Gen Z Bukannya Tak Mau Kerja Keras, tapi Upah Murah dan Lingkungan Toxic Itu Memang Masalah

Ilustrasi Gen Z Bukannya Tak Mau Kerja Keras, tapi Upah Murah dan Lingkungan Toxic Itu Memang Masalah (Ega Fansuri/MOJOK.CO)

Salah satu tantangan anak muda masa kini ialah upah murah saat kerja. Boro-boro beli rumah, cukup untuk biaya kebutuhan sehari-hari saja sudah syukur. 

Mojok ngobrol dengan tiga anak muda yang menceritakan bagaimana kerja keras mereka tak sebanding dengan upah murah yang mereka terima. Bukan hanya upah Yogyakarta yang katanya rendah, para anak muda dari kota lain pun banyak yang gajinya masih berada di bawah garis UMR.

***

Upah murah yang tak masuk akal

Caca (nama samaran, 23) adalah seorang broadcaster di Kota Malang. Ia bekerja 6 hari dengan upah kurang dari setengahnya UMR Kota Malang.

Ia sudah bekerja selama 10 bulan di salah satu perusahaan. Ini adalah pengalaman pertamanya sebagai profesional pasca-lulus kuliah. Sebelumnya hanya sekadar magang dan relawan campaign tanpa dibayar. Ia juga coba peruntungan di UMKM milik saudara, yang ini Caca dapat bayaran.

Di tempat sekarang, Caca berstatus pekerja lepas. Ia sempat mikir-mikir sebelum menerima, tapi akhirnya memilih lanjut karena saat itu belum ada tawaran lain. Sejak awal kontraknya, tak ada negosiasi. Perusahaan mengatakan, kalau tak berkenan dengan penawaran bayaran Rp12.500 per jam, perusahaan akan memilih kandidat lain. 

“Benar-benar kontraknya tidak menjurus, general bgt. Pihak satu bersedia menjadi pengisi acara dalam semua kegiatan dalam perusahaan. Nggak ada detail. Isinya gitu aja, kalau misal cuti harus cari ganti. Jam kerja bagi rata sama yang lain. Ada peraturan tapping. Kalau pengajuan resign minimal 1 bulan sebelum keluar, jadi gitu isi kontrak. Nggak bisa dinego karena kita freelance,” terangnya kepada Mojok, akhir September lalu.

Caca ditawari minimal tiga jam kerja atau menyesuaikan freelance lain, jam siarannya akan dibagi rata. Saat masa training, ia mendapat jatah lima jam dengan lima hari kerja. Upah yang diterima berkisar 1,2 juta sampai 1,5 juta. 

“Selesai training jam kerja udah dibagi rata, gajiku ga pernah angka 1 juta. 700, 800, 900 ribu itu kayak udah buanyak banget. Itu jam kerja dengan empat freelance termasuk aku,” ujarnya. 

Beban kerja sejak training sudah tak masuk akal. Perusahaan seolah-olah mengandalkan keinginannya untuk belajar sebagai tameng. “Ya udah kamu kan pengen belajar, kamu dapat ilmu,” begitu penuturan Caca soal tanggapan perusahaannya.

Caca menyadari ilmu memang tak bisa dinilai dengan uang tetapi dirinya bekerja secara profesional, sehingga menurut Caca harusnya ada harga yang dibayar. 

Kerja keras bagai kuda tapi upah tak seberapa

Broadcaster di perusahaan tersebut tidak ada yang berstatus tetap, semuanya freelance. Namun, satu-persatu gugur karena berbagai alasan. 

Jatah siarannya menjadi 7 jam sehari dengan waktu kerja 6 hari. Akan tetapi, dirinya di kantor bisa sampai 12 jam dari jam 6 pagi ke jam 6 sore. Kalau ada event off air, waktunya tersisa lima jam lebih banyak. Hal ini tidak dihitung lembur karena perusahaan menyebutnya all in include.

“Beban kerjaku semakin ditambah karena harusnya beban 4 orang. Gaji kita nggak signifikan nambahnya. Sebelnya mereka sempat bilang, sistem kerja kita kayak borongan. Tukang rumah aja hitungannya per hari 85-90 ribu, kita nggak ada segitu. Bayangin aja 12,5 x 7 tapi di tujuh jam itu ga langsungan terus. Ada kerja waktunya. Capek banget di kantor 12 jam-an,” keluhnya.

Dari jam siaran satu ke jam siaran lainnya, Caca mau tak mau menunggu salah satu alasannya karena rumahnya cukup jauh di Kabupaten Malang. Ia pun tak bisa beristirahat di sela-sela waktu tersebut karena atasannya sering menyuruh ini itu.

“Seenak-enaknya istirahat di tempat kerja pasti nggak seenak istirahat di rumah.  Jelasnya bukan ini aja yang aku kerjain. Loading barang juga, prepare lah intinya. Nah, orang-orang di kantor tuh cuma duduk-duduk aja sambil nyuruh,” kata Caca.  

Disuruh sabar dan malah adu nasib

Caca bukan tak pernah protes, sayangnya tiap protes atasannya malah adu nasib. Ia disuruh sabar saja. Apalagi setelah broadcaster tersisa dua orang, ia pernah menyampaikan keluhan dari cara halus sampai agak kasar.

“Mereka malah adu nasib, ‘Sama, aku juga gitu, capek’. Ya, kamu juga capek tapi bayaranmu dua  kali UMR. Bayaranku muentok itu 1,8 itu pun sekali seumur hidupku. Bulan September nggak sampai 1,8,” kata Caca geram. 

Bulan depan kontraknya habis, Caca berencana resign karena merasa sudah tak sanggup menghadapi beban pekerjaannya. Terlebih lagi dirinya sangat sulit izin. Caca menyadari pekerjaannya dengan upah tak masuk akal ini juga menyebabkan sulit bertemu teman dan keluarga.

Upah murah, beban kerja berlapis, dan perilaku buruk atasan

Fafa (22) mencoba mencari pengalaman di salah satu coffee shop di Jakarta saat masih kuliah daring. Kebetulan tempat kerjanya jadi satu dengan restoran makanan jepang pula. Bisa dibilang ia mengurusi dua tempat sekaligus.

Selain mencari pengalaman, Fafa ingin punya pemasukan di waktunya yang masih fleksibel karena kuliah daring. Alasan lain karena ia merasa finansial menjadi tekanan tersendiri. Ia adalah penerima beasiswa di SMA, tak enak hati kalau sepenuhnya bergantung pada orang tua.

“Mereka itu punya 2 manajemen berbeda tapi running bareng-bareng. Saya satu-satunya waiter yang dipekerjakan, skalanya nggak terlalu besar jadi nggak masalah buat saya,” katanya. 

kerja dengan upah murah dialami gen z
Kerja dengan upah murah dan jam kerja berlebih dihadapi oleh anak muda atau Gen Z. (Ilustrasi Photo by Kate Townsend on Unsplash)

Ia mengakui, beban kerja tak sesuai menyulitkan aktivitasnya. Ia tak pernah dapat kontrak kerja, hanya mendapat penjelasan. Penjelasan soal tupoksi yang kelak saat ia sudah bekerja malah ganda.

Briefing pertama, beban kerja hanya waiter yang menyajikan makanan ke pelanggan dan ramah tamah, hospitality. Seiring berjalannya waktu, saya harus siapkan makanan walaupun nggak masuk kitchen tapi menyiapkan sendok, garpu, jadi kasir. Dan sebenarnya saya sangat nggak sreg atas job desk baru atas kebersihan dining, termasuk kamar mandi dan mushola,” terangnya.

Sejujurnya Fafa tak menyetujui karena alasan kebersihan. Penyajian makanan sesudah bersih-bersih membuat pelanggan biasanya kurang berkenan.

Baca halaman selanjutnya…
Dipermalukan di depan pelanggan

Dipermalukan di depan pelanggan

Suatu waktu saat jam ramai salah seorang pekerja di bagian kasir restoran jepang tak masuk, Fafa mengambil alih. Di sisi lain, ia pun harus membantu di dapur dan menyajikan makanan. Karena banyaknya pekerjaan, Fafa jadi kurang memerhatikan di coffee shop.

Banyak pesanan terlambat dan kebetulan pemilik serta bagian operasional coffee shop berada di lokasi. Keduanya memarahi Fafa habis-habisan dan menuduh dirinya malas-malasan.

“Saya dimarahi di depan pelanggan saat itu juga. Benar-benar malu. Ia bilang saya nggak boleh duduk dari shift awal sampai akhir, tidak boleh istirahat sama sekali. Posisinya udah maghrib, saya nggak makan sama sekali dan nggak bisa beribadah,” katanya mengenang dengan sedih.

Di momen yang sama, atasan Fafa melempar satu gelas cinnamon roll di hadapan pelanggan. Yang miskomunikasi barista, tapi Fafa yang kena imbas karena bosnyan menganggap ialah yang bikin pelanggan marah dan pergi. Di posisi itu, tak ada yang membela. Fafa kemudian membereskan tumpahan minuman.

Perihal telat makan sering ia alami. Sedihnya lagi ia sering terpaksa bekerja lewat dari jam seharusnya karena pelanggan yang tak kunjung pergi saat jam tutup, tapi juga tak bisa mengusir begitu saja.

Waktu tutup pukul 10 malam tetapi Fafa sering pulang larut jam 12 atau bahkan jam 1 malam. Hal tersebut dianggap biasa dan tak terhitung lembur. Apalagi saat hari-hari evaluasi yang mulai jam 12 malam, ia baru pulang pagi hari.

“Bayaran per shift kalau weekdays itu 50 ribu, kalau weekend 75 ribu, bayaran setelah naik gaji soalnya aku dikasih tambahan job desk. Shift-ku 8 jam, mulai jam 1, 2, atau 3 siang tergantung kesepakatanku dengan anak-anak. Tiap minggu beda,” katanya. Fafa masuk kerja dengan sistem 4 hari kerja dan 2 hari libur.

Jam kerja yang nggak habis pikir, dan lingkungan toxic

Selama bekerja, Fafa merasa tak punya teman. Ia mengistilahkan diri sebagai outsider yang melamar pekerjaan kepada orang-orang yang sudah tergabung dalam satu kelompok pertemanan. Toxic sudah pasti.

Pelecehan verbal jadi makanan sehari-hari. Suatu waktu seorang barista menyentuh bagian sensitifnya. Ia jadi bahan lelucon seksual. Pengalaman buruk lain ia terima berkaitan dengan larangan agamanya. 

“Mereka sering minum-minum, saya nggak pernah ikut. Beberapa kali mereka membohongiku, mereka minta aku minum, ternyata alkohol, nggak banyak (jumlahnya) tapi bikin nggak nyaman. Mereka juga pernah bohong, mengajak makan, ternyata makanan itu haram (babi),” terang Fafa yang notabene seorang muslim.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi menjadi akumulasi ketidaknyaman yang ia rasakan. Akan tetapi, bayaran yang ia terima membuat Fafa mampu bertahan selama setahun.

“Sebenernya mereka merupakan lingkungan kerja yang sangat toxic. Tapi sekarang masih bisa berhubungan baik kok, dengan kesabaran saya setinggi gunung,” pungkasnya. 

 Bertahan hidup dengan upah murah di Jakarta

Meski bukan Gen Z, Nurul (31), seorang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK), di salah satu rumah sakit Jakarta merasakan bagaimana bekerja dengan upah 50 persen karena jeleknya manajemen perusahaan. 

Puluhan orang yang berstatus kontrak sudah diputus kerja. Nurul lolos sebab ia adalah pegawai tetap yang sudah bekerja selama 7 tahun 4 bulan. Namun, bukan tanpa dampak. Upah yang ia terima saat ini adalah dampak dari kebijakan pemotongan jam kerja 50 persen.

