Ribuan orang menyaksikan perang ritual Perang Obor di perempatan Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Senin malam (20/6/2022). Perang yang dilakukan dengan suka cita tersebut bertujuan untuk penolak bala.
***
Perang Obor merupakan tradisi tahunan warga Desa Tegalsambi yang selalu digelar pada bulan Dzulhijah atau pada setiap Senin Pahing, malam Selasa Pon pada penanggalan Jawa. Bagi warga Desa Tegalsambi, Perang Obor merupakan ritual wajib dari rangkaian acara Sedekah Bumi.
Menurut Agus Santoso, Petinggi Desa Tegalsambi yang saya temui di Balai Desa, Perang Obor ini merupakan tradisi yang harus diemban oleh seluruh warga Desa. Setiap tahun tidak boleh terlewat. “Saya tidak berani berandai-andai jika ditiadakan sekali saja. Karena Perang Obor ini warisan budaya. Tradisi yang sudah turun temurun dari para leluhur dan pendiri desa yang sudah berlangsung sekitar 500-an tahun yang lalu,” kata Agus Santoso.
Tujuan dari perang ini adalah mereka berharap keselamatan bagi ternak, dan tumbuhan yang mereka tanam, serta kesejahteraan dan ketentraman seluruh warga Desa Tegalsambi. Usai berperang mereka kembali dalam kebersamaan.
Kisah mula perang obor
“Perang Obor muncul dari kisah kesalahpahaman Mbah Kiai Babadan pada Mbah Kiai Gemblong,” kata Agus Santoso mengawali kisahnya. Mbah Gemblong dipercaya untuk mengelola ternak milik Mbah Kiai Babadan yang jumlahnya banyak. Suatu saat Mbah Kiai Gemblong didapati membakar ikan di tepi sungai. Pada waktu itu orang bekerja tidak sekadar bertani, tapi juga mencari ikan dengan menjadi nelayan.
Mbah Kiai Babadan mendapati banyak ternaknya sakit, ia menganggap Mbah Gemblong tidak melaksanakan tugas sesuai kesanggupannya. Mbah Kiai Babadan kemudian mencabut obor yang pada saat itu untuk penerangan kandang dan untuk mengusir serangga.
Obor sepanjang tiga meter yang terbuat dari blarak yang dililit dengan daun pisang kering itu kemudian dipukulkan kepada Mbah Gemblong. Mbah Gemblong yang kurang terima atas perlakuan Mbah Kiai Babadan kemudian membalas dengan mengambil obor blarak di tepian kandang lalu terjadi adegan saling pukul hanya karena bermula dari kesalahpahaman.
Anehnya, hewan-hewan yang ada di kandang yang semula sakit itu kemudian berlarian keluar kandang. Mereka berdua kemudian menghentikan saling pukul obor dan beranggapan bahwa penyakit atau roh jahat pada hewan itu sudah hilang.
Mbah Babadan kemudian berwasiat kelak anak cucunya melaksanakan perang obor sebagai momentum agar selalu mengingat setiap amanah. Karena bagi Mbah Kiai Babadan, Mbah Gemblong lalai dari amanah merawat hewan ternak yang telah diamanatkan kepadanya.
“Kita sebagai orang Islam dan sebagai orang Jawa, melalui kisah itu seperti diingatkan bahwa apa yang diperintahkan orang tua itu harus dilaksanakan. Kemudian seiring pemahaman agama masyarakat yang sudah semakin baik, perang obor itu kemudian tidak berdiri sendiri,” kata Agus Santoso.
Lebih lanjut Agus Santoso mengatakan, perang obor itu puncak dari sedekah bumi. Senin Pahing selapan hari sebelumnya, warga Tegalsambi mengawali Sedekah Bumi dengan berziarah ke makam-makam leluhur desa. Ada Sembilan makam yang telah diziarahi dari kurang lebih 16 makam para leluhur.
“Jadi, Perang obor itu tidak berdiri sendiri. Karena melalui Sedekah Bumi, kita mengingatkan masyarakat khususnya generasi muda bahwa kita harus ingat pada leluhur kita. Sebagai bentuk bakti kita pada orang tua. Barbakti itu salah satunya melaksanakan apa yang diamanahkan kepada kita,” lanjut Agus Santoso. Karena perintah dan amanah itu dilaksanakan secara terus menerus selama ratusan tahun sehingga jika tidak dilaksanakan ada rasa pamali.
Usai dari ruang Petinggi Desa Tegalsambi, saya bertemu Akhid (53). Dia sedang bersama Ari Siswanto usai menata blarak di sebelah balai Desa. Perang Obor kali ini pesertanya sebanyak 40 orang dan ada 360 blarak yang diikat dengan daun pisang kering yang akan dibakar sebagai alat perang.
