Petani di Purwakarta, Jawa Barat berhasil meningkatkan nilai tambah pucuk teh dari kebun mereka dengan memproduksi white tea atau teh putih. Jenis teh yang dikenal langka dan mahal. Di sisi yang lain, lebih dari 40 ribu petani teh rakyat mengenalkan teh dari lahan mereka dengan merek Teh nDeso.
***
Laki-laki bertopi laken itu memegang kemasan kaleng berisi white tea atau teh putih. Ia menjelaskan, teh dalam kemasan 20 gram tersebut ia jual Rp60 ribu. Harga itu jauh lebih mahal dari teh gelang super dengan berat 80 gram yang dijual dengan harga Rp20 ribu.
“White tea ini bisa bikin langsing. Ini benar, bukan saya yang ngomong tapi orang-orang yang sudah membeli produk white tea saya,” katanya disambut tawa orang-orang yang hadir di jumpa pers usai acara Pekan Teh Rakyat Yogyakarta yang berlangsung pertengahan Desember 2022 di TeaLOGi Sky View Babarsari.
Laki-laki bertopi laken itu adalah Apud Suardi (50), Ketua Kelompok Tani Sindang Tanon, Purwakarta, Jawa Barat. Ia diminta maju oleh panitia untuk membagikan pengalamannya sebagai petani mampu memberi nilai tambah pada pucuk teh hasil dari kebuh teh rakyat.
Kebun teh rakyat merupakan sebutan bagi lahan-lahan perkebunan teh yang dimiliki oleh petani, bukan oleh perusahaan swasta maupun perkebunan pemerintah.
Menurut Apud, kelompok taninya yang beranggotakan 20 orang mengolah sekitar 15 hektare kebun teh rakyat. Ia sendiri hanya memiliki lahan 4 ribu meter persegi, tidak kurang dari setengah hektare.
Sampai saat ini sebagian besar hasil panenan pucuk teh dari kelompok taninya masih dijual ke pabrik. Sebagian kecil lainnya, karena kesadaran ingin memberi nilai lebih pada teh dari kebun mereka, ia bersama rekan-rekannya mengolahnya jadi produk jadi.
“Kalau kami jual pucuk teh segar terus kan pasti dibeli murah. Kami punya inisiatif untuk mengolah sendiri meski dengan alat seadanya dan jumlah yang sedikit. Kan untuk menjadi besar harus dimulai dari kecil dulu,” katanya tertawa.
Harga jual pucuk teh segar ke pabrik rata-rata dihargai Rp2000 per kilogram. Sejak beberapa tahun ini, Apud dan teman-temannya mengolah sebagian kecil panenan pucuk teh dengan merek sendiri. Salah satu produk unggulannya adalah white tea atau teh putih.
Apud menjelaskan, yang disebut white tea atau teh putih adalah teh yang bahannya hanya berasal dari pucuk daun teh yang masih kuncup, biasa disebut peko. White tea juga dibuat dengan proses yang terbilang rumit, mulai dari pemetikan hingga pengemasan. Sedangkan teh gelang super berasal dari pucuk teh kelas dua yang lebih kasar.
“Kami membuat tiga jenis teh yaitu white tea, teh gelang super, dan teh gelang jimbung atau teh tubruk,” kata Apud. Teh-teh itu ia buat dengan skala produksi yang masih kecil bersama rekan-rekan petani teh rakyat lainnya di Purwakarta.
Tentang teh putih yang katanya membuat langsing
Saya kemudian mengajak Apud untuk menyingkir dari kerumunan untuk bisa ngobrol lebih santai. Apud kemudian menjelaskan lebih detail tentang teh putih ini.
“Jadi 1 kilogram teh kering itu dibuat dari 5 kilogram daun teh basah. Nah white tea ini hanya diambil pucuk yang masih kuncup. Jadi jumlahnya memang sedikit sekali,” kata Apud. Konon cerita, white tea ini dulunya hanya dikonsumsi oleh kaisar di China dan keluarganya. Baru pada tahun 1891 ketika China mulai ekspor komoditi ekslusif ini, dunia baru tahu akan teh putih.
Dari 15 hektare lahan teh yang dikelola kelompok taninya, paling banyak hanya ada 5 kilogram teh putih yang dihasilkan. Jika per 20 gram dijual Rp60 ribu, maka harga tiap kilogram white tea mencapai Rp3 juta.
Harga mahal itu juga sepadan karena dalam proses pembuatannya juga tidak asal. Mulai dari saat pemetikan hingga teh siap dipasarkan.
Pemetikan hanya dilakukan kepada daun yang sangat muda dan belum mekar serta masih diselaputi ‘rambut’ halus berwarna putih perak.
Pemetikan juga hanya boleh dilakukan pada sekitar pukul 05.30 sampai maksimal jam 07.30. Pemetiknya harus menggunakan sarung tangan dan nggak boleh sambil merokok, karena pada dasarnya daun teh ini menyerap bau. Pascapanen, pucuk teh hanya boleh dijemur di bawah panas matahari mulai pukul jam 08.00-10.00 kemudian diteduhkan dan baru dijemur lagi mulai jam 13.00 atau pukul 14.00 selama dua jam.
“Setiap hari paling dijemur maksimal 4 jam, itu untuk memastikan kandungan zat yang baik untuk kesehatan masih bagus,” kata Apud. Mengutip website Balai Penelitian Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Kementerian Pertanian RI, setidaknya ada 20 manfaat dari white tea atau teh putih ini bagi kesehatan.
Menurut Apud, soal teh putih yang membuat langsing memang benar adanya. Hanya mereka tidak bisa mencantumkan itu di kemasan karena mereka bukan produk kesehatan. “Kami sudah banyak testimoni, kok, tapi kan nggak boleh kami mengklaim atau mencantumkan,” katanya.
Selain memproduksi teh merek sendiri, Apud juga menyetorkan sebagian hasil panenan mereka untuk dikirim ke Rumah Teh Lestari di Jawa Tengah yang kemudian akan mengolahnya menjadi teh dengan merek Teh nDeso. Bahan baku teh ini berasal dari petani teh rakyat yang tergabung dalam Paguyuban Tani Lestari yang beranggotakan sekitar 40 ribu petani teh.
Menurut Apud, keberhasilan kelompok taninya mengembangkan produk teh tak lain karena kemauan untuk melakukan inisiatif, melakukan inovasi dan mau berkolaborasi dengan pihak lain. Petani yang awalnya terbiasa dengan cara lama dan hanya asal memetik pucuk teh, kini tahu cara petik teh yang benar untuk membuat teh yang berkualitas.
Mereka juga mulai mengolah lahan teh mereka secara organik sehingga kemudian mendapatkan sertifikasi organik untuk teh dari lahan mereka. Untuk mengenalkan teh pada anak-anak muda, Apun dan kawan-kawannya juga terlibat dalam berbagai festival teh di Bandung. “Secara pribadi saya ingin anak-anak muda juga tertarik mengembangkan teh, seperti halnya kopi. Produknya juga nanti beragam,” katanya.
Produk teh dari Kelompok Tani Sindang Tanon saat ini banyak dijual di Jakarta, Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Umumnya dijual di kafe-kafe besar.
Pekan teh untuk kenalkan teh rakyat
Acara Pekan Teh Rakyat 2022 ini diselenggarakan oleh beberapa organisasi yang mendukung produk teh rakyat, seperti: Indonesia Tea Marketing Association (ITMA), Business Watch Indonesia, Paguyuban Tani Lestari, Yayasan Komoditi Lestari, dan TeaLOGi Sky View.
Acara ini menghadirkan petani teh rakyat dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah seperti Tasikmalaya, Purwakarta, Banjarnegara, Pekalongan dan beberapa daerah lain di provinsi tersebut. Petani-petani ini sebagian besar membawa nama merek teh mereka sendiri.
Direktur ITMA Veronika Ratri Kustanti menyebut masa depan industri teh Indonesia sangat bergantung pada perkebunan rakyat mengingat dominasi lahan ada pada mereka. Saat ini luas lahan perkebunan teh milik rakyat mencapai 60 persen dari total keseluruhan perkebunan teh di Indonesia. Artinya lebih luas dari kebun teh yang dikuasai perkebunan besar milik swasta maupun negara.
Namun, meski menguasai 60 persen lahan, produktivitasnya rendah, sehingga ada ancaman petani tidak mau menanami lagi kebunnya dengan teh. Jika ini terjadi maka, akan terjadi penurunan jumlah kebun teh di Indonesia. Padahal dari tingkat konsumsi teh di Indonesia, tiap tahun selalu meningkat. Ujung-ujungnya Indonesia akan bergantung pada impor teh dari luar negeri.
ITMA sendiri bersama beberapa pihak punya komitmen untuk melakukan pendampingan petani teh untuk menghasilkan produk-produk berkualitas. Saat ini sejumlah sentra teh di Idonesia telah mengembangkan merek teh sesuai daerahnya masing-masing. “Teh-teh ini diproduksi secara mandiri dengan cara sederhana namun memiliki kualitas yang tidak kalah dengan teh pabrikan. Ini juga sebagai bentuk aktualisasi keterlibatan petani di ranah industri agribisnis,” kata Ratri Kustanti.
Menurut Nanang Christianto selaku pengelola brand Teh nDeso, produk teh yang mereka ciptakan berasal dari sortasi dari pucuk-pucuk teh dan manamejen mutu yang terjamin dari anggota Paguyuban Tani Lestari agar mempunyai cita rasa dan aroma yang khas.
“Selama ini kita perhatikan petani menjual pucuk basah sehinga harga atau margin keuntungannya tidak maksimal. Kami bantu dengan memproduksi Teh nDeso yang saat ini pemasarannya ada di Jawa Barat, Jakarta, Bali, Jawa Tengah, dan Yogyakarta,” kata Nanang.
Merek Teh nDeso ini juga untuk memotivasi petani untuk bersemangat mengelola lahan tehnya sehingga kebun tehnya tetap lestari. “Keuntungan dari Teh nDeso ini kami kembalikan lagi ke petani teh lewat berbagai pengembangan program, pengelolaan kebun, dan pengadaan sarana, prasarana pertanian untuk petani teh yang tergabung di Paguyuban Tani Lestari,” ujar Nanang.
Paguyuban Tani Lestari berdiri tahun 2016 atas inisiatif Bisnis Watch Indonesia yang anggotanya berasal dari petani teh di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Saat ini sekitar 40 ribu petani teh rakyat tergabung dalam paguyuban ini.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA: Rahasia Racikan Teh Angkringan, Cita Rasa Khas Tepi Jalan