“Awal mula bekerja di tempat sekarang karena salary yang menarik, kemudian tidak ada sistem senioritas jadi bekerja secara kekeluargaan. Tidak ada persaingan antar karyawan selama bekerja karena sebenarnya saya bukannya orang yang kompetitif sehingga keadaan kekeluargaan seperti ini membuat saya nyaman dalam bekerja,” kata Nurul memulai ceritanya.

Awal bekerja, ia merasa sejahteran dengan pendapatannya. Sayangnya setahun terakhir manajemen perusahaan memburuk. Para pekerja di-PHK, pengurangan jam kerja 50 persen karena perusahaan tidak mampu bayar tetapi di sisi lain pekerjaan semakin bertambah. 

“Pekerjaan 7 orang tapi harus dikerjakan 3 orang,” katanya. 

Nurul mengakui, ini menjadi pekerjaan satu-satunya. Sehingga pendapatannya pun sangat bergantung dengan upah yang ia terima. 

Ia bekerja di bidang farmasi selama 11 tahun. Namun, pengalaman di tempat kerja saat ini adalah kondisi tersulit yang ia alami. 

Demo dan tuntutan memenuhi hak karyawan

Awal tahun ini, para pekerja melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut perusahaan untuk segera membayarkan hak normatif karyawan, terutama yang sudah meninggal, pensiun, dan mengundurkan diri.

Para pekerja juga mempertanyakan gaji 13 dan kenaikan gaji yang selama 4 tahun belakangan tak ada kabarnya. Selain itu, menuntut pembayaran utang kepada karyawan seperti THR dari tahun 2020 sampai 2023 yang perusahaan hanya bayarkan 25 persen sebab menyalahi aturan UU Ketenagakerjaan.

Perusahaan selalu mengambil keputusan sepihak, sehingga merugikan para pekerja karena tidak mendapatkan transparansi. Namun, Nurul dan para pekerja kembali menelan kecewa karena tuntutan-tuntutan itu tak kunjung ada tindak lanjut sampai hari ini.

“Sisa THR nggak tahu dibayar apa diikhlaskan, beritanya ngambang. Cuma dari mulut ke mulut. Karena ada temen saya yang resign dan nanya soal sisa THR 2020, kata manajemen, ‘ikhlaskan saja’,” jelasnya.

Terkait tunjangan seperti uang kehadiran, uang shift, dan jasa medis juga tak menemui titik terang. Mereka pun tak menerima slip gaji dengan rutin sehingga tak bisa memeriksa rincian uang yang mereka terima.

“Slip gaji biasa dikirim ke email tapi selalu belakangan bisa seminggu atau dua minggu setelah gajian. Malah saya udah tiga bulan ini nggak sesuai sama slip gaji, baru bisa protes selisih gajinya setelah slip keluar,” katanya.

Meskipun selisihnya hanya 120 ribu, 200 ribu, atau 300 ribu, tapi rasanya sangat berharga apalagi di tengah krisis keuangan, aku Nurul. 

Pengurangan karyawan buat beban kerja makin parah

Pengurangan karyawan membuat ia dan pekerja yang tersisa harus menanggung beban berkali lipat.

“Masuk kerja 50 persen tapi beban kerja 200 persen. Di farmasi nggak ada pengurangan tapi banyak yang resign. Pasien tetap banyak jadinya berat,” keluhnya. Pekerjaannya yang berat tak sebanding dengan upah murah yang ia terima.

Nurul selalu berpikir untuk berhenti tetapi ia merasakan keterikatan secara emosional dengan teman-temannya. Ia masih bertahan walau selalu melihat kemungkinan pindah kerja karena tuntutan kebutuhan.

Reporter: Sara Salim
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Pekerja Gaji di Bawah UMR Jogja: Jangankan Mimpi Beli Rumah, Bayar Kos Sendiri Saja Belum Sanggup

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 



Exit mobile version