Pekerja hotel di Jogja punya banyak cerita tak mengenakkan. Di balik ingar-bingar pariwisata dengan lebih dari seribu hotel yang berada di wilayah ini, ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Beban kerja yang berat, ketidakjelasan status, hingga kerentanan menjadi korban pelecehan seksual nyata terjadi di sekeliling mereka.
***
Tak mudah untuk membuat janji dengan Rozi (25), sebut saja begitu. Ia merupakan pekerja bagian housekeeping di sebuah hotel berbintang tiga di Jogja. Tepatnya di kawasan pusat pariwisata sekitar Jalan Malioboro. Area yang strategis untuk menyasar pasar wisatawan.
Susahnya memperkirakan jadwal Rozi, lantaran ia terkadang harus bergonta-ganti jadwal kerja. Kalau ada karyawan yang izin, pekerja dengan status kasual sepertinya harus siap sedia menggantikan. Walaupun di hari libur yang semestinya bisa ia gunakan untuk beristirahat.
Hari itu adalah jadwal Rozi libur. Tapi semalam sebelumnya, atasannya memberi kabar agar ia tetap bersiap untuk kerja lantaran akan ada seorang karyawan yang izin. Beruntung, akhirnya karyawan itu tetap hadir sehingga Rozi bisa menikmati hari senggangnya Rabu ini.
“Kalau tidak disanggupi ada rasa khawatir. Saya tidak punya status yang jelas, bisa saja suatu waktu dirumahkan karena dianggap tidak loyal dan tidak siap dengan segala tugas yang diberikan,” terangnya saat kami bertemu di sebuah kafe, Rabu (8/2).
Rozi menyadari susahnya mencari kerja. Sehingga ia coba terus bertahan di industri ini kendati memiliki banyak keluhan.
Pekerja casual di hotel
Rozi adalah satu dari banyaknya pekerja casual yang ada di hotel-hotel Jogja. Pekerja casual hotel adalah istilah yang biasanya digunakan untuk para pekerja lepas di industri perhotelan di Jogja. Kebanyakan dari mereka mendapatkan upah per shift tanpa kepastian status.
Ada pekerja casual yang hanya dipanggil saat hotel sedang ramai atau mengadakan agenda besar yang membutuhkan banyak tenaga. Namun, ada pula pekerja hotel casual yang terjadwal seperti Rozi.
“Jadi kalau saya terjadwal, setiap bulan sudah ada jadwal total berapa hari bekerja,” ujarnya. Sehari Rozi harus bekerja sembilan jam di hotel. Belum lagi saat ada lemburan. Menurutnya, lembur jadi hal yang lumrah di dunia perhotelan.
Meski terjadwal, ia tidak berstatus karyawan sehingga tak mendapat tunjangan lain selain gaji pokoknya. Saat awal bekerja di hotel berbintang tiga ini, ia mendapat upah Rp80 ribu per shift. Ia bersyukur, awal tahun ini mendapat kenaikan menjadi sekitar Rp90 ribu per shift.
“Sebulan, rata-rata ya dapat jadwal 20-25 hari,” tukasnya.
Pekerja casual biasanya menempat posisi housekeeping yang meliputi urusan room attendant, public area, linen, hingga laundry. Room attendant mengurusi kamar, public area membersihkan area-area hotel, linen biasa mengurusi sprei kasur, sedangkan laundry mencuci pakaian pengunjung.
Karier di hotel tidak mudah
Belum lagi, menurutnya menapaki jenjang karier di hotel tidaklah mudah. Perlu waktu agar bisa menjadi staf tetap. “Apalagi di sektor-sektor housekeeping, tidak banyak lowongan yang langsung jadi karyawan dan dikontrak,” ujarnya.
Setiap hotel punya sistem berbeda-beda terkait kepegawaian. Namun, menurut Rozi, biasanya hotel menggunakan sistem pergeseran, jika ada satu karyawan yang keluar maka pihak hotel akan mencari karyawan baru. Bisa mengangkat pekerja casual maupun rekrutmen orang baru.
“Nah kalau ini biasanya dipilih yang sudah lama masa kerjanya. Buat aku yang tergolong masih muda, kebayang kan harus menunggu berapa lama?” ujarnya tertawa sambil menggelengkan kepala.
Menyiasatinya, biasanya para pekerja casual terjadwal seperti Rozi ini akan mencari pengalaman satu dua tahun saja. Hal itu dijadikan modal ketika ada peluang lowongan karyawan kontrak dengan status yang lebih jelas.
Rozi berujar, pekerja casual di hotel memang kebanyakan diisi anak muda sepertinya. Golongan yang belum banyak tanggungan. Mereka datang dari latar belakang lulusan SMK Perhotelan dan ada juga yang lulusan diploma dari sejumlah sekolah tinggi pariwisata.
