Menggadaikan barang jadi salah satu cara mahasiswa untuk bertahan hidup di masa sulit. Kadang pula, barang jadi satu-satunya aset yang bisa mereka cairkan agar bisa membayar kuliah saat orang tua sedang tak bisa menyediakan biaya.
Namun, kerap pula, ada praktik nakal mahasiswa yang menggadaikan barang teman tapi tak kembali sesuai perjanjian. Bahkan ada pula yang tanpa izin sama sekali. Mojok merekam kisah kedekatan gadai dan mahasiswa.
***
Ada yang bilang: belum tuntas jadi mahasiswa kalau nggak pernah merasakan gadai barang. Gadai barang adalah meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman
Memang menggadaikan barang berharga adalah jalan yang bisa mahasiswa tempuh saat kepepet. Hingga sekarang cara ini masih jadi andalan.
Mahasiswa sekarang tuh masih ada yang suka ngegadein barang-barangnya gitu nggak sih?
— Mojok.co (@mojokdotco) March 14, 2023
Seperti Selasa (21/3) siang, di sebuah tempat gadai barang di Jalan Kaliurang KM 13,5, Sleman, ada seorang anak muda tampak sedang bertransaksi dengan beberapa petugas. Ia tampak sedang berdiskusi serius dengan dua staf yang berjaga.
Tak berselang lama, seorang staf berjalan ke belakang. Lalu kembali dengan menenteng sebuah laptop. “Coba cek dulu ya Mas, kelengkapannya,” ujarnya pada sang mahasiswa.
Sejurus kemudian, mahasiswa itu menyalakan laptopnya dan mengecek setiap detail badan laptop tersebut. Setelah merasa aman, ia pun merogoh dompet di saku belakang celananya. Mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan.
Lamat-lamat terdengar, uang tebus gadai tersebut berkisar di harