Ghosting: Antara Perih Korban dan Kepuasan Pelakunya

Ghosting, menyebabkan perih korbannya dan kepuasan pelakunya. lIustrasi Photo by Priscilla Du Preez on unsplash

Ghosting, menyebabkan perih korbannya dan kepuasan pelakunya. lIustrasi Photo by Priscilla Du Preez on unsplash.

Ghosting sungguh tidak berperikemanusiaan, begitu yang dikatakan Babas (22). Dengan perasaan paling getir dan menundukan kepala yang amat melankolis, Babas bercerita bahwa ia ditinggalkan oleh seorang perempuan yang mampu meluluhkan hatinya.

Di sebuah warung burjo yang bertahan buka hingga sepertiga malam di bilangan Sleman selatan, Babas tengah duduk menanti kehadiran saya. Dari parkiran, saya melihat tubuhnya lemas seperti kurang makan, lunglai menyambut kerasnya dunia, bahkan hanya untuk sekadar duduk dan menyapa hadirnya saya di meja burjoan pilihannya. Meja kesukaannya. Meja yang katanya penuh dengan kenangan walau begitu singkat.

Matanya sembab sisa tangis semalam. Hitam legam seperti menyimpan problematik kisah percintaan yang tiada habisnya. Perjalanan menyambut pagi yang amat berat bagi laki-laki bernama Babas saat menanti mentari menyingsing. Air matanya berderai tak berkesudahan di sebuah pojok burjonan. Hujan deras mengguyur Sleman, seolah-olah dukungan pada Babas agar melapangkan kesedihan.

Babas melihat saya, mata merahnya seakan mengamini pesan WhatsApp-nya sehari sebelum kami janjian untuk bertemu, bahwa ia akan mabuk-mabukan merayakan patah hati yang sepatah-patahnya itu. “Aku kemarin mabuk hebat, namun tidak menyelamatkanku seutuhnya,” katanya dengan lirih. Bahkan suara air hujan yang bersimbah jatuh di luar sana, lebih riuh ketimbang getar suara Babas yang tenggelam ditelan kesedihan.

Ia merasa jatuh dan tidak sanggup untuk bertahan hidup manakala seorang perempuan singgah dalam kehidupannya, menghadirkan warna dan kebahagiaan, namun esoknya perempuan itu hilang entah ke mana.

“Seperih itu efek yang terjadi karena ghosting, Bas?” tanya saya.

Babas hanya mengangguk dengan begitu ritmis. Lamat-lamat ia berkata dengan lambat, “Seperih itu.”

Ghosting itu jahat dan tidak ada pidananya

“Doi hilang ditelan bumi. Bahkan jika harus mencari, gue justru akan terlihat makin bodoh daripada ini. Cukup gue goblok karena di-ghosting, jangan sampai gue hadirkan kegoblokan yang lain, nyariin doi lagi, misalnya,” kata Babas menahan tangis.

“Lo tau sendiri gue jarang mau deket sama cewek,” katanya lagi.

“Gue merasa nyaman sama itu cewek, sih. Nyaman banget. Gue kek merasa… akhirnya ada cewek yang liat gue secara utuh. Bukan hanya dari followers atau cara gue shitposting di media sosial,” katanya.

Laki-laki yang menasbihkan dirinya untuk bermain TikTok dan beberapa kali videonya FYP ini mengaku bertemu dengan perempuan itu di aplikasi yang serupa. “Waktu TikTok masih trend dance Heartbreak Anniversary, doi komentar dan gue tanggepin. Nggak berselang lama saling kontak dan ketemuan.”

Just like the day that I met you, the day I thought forever, begitu lirik yang termaktub dalam penggalan lagu milik Giveon. Lagu yang menurut Babas, penuh dengan kesedihan, namun entah kenapa warga TikTok kebanyakan menari dengan gembira bersama pasangannya.

Pertemuan mereka amat singkat, begitu kata Babas. Ia menceritakan bagaimana bertemu, berkenalan, dan juga menabur cinta di antara kedua belah pihak. Melalui suara paraunya, Babas berkata, “Heartbreak Anniversary yang nyatanya emang jadi bener-bener heartbreak bagi gue. Setelah pertemuan kedua, bener-bener hilang. Bajingaaan!”

Ketika ditanya kenapa tidak dibuat konten saja sebagai sarana pelarung luka, Babas menggeleng dengan bijak. Laki-laki yang memilih untuk mengunci sementara akun TikTok-nya ini kembali menerangkan, “Gue nggak mungkin jadikan kejadian ini sebagai konten karena menurut gue, spill nggak bakal bikin jera. Toh gue juga nggak bakalan puas semisal doi di-bully secara publik. Udah, biar gue sendiri yang nanggung luka.”

Dengan tangan kanan yang mengambil gelas, lantas menyeruput teh anget yang ia pesan dengan pelan, Babas berkata bahwa ghosting merupakan kejahatan sosial yang belum ada hukum yang membahasnya. “Kadang malah korban yang dapet hukuman, Bro. Ya lo bayangin aja ketika lo demen banget dapet cewek, terus cewek itu nge-ghosting lo. Tongkrongan bakal ketawa, lingkungan bakalan gosipin lo di belakang,” katanya.

Hujan mengguyur deras burjonan tempat janjian kami. Jam pun menunjukan angka yang tidak bisa lagi dikatakan malam. Pagi hampir tiba. Jam dua malam di bilangan Sleman Selatan, hujan mengguyur dengan stagnan, dan Babas mulai berani menjabarkan dengan perlahan. Ia berkata, “Jahat banget, Bro. ghosting itu setara pembunuhan. Bedanya, nih, ya, yang dibunuh itu mental yang lo punya!”

Babas menjadi menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa eksistensinya di dunia sudah sirna seutuhnya. Ia justru menjadi rendah diri dan merasa bahwa ada yang salah dengan dirinya karena di-ghosting, alih-alih menyalahkan pelaku yang men-ghosting dirinya.

“Gue jadi mikir, Bro, apa yang salah dengan fisik gue, pikiran gue, sampai gue mikir apa gue nggak layak dicintai, ya? Bahkan gue mikir apakah parfum yang gue punya nggak cocok. Apa rambut gue bau? Apa gue norak?” katanya.

Berbagai pertanyaan berkelindan di kepala Babas, namun tidak dengan Prames (24) yang juga pernah menjadi korban ghosting. Ditemui via pesan Instagram, Prames mengatakan bahwa ia sebenarnya bisa merasakan “sinyal-sinyal” bahwa partnernya tersebut akan ghosting, namun entah bisikan dari mana, ia merasa luluh akan tindakan si partner tersebut.

“Termasuk bagian dari risiko nggak, sih, Mas?” isi pesannya sebagai pembuka. Menunggu mengetik panjang lebar, Prames menulis, bahwa ghosting menjadi bagian risiko dari jatuh cinta. Selain itu, baginya, ada juga obsesi sesaat, tidak melihat secara matang bagaimana ke depannya.

“Saya, sih, anggap orang yang ghosting ini masih bocah. Udah gede, masih saja terjebak dalam skenario cinta jaman-jaman SD,” ketiknya sembari bercanda. Prames menyadari bahwa ia tidak bisa berbuat banyak kepada orang-orang bertendensi bakalan ghosting. “Tapi aku seakan sudah mempunyai kekebalan tubuh sendiri buat menyikapi hal ini semisal terjadi… Lagi, lagi, dan lagi,” katanya.

Perempuan yang sempat menjadi brand ambassador sebuah perusahaan di Yogya ini kembali mengatakan, “Udah kayak samsak. Udah pernah merasakan sakit yang bener-bener mengamini To the Bone-nya Mas Pamungkas, alias sakit sampek ke tulang-tulangnya! Dan aku sadar itu nggak baik buat mentalku sendiri.”

 Dia yang baper, dia yang kalah

Maya, salah satu pakar dalam seni ghosting dan malang melintang bermain untuk aplikasi Prisga—yang dulunya bernama Secreto—mengatakan bahwa meng-ghost ini sebenarnya biasa saja. “Seperti sebuah kesepakatan nggak tertulis. Ketika match, ngobrol, terus ternyata nggak nyaman dan nggak nyambung, lantas gimana, dong?”

Maya yang merupakan salah satu Selebga—selebriti di aplikasi Prisga—mengaku sudah biasa di-ghosting dan meng-ghosting. Menurutnya, saling ghost adalah bentuk penolakan dini. “Bagi gue nih, ya, lebih baik ghosting orang ketimbang memaksakan masuk ke dalam sebuah hubungan, saling terikat lebih dalam, terus di tengah jalan berpisah. Bagi gue cinta bukan coba-coba, sih, Bang,” tulisnya dalam aplikasi Prisga.

Bagi korban ghosting, perasaannya tersakiti. Foto ilustrasi oleh Kristina Tripkovic on unsplash.com.

“Lagian banyak kok di sini yang cuma sekadar sange doang. Bahkan cuma gabut dan ngisi waktu ketika pacarnya di dunia nyata sibuk gitu juga ada dan nggak sedikit. Daripada nyari keseriusan di aplikasi anonim, mendingan gue nyari jarum di tumpukan jerami sekalian, dah,” ketiknya.

“Kalo gue ya, Bang, lebih baik nge-ghost ketimbang serius sama orang asing yang ternyata ketika diseriusin malah bangsat,” pungkasnya.

Ketika saya bertanya kemungkinan seseorang baper di aplikasi anonim seperti Prisga, Maya membalas dengan emotikon tertawa. Ia memberi kejelasan atas emotikon yang ia kirimkan, “Aturan di dunia anonim nih, ya, yang pertama kali baper, itu dia yang kalah. Ngeri, kan?”

Babas memiliki pandangan lain. Ia berkata bahwa semisal ghosting di jalankan ketika masih chat atau di pertemuan pertama, mungkin sakitnya tidak signifikan. “Ya, lo bayangin deh, Bro, gue emang ketemunya di TikTok, tapi kan gue udah kenalin sama lingkungan bahkan karib gue di Jogja. Ketika tiba-tiba hilang, nggak bales pesan, ya sakitnya beda dengan yang sekadar di-ghosting di aplikasi anonim.”

Babas menganggap bahwa seseorang yang masuk di aplikasi anonim ini seperti sudah menandatangani syarat dan ketentuan untuk terluka. “Di-ghost ketika baru kenalan dan yang sudah nge-date itu beda rasanya, Bro. Apalagi yang sudah masuk ke tahap pacaran,” kata Babas.

Ia melanjutkan, “Okelah kalau di-ghost ketika kenalan, gue bisa mawas mungkin pikiran gue sama doi nggak nyambung, cara gue bahagia beda sama doi, atau fisik gue emang bukan kriteria. Nah kalau sudah ketemu, pacaran, bangsatnya besoknya hilang, kan gue jadi insecure. Nih, ketika gue anggap semua kekurangan gue udah diterima, justru mendapat penolakan dari pacar gue yang notabene udah gue percaya, damage dari sakitnya itu nggak ngotak, Bro.”

Babas setuju bahwa ghosting di aplikasi anonim adalah bentuk penolakan, “Tapi apa nggak ada jalan lain selain ghosting? Jadi temen atau nambah-nambah followers di Instagram, contohnya,” katanya sambil terpaksa mengembangkan sebuah senyuman.

Maya justru sebaliknya, “Ada konsep tersendiri main aplikasi anonim, Bang. Mendingan ghosting ketimbang identitas pribadi didapat oleh orang-orang asing dan kebetulan bikin kita ngerasa nggak nyaman.”

Ada kepuasan setelah Ghosting

“Minta maaf? Bukannya itu malah bikin luka untuk kedua kalinya?” kata Sonya (27) melalui pesan Tinder ketika saya tanya apakah ia pernah meminta maaf kepada korban-korban ghosting-nya. Alasan Sonya memang terdengar jahat, namun menurutnya itu lebih baik ketimbang datang lagi dan minta maaf. “Toh aku nggak tahu ya bagaimana responnya. Kalau sengaja bikin aku baper dan gantian di-ghosting, bisa repot, deh,” dalihnya.

Pendapat Sonya memang terdengar jahat, namun Andres (23) punya jawaban yang menurut dirinya sendiri amat jahat. Katanya, “Aku malah merasa ada kepuasan tersendiri pascaghosting orang. Aku jahat, aku akui, tapi nggak tahu kenapa selalu muncul rasa puas yang amat hakiki.”

Andres menjelaskan lebih lanjut, “Jadi misal aku janjian makan siang, nih. Terus doi minta makan di tempat A yang kebetulan nggak cocok sama kantongku. Daripada ngobrol dan menemukan titik tengah, aku malah mending ghosting dia dan… yaudah, aku anggap selera kami berbeda.”

Andres terkesan memiliki jawaban seperti Sonya, ia memilih untuk saling blokir dan mengakhiri komunikasi. “Ya, namanya ghosting. Pun aku sadar kok. Aku juga bisa mikir pasti bakal muncul persepsi dari orang yang aku ghosting. Ya gimana, yang nyari bahagia bukan doi doang, aku juga pengin bahagia, kan?” tutup Andres melalui pesan singkat di Facebook.

Andres menganggap bahwa ghosting itu bentuk wujud sayang kepada diri sendiri. “Ngobrol baik-baik itu susah. Ketika kondisi salah satu pihak sudah menolak dan memutuskan nggak mau, ngobrol itu percuma. Aku cuma pengen hemat waktuku aja. Jadi ya sudah deh, rasanya lebih nikmat ketika harus ngobrol.”

Laki-laki yang pernah ghosting pacarnya yang berjalan selama dua bulan ini mengaku tidak pernah kapok. Ia menganggap bahwa ketimbang bilang kamu terlalu baik buat aku, mendingan juga ghosting. “Aku nggak pernah ngerasa bersalah. Justru aku menyalahkan partner aku karena terlalu sayang sama aku,” tutupnya.

Orang yang kalian ghosting juga punya hak untuk bahagia

Meringkas pengalaman beberapa narasumber, baik itu meng-ghosting atau di-ghosting, saya menyimpulkan ada beberapa kondisi yang menimbulkan tingkatan perih. Pertama, ghost pasca-match. Dalam artian, belum saling bertemu dan berkenalan lebih jauh. Hanya berkenalan, kemudian hilang begitu saja.

Kedua, sudah match, berkenalan cukup lama, namun hanya via chat saja. Dalam artian, tidak pernah ketemuan, namun nyaman, kemudian hilang. Jika ghost dilakukan dalam tahap ini, kata Babas, hasil yang ditimbulkan lumayan perih dan muncul tendensi tidak percaya diri kepada si korban.

Ketiga, di-ghosting pasca-ketemuan. Efeknya bagi si korban adalah tidak percaya diri kepada tubuh, maupun apa yang melekat pada tubuhnya. Akan muncul banyak persepsi mulai dari fisik, paras, hingga kondisi bau badan. Biasanya akan menggangu stabilitas pada pertemuan dengan lawan jenis berikutnya.

Ketiga, yang paling perih, di-ghost dalam kondisi sudah pacaran dan ketemuan. Kalau yang ini… Entahlah bagaimana lagi saya harus menggambarkan kondisi ambyar, amburadul, hancur lebur, babak bundas-nya kondisi hati dan perasaan korban.

Kembali kepada Babas, ketika saya paksa untuk makan nastel ala burjonan agar kondisinya prima, ia malah berkata, “Kadang rasa salah pascange-ghost itu nggak bisa datang secara tiba-tiba, Bro. bertahap.”

Babas melanjutkan, “Harus ada proses yang menyertai. Pikir gue, orang yang nge-ghosting, mungkin menganggap bahwa jalan yang ia pilih itu benar. Suatu saat orang itu bakalan sadar bahwa dunia nggak hanya berputar di atas kepala dan perasaannya.”

Ketika azan subuh sudah mulai melantun dan mengalahkan suara deras hujan, Babas kembali bertutur, “Mungkin baik juga ya mementingkan perasaan sendiri, self-love, atau apapun itu istilahnya. Namun dengan satu catatan yang harus diwanti-wanti, Bro, pokoknya jangan sampai hancurkan perasaan orang lain. Karena pihak yang lo hancurin itu juga punya hidup dan impian untuk bahagia, bukan cuma lo doang yang punya.”

Hujan mengguyur deras dan membuat basah seluruh Sleman, diiringi tangis Babas yang menerobos pertahan di pipinya secara pelan-pelan. “Hidup nggak melulu tentang cinta, gue tahu, Bro. Gue layak bahagia bagaimana pun caranya. Kan, hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya,” tutup Babas dengan merapalkan salah satu mantra milik Dea Anugrah.

BACA JUGA Makam Rara Mendut dan Pesan Perempuan Cantik Berambut Panjang liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version