Jumlah hotel bertambah, karyawan berkurang
Melihat data statistik dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) DIY jumlah hotel pasca-pandemi justru meningkat tajam. Tahun 2019, jumlah hotel berbintang dan non-bintang sejumlah 773 hotel, di tahun 2022, melonjak lebih dari dua kali lipatnya menjadi 1.696. Kenaikan terbanyak pada jumlah hotel non-bintang. Dari 610 hotel pada 2019 menjadi 1.528 pada 2022.
Dari sumber yang sama, jumlah karyawan hotel mengalami penurunan. Data hanya menampilkan jumlah karyawan hotel berbintang. Di tahun 2019 tercatat ada 7.781 karyawan dan di tahun 2022 menjadi 4.524 orang. Sumber data tidak menyebutkan apakah karyawan tersebut hanya merupakan karyawan tetap atau juga termasuk casual. Juga tidak disebutkan berapa karyawan hotel non-bintang.
Pandemi memang memukul industri pariwisata di Yogyakarta, khususnya hotel. Pada 2019 jumlah ketersediaan kamar hotel di Jogja sebanyak 9.422.682, sedang Oktober 2022 jumlah kamar menjadi 1.040.052.
Beberapa kasus pemecatan pekerja hotel memang sempat mencuat di Jogja. Pada 2019 silam, pekerja bernama Asrori mendapat pemecatan setelah bekerja 23 tahun di sebuah hotel yang terletak di Malioboro. Kepada Harian Jogja, Asrori mengaku tidak mendapat hak-hak sebagai pegawai yang dipecat. Padahal ia mengaku statusnya adalah pegawai tetap.
“Saat di PHK tidak ada surat peringatan sebelumnya. Tidak ada pesangon. Alasannya cuma karena kontrak saya habis. Saya hanya minta hak-haknya saya dipenuhi sesuai UU Ketenagakerjaan,” ujarnya, melansir dari Harian Jogja.
Serupa, pekerja hotel lain bernama Frans Sukmaniara juga memberikan pengakuan setelah mengalami pemecatan sepihak. Sedikit berbeda, Frans mengalami pemecatan lantaran aktif menjadi wakil ketua serikat pekerja.
Saat menyampaikan aspirasi terkait hak-hak pekerja, Frans justru mendapat intimidasi yang berujung pemecatan. Alasannya, masa kontrak Frans telah habis.
Kondisi pandemi yang menghantam dunia pariwisata Jogja juga membuat banyak pekerja hotel baik yang status tetap apalagi pekerja casual seperti Rozi kehilangan pekerjaan.
Kepuasan pelanggan
Pekerja hotel memang punya tuntutan agar memberikan pelayanan prima bagi pelanggan. Pengamat pariwisata sekaligus pendiri Women in Tourism Indonesia (WITD), Rizqi Monica menerangkan jika aspek customer satisfaction atau kepuasan pelanggan di industri pariwisata, terkhusus perhotelan memang jadi acuan utama.
“Di industri pariwisata memang KPI-nya, mengacu pada pelayanan. Kepuasan pelanggan jadi hal yang begitu diagungkan,” ujarnya Monica.
Hal itu membuat relasi kuasa di industri pariwisata tidak hanya terjadi lewat supervisor atau manajer ke level yang lebih rendah. Namun, juga dari wisatawan atau tamu sebagai pelanggan yang harus diutamakan.
Rizqi Monica, menyoroti kerentanan pekerja di sektor pariwisata, termasuk perhotelan.
Kondisi itu membuat para pekerja mendapat tekanan dari berbagai sisi. Situasi ini, menurut Monica, memicu kerentanan bagi pekerja di level-level bawah industri pariwisata terkhusus perhotelan.
Belum lagi, Monica juga membenarkan bahwa budaya lembur di hotel sering terjadi. Belum tentu hal itu memiliki hitungan upah tersendiri. Tanpa lembur saja menurutnya work flow di perhotelan ini tergolong berat.
“Lalu di Jogja ini kita akui, secara umum upahnya rendah. Kalau bagi pekerja hotel casual, rata-rata memang masih minim,” terangnya.
Rentan kekerasan seksual
Selain tantangan itu, Monica juga melihat bahwa perempuan di industri pariwisata termasuk perhotelan juga mengalami kerentanan terhadap pelecehan seksual. Selain tuntutan puntuk memberikan pelayanan prima, sebagian pekerja perempuan mendapat permintaan khusus perihal seragam.
“Misal larangan untuk menggunakan hijab dan beberapa aspek penampilan lain yang memang aturannya lebih kompleks ketimbang laki-laki,” paparnya.
Monica berbagi pengalamannya saat menggelar WTID Camp pada 2021 silam. Saat itu, pada kelas bertajuk Respond to Sexual Harassment in Tourism Sector ia menemukan beberapa pengakuan mengalami pelecehan seksual di industri pariwisata.
“Setidaknya, ada lima perempuan yang angkat suara. Saat itu mereka masih mahasiswa dan pernah magang di industri,” jelasnya.
Beragam cerita ia dapati. Mulai dari pengalaman mendapatkan pelecehan seksual namun supervisor tidak memihak penyintas hingga pihak instansi pendidikan yang berharap agar tidak membesar-besarkan kasus serupa.
“Tapi yang kita tidak menyangka, ternyata ada banyak orang yang tidak menyadari hal yang telah mereka alami itu sudah tergolong pelecehan seksual,” terangnya.
Lewat WTID, Monica dan rekan-rekannya berupaya untuk mengadvokasi temuan-temuan kasus ini supaya bisa mencegah kasus serupa terjadi lagi. Jogja menjadi salah satu daerah tujuan utama pelaksanaan agenda meeting, incentive, conference, dan exhibition (MICE). Hal ini membuat industri perhotelan berkembang pesat. Namun di balik itu, ia berharap agar ada perhatian lebih pada para pekerja di balik geliat bisnisnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA 10 Hotel Bintang 5 di Jogja Selain Royal Ambarrukmo, Ada Bangunan Bernilai Sejarah dan reportase menarik lainnya di rubrik Liputan.