Menurut Akhid, peserta biasanya turun temurun mulai dari simbah-simbahnya terdahulu hingga turun ke anaknya. Bapaknya Akhid juga pemain Perang Obor.
“Saya sejak tahun 1990 sampai sekarang selalu ikut perang obor,” kata Akhid.
“Saya pernah tidak ikut saat istri saya melahirkan. Itu juga saya sudah daftar. Tapi istri saya melarang.”
Selama pandemi, perang obor tetap dilakukan. “Tahun 2020 diadakan jam 12 malam. Tapi memang secara diam-diam karena untuk syarat saja agar Perang Obor tetap dilaksanakan. Sedangkan pada tahun 2021, diadakan pada jam 4 pagi. Itu pun hanya ada 4 obor saja dan hanya sebentar. Saya ikut. Sepi, Mas,” kata Akhid.
Hal yang sama juga diutarakan oleh Ari Siswanto (36). “Saya dan bapak saya pernah saling pukul dalam perang obor,” katanya Ari,sambil tertawa.
“Saat saling pukul obor ya terbawa emosi. Tapi setelah selesai ya kembali baikan kayak biasanya.”
Perang Obor Senin Pahing, 20/6/2022, kemarin malam memang sangat meriah. Ribuan orang memenuhi jalan untuk menonton. Sejak sore warga mulai berdatangan. Pada pukul 15.00 wib blarak obor sudah diletakkan di titik-titik jalan yang akan digunakan untuk berperang.
Di sekitaran perempatan Tegalsambi, beberapa pedagang Kintelan dikerubungi pembeli. Kintelan merupakan penganan khas Sedekah Bumi. Makanan ini muncul setahun sekali yaitu pada sore hari menjelang Perang Obor.
Kintelan terbuat dari tepung ketan berisi kelapa dan gula merah lalu dikukus. Lalu pelengkapnya diberi kuah areh, santan kental yang rasanya gurih. Rasa Kintelan manis legit dan kenyal dimulut berpadu dengan gurih kuah areh. Sedap. Teman saya, Dwi “Oblo” Prasetyo membeli sepincuk berisi 5 buah Kintelan harganya 5000 rupiah saja.
Acara dimulai pada pukul 19.30 wib. Diawali dengan arak-arakan pusaka desa dari rumah Petinggi Desa Tegalsambi. Pusaka Desa Tegalsambi itu berupa reng kayu dua buah sepanjang 50 senti pemberian Sunan Kalijaga, juga kentongan, dan bedug kecil. Di belakang barisan pusaka terdapat peserta perang Obor berjumlah 40 orang yang berjalan membawa blarak setinggi 2 meteran untuk bekal berperang.
Arak-arakan berjalan sangat lamban karena jalan dipenuhi ribuan orang. Petugas kepolisian yang mengatur jalannya acara sampai kewalahan. Maklum saja karena acara ini merupakan yang pertama kalinya sejak 2 tahun pandemi, Perang Obor dilakukan secara terbatas dan rahasia.
Perang Obor dimulai usai penyulutan obor pertama oleh Sekda Jepara Edy Sujatmiko. Lalu usai obor menyala, perang pun dimulai dengan saling pukul obor antarpeserta. Tidak ada musuh tetap. Karena semua yang memegang obor dianggap musuh dan wajib dipukul.
Melihat adu pukul obor yang menyala besar akan sangat membahayakan bagi yang tidak terbiasa. Penonton langsung menyingkir karena hawa panas dari api serta percikannya sangat panas. Nafas pun jadi sesak karena asap obor. Namun, Perang Obor berlangsung sangat meriah. Penonton saling memanasi dan bersorak usai ada yang adu pukul obor.
Perang Obor berlangsung sekitar satu jam. Peserta berjalan kembali ke rumah petinggi untuk mengolesi tubuh yang terkena api dengan minyak kelapa yang telah direndam bunga kering. Bunga itu merupakan bunga sesaji pusaka desa yang setiap malam Jumat didoakan oleh Petinggi.
Minyak kelapa itu mampu menyembuhkan rasa panas bahkan luka bakar akibat Perang Obor. Selain peserta, penonton yang terkena percikan api juga bisa meminta minyak kelapa itu untuk dioleskan ke badan yang melepuh terkena percikan api saat perang berlangsung.
Saya sengaja memilih pulang paling akhir karena tertarik dengan minyak kelapa yang banyak khasiatnya itu. Saat semua peserta selesai mengoleskan minyak ke tubuhnya masing-masing. Saya kemudian meminta izin mengambil sedikit minyak kelapa itu dengan botol sisa air mineral.
Reporter: Eko Susanto
Editor: Agung Purwandono