“Kayaknya, kalau buat orang yang sudah berkeluarga susah. Selain upah, tidak ada jaminan status ini yang membuat ragu,” paparnya.
Rozi awalnya juga tak berencana terjun di dunia perhotelan. Selepas lulus SMA, ia mencoba mendaftarkan diri ke sejumlah perguruan tinggi negeri. Namun, ia mengalami penolakan di hampir semua tempat yang ia coba masuki.
Di tengah kebuntuan, ibunya yang kebetulan bekerja sebagai staf administrasi di sebuah akademi pariwisata, menyarankan agar ia mengambil jurusan perhotelan saja. “Biar ngisi waktu luang, nanti tahun depannya coba daftar lagi,” kata Rozi.
Akhirnya, ia pun mencoba mengambil studi D3 Perhotelan. Awalnya sekadar coba-coba, perlahan Rozi merasa nyaman. Ia merasa cocok dengan kegiatan-kegiatan praktik urusan pariwisata dan perhotelan.
Bonus-bonus menggiurkan, tapi tidak untuk pekerja casual hotel
Ia juga sempat magang di sebuah hotel berbintang empat di Jogja. Di sana, ia mengetahui kalau pekerja hotel bisa mendapat beberapa pemasukan. Mulai gaji pokok, tip dari pengunjung, sampai bonus dari hotel yang berasal dari service tax.
“Jadi, beberapa hotel besar itu kan punya pajak pelayanan. Nah hotel itu mengumpulkannya lalu dibagi ke karyawan setiap bulan. Jumlahnya bisa dua kali lipat gaji pokoknya kalau okupansi sedang tinggi,” ujarnya antusias.
“Kalau tip dari pelanggan memang masih perdebatan. Uang tergeletak di kasur itu bisa jadi memang tip tapi bisa saja ketinggalan. Kecuali memang ada note-nya,” sambungnya.
Hal itu memang menggiurkan, tapi ternyata tidak berlaku untuk para pekerja casual. Bonus-bonus semacam itu biasanya didapat pegawai kontrak atau tetap di hotel saja.
Menyandang gelar diploma pada 2019, ia langsung mendapat kerja di sebuah hotel berbintang empat. Namun, mewahnya hotel itu belum tentu berdampak pada kesejahteraan para pekerja kasualnya.
“Dulu sempat terpikir, saking banyaknya hotel di Jogja, kalau aku sebagai lulusan D3 Perhotelan nggak dapat kerja itu kebangetan. Ternyata ya bisa dapat, tapi situasinya begini,” keluhnya dengan sedikit tertawa.
Tanpa status, rawan pemecatan tiba-tiba
Saat bekerja di hotel bintang empat itulah, Rozi merasakan rasanya mengalami pemecatan tiba-tiba. Ia bekerja di hotel tersebut pada Desember 2019. Belum genap tiga bulan, hotel tersebut merumahkan sebagaian pekerjanya. Hal itu bertepatan dengan momen pandemi yang menggoncang dunia pariwisata.
“Suatu hari saya sedang libur. Tiba-tiba manajer menghubungi, kalau besok saya tidak bisa bekerja dulu. Libur sampai waktu yang tidak ditentukan,” kenangnya, lemas.
“Padahal waktu itu, meski casual saya sempat dapat kontrak tiga bulan. Tapi begitulah,” sambungnya.
Tanpa persiapan sama sekali, Rozi sempat kewalahan. Ia tidak punya tabungan dari hasil menyisihkan gaji-gaji sebelumnya. Sehingga ia mencoba bertahan. Rozi merupakan anak pertama di keluarganya. Meski hidup masih seatap dengan orang tua, ia sudah sungkan untuk berpangku tangan pada mereka.
Tiga bulan pasca-pemecatan, hotel itu kembali memanggil. Rozi mendapat tawaran bekerja meski dengan jadwal yang tidak terlalu padat. Sehingga tidak bisa banyak mengantongi gaji.
Kendati kondisi mendesak, ia pun menerima tawaran tersebut. Ia kembali bekerja di sana sampai awal 2021 saat kembali terjadi pemangkasan pekerja. Saat itu, Rozi sudah lebih bersiap sehingga tidak kaget seperti sebelumnya.
“Setelah itu, saya sempat setahun enggan balik ke dunia perhotelan lagi. Saya kerja yang lain mulai bantu saudara jualan makanan sampai jadi driver ojek online,” kenangnya.
Namun, akhirnya, ia pun kembali bekerja di hotel pada 2022. Kendati kepastian statusnya tidak jelas, tempat ia bekerja saat ini lebih baik dari beberapa sisi.