurhayati masih ingat betul detik-detik ayahnya meninggal. “Sebelum Isya masih nonton teve, mulai tidak enak perasaannya di situ. Masuk ke kamar, tidak lama begitu dia panggil saya, duduk di sampingnya. Pas sudah salat, jatuh pas di pangkuan tanganku, saya tuntun syahadat, lancar. Tidak lama begitu meninggalmi,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
“Baik betul itu bapakku, biar banyak istrinya tapi tidak disia-siakan, dia adil. Bagus pembagiannya. Jadi kita anak-anaknya tidak ada yang baku berkelahi, ribut-ribut karena bapak adil,” ungkap Nurhayati sambil melap air matanya.
Saya tersentak. Nurhayati yang masih lirih, bersedia melanjutkan pertanyaan soal banyaknya istri bapaknya. “Ada 17 itu istrinya. Mamaku, istri kedua. Istri pertamanya sudah lama meninggal, namanya Misa, kena kanker payudara,” ucapnya.
Ratna, saudara kandungnya menyambar obrolan kami. Ia menceritakan ibu mereka, Rajawan jadi pembuka keran poligami Rasyid. “Mamaku itu tidak ambil pusing, dia ikhlas. Karena itu tadi bagus bagi-baginya Haji. Jadi tidak apa-apaji. Sakit hati sih tapi tidak terlaluji,” katanya tertawa besar, respon yang sama juga dilakukan Nurhayati yang seperti bangkit dari kesedihan. Mereka tertawa terbahak.
Ratna menuturkan dari 17 istri, ayahnya, menghasilkan 12 anak perempuan, 25 laki-laki. “Tapi yang masih hidup saya bersaudara semua itu 27. Perempuan empat, sudah meninggal. Laki-laki enam orang, sudah meninggal,” ucapnya. “Kalau cucu ada 67, sudah ada lagi anaknya itu cucunya. Iya cicit, 32 orang.”
Kegemaran menikah, Rasyid seolah diamini istri-istrinya sebelumnya. Ratna bilang beberapa istrinya malah pergi melamar calon ibu tirinya. Asal nya beragam tapi masih di daerah Sulsel, ada dari Jeneponto, Sinjai, Pangkep, Gowa, Bone dan Makassar. “Ada orang Cina juga. Kalau yang gadis itu sekitar 10 orang dinikahi. Jauh beda usianya. Karena kalau dicarikan istri baru, pasti dikasih uang, makanya istrinya yang pergi lamarkan itu perempuan,” tuturnya.
Ratna mengaku laku poligami ayahnya tak mempengaruhi ketentraman keluarga besarnya. Rasyid dianggap pandai membagi waktu dan kebutuhan hidup belasan istri dan puluhan anaknya. “Karena kakekku juga itu banyak istrinya. Bapakku anak tunggal. Empat dia mamanya,” ungkapnya menutup.
BACA JUGA Asal Mula Banyak Orang Lamongan Jualan Pecel Lele dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.