Pak Arifin atau dikenal dengan Pak Gombloh adalah nama yang beberapa hari lalu menjadi perbincangan di media sosial. Kisahnya yang cukup getir dan menyedihkan membuat warganet memberi perhatian lebih. Menurut cerita yang sudah beredar, Pak Gombloh adalah orang yang selama bertahun-tahun duduk di sudut kawasan Kayutangan, Malang, menunggu kedatangan seseorang yang diduga adalah kekasihnya. Pak Gombloh, yang nama panggilannya berarti ‘bodoh’, dipisahkan dengan orang tersebut oleh satu peristiwa politik. Pak Gombloh berusaha menepati janjinya kepada orang yang ditunggu dengan setia duduk di emperan toko, setiap hari, hingga ajal menjemputnya.
Cerita ini membuat saya kembali menyusuri kawasan Kayutangan, kawasan legendaris di Kota Malang, untuk menggali cerita itu lagi. Cukup susah memang untuk mencari lokasi atau tempat Pak Gombloh dulu sering duduk karena desain toko yang sebagian besar sama, serta tidak ada penanda yang mengisyaratkan lokasi Pak Gombloh. Foto yang menjadi modal saya mencari lokasi tersebut dipotret pada akhir 2016 atau sudah empat tahun lalu. Bisa jadi sudah banyak yang berubah.
Pencarian saya berakhir di sebuah toko kosong yang sudah tutup dan dindingnya dipenuhi coretan. Bagi yang familier dengan Kota Malang, toko ini berada di sekitar MPM Honda Motor hingga Toko Surabaya. Saya mencoba menghampiri salah seorang tukang parkir yang menjaga di sana. Pak Sempu namanya. Beliau mengaku selama puluhan tahun berada dekat dengan Pak Gombloh karena tiap hari nongkrong di tempat yang sama.
“Permisi, Pak, jenengan tahu orang ini?” tanya saya setelah memperkenalkan diri, sambil menunjukkan foto Pak Gombloh yang sedang duduk di emperan toko.
“Oh, Gombloh itu. Iya, bener, orangnya suka duduk di depan situ,” Pak Sempu menunjuk ke tempat di mana Pak Gombloh sering duduk.” Ia berkata lagi, “Orangnya sudah mati, ditabrak sepeda motor.”
“Itu orang mana ya, Pak?”
“Orang Ngantang, tapi ya tidak ada yang tahu Ngantang-nya mana. Wonge yo ora duwe dulur (orangnya juga tidak punya saudara).”
Untung jalanan sedang sepi, saya jadi bisa ngobrol panjang dengan Pak Sempu tanpa mengganggu pekerjaannya. Sembari duduk di bangku trotoar depan MPM Honda Motor, saya mengawali perbincangan dengan menceritakan kembali kisah hidup Pak Gombloh berdasar apa yang beredar di media sosial. Saya ingin tahu apakah semua cerita itu benar.
Pak Sempu mengiyakan sebagian besar cerita yang saya sampaikan. Katanya, Pak Gombloh memang berasal dari Ngantang, 48 km dari Kayutangan ke arah barat. Katanya, Pak Gombloh memang selama ini menunggu seseorang. Ia sudah melihat Pak Gombloh menunggu di tempat tersebut kurang lebih sejak 1992.
“Setiap hari duduk di situ, dan kalau tidur ya di situ, di bawah situ, lemek (beralas) kardus,” kata Pak Sempu sambil menunjuk ke trotoar di depan tempat Pak Gombloh biasanya duduk. Cerita mengenai Pak Gombloh yang pulang pergi dari Ngantang ke Kayutangan terbantahkan di sini. Namun, perihal kisah cinta Pak Gombloh, belum ada yang mengatakan itu tidak betul.
Pak Sempu bekerja di tempat itu bertahun-tahun, namun ia tidak pernah berbincang secara intens dengan Pak Gombloh mengenai kisah hidupnya. Pak Sempu juga tidak tahu pasti, siapa yang ditunggu, dan apa kisah di balik penantiannya. Bahkan, Pak Sempu dan beberapa orang di sekitar lokasi menganggap Pak Gombloh seperti orang tunawisma pada umumnya.
“Dulu sering bantu-bantu parkir. Tak biarkan saja, lumayan buat beli rokok atau beli makan. Kadang juga ada orang naik mobil yang ngasih, entah itu makanan atau uang.”
Untuk menggali kisah cinta Almarhum, saya menghubungi M. Aan Mansyur, penulis dan penyair dari Makassar yang beberapa tahun lalu sempat mengabadikan foto Pak Gombloh dan berbicang sedikit dengannya. Melalui pesan di Twitter, Aan menjelaskan bahwa cerita itu memang sudah menjadi semacam urban legend di Malang.
“Saya tanya Pak Arifin. Dia, setelah beberapa kali saya tanya sedang menunggu siapa, awalnya hanya mengaku sebagai tukang parkir di area situ. Tapi saya lama duduk di situ dan melihat ada tukang parkir (lengkap dengan rompi dan peluitnya) bekerja di depan kami. Dia sama sekali tidak pakai rompi. Fakta itu membuat saya saya terus bertanya. Dia menatap saya cukup lama sebelum bercerita,” kata Aan
Ketika saya bertanya apa peristiwa politik yang memisahkan Pak Gombloh dan kekasihnya yang ia tunggu, Aan hanya menjawab, “Saya tanya lebih jauh peristiwa apa. Tapi, dia tidak menyebut spesifik apa-apa selain: Soeharto, Soeharto….” Dalam cerita yang beredar pun, tidak disebut peristiwa spesifik apa yang bikin Gombloh menanti puluhan tahun. Tidak ada yang tahu pasti, bahkan Pak Sempu juga tidak.
“Saya lupa apakah dia menyebut nama atau tidak. Tapi dia menunggu. Ketika saya bertanya sedang menunggu siapa, yang paling saya ingat, dia diam dan menatap saya cukup lama,” kata Aan lagi.
Pencarian kisah hidup Pak Gombloh membuat saya memberanikan diri menuju Ngantang, di ujung barat Malang Raya, sekitar 48 km dari Kayutangan, tanpa petunjuk apa-apa. Saya hanya berharap orang yang saya tanya di Ngantang ada yang tahu beliau, dan bisa memberi petunjuk lebih spesifik lagi. Namun sayang, setelah bertanya di tiga tempat berbeda, tidak ada yang tahu beliau, atau kisah hidup beliau. Saya juga akhirnya sadar Ngantang memang tidak seluas daun kelor.
Kisah hidup Pak Gombloh yang sudah beredar memang getir dan menyedihkan. Dan kalau benar apa yang diceritakan bahwa Pak Gombloh menanti kekasihnya selama 26 tahun dengan duduk di emperan toko, mungkin inilah yang disebut cinta sejati yang berakhir tragis. Bahkan akhir kisah penantian Pak Gombloh tidak kalah mengenaskan. Pak Sempu yang menjadi salah satu saksi akhir sedih hidup Pak Gombloh beserta penantiannya itu. Begini ceritanya kepada saya.
“Waktu itu sedang gerimis, Pak Gombloh sedang menyeberang jalan ke depan, lalu dari arah utara ada motor kencang dan menyerempet Pak Gombloh. Pak Gombloh terpelanting dan terkapar di trotoar di seberang itu,” kata Pak Sempu sambil menunjuk lokasi di mana kejadian tragis itu terjadi.
“Motornya langsung kabur begitu saja. Beliau langsung dibawa ke rumah sakit dan meninggal setelah sekitar dua atau tiga hari dirawat,” lanjut Pak Sempu.
Kematian Pak Gombloh pada 2018 menjadi penutup kisah satu anak manusia yang menunggu cinta hingga tarikan napas terakhir. Romeo Juliet mungkin sama-sama dipisahkan karena perbuatan orang lain, namun setidaknya mereka sempat bertemu. Kisah cinta Jack dan Rose juga berakhir tragis, tapi mereka masih menatap satu sama lain hingga akhir. Sedangkan Pak Gombloh tidak. Pak Gombloh tidak pernah bertemu seseorang yang ditunggunya. Namun setidaknya, Pak Gombloh sudah menepati janjinya untuk menunggu di tempat yang seharusnya. Dan di hari-hari seperti ini, sifat menepati janji semakin mahal harganya.
Selamat Hari Valentine. Jika kamu masih cukup beruntung dibersamai orang-orang tercinta, jangan lupa menyayangi mereka. Ada kalanya kebersamaan itu adalah kemewahan yang tak bisa orang lain miliki.
Featured image oleh dan milik M. Aan Mansyur. Dimuat ulang oleh Mojok.co atas izin pemilik.
BACA JUGA Mengajar Ngaji dan Santrimu Waria Semua dan liputan Mojok lainnya.
[Sassy_Social_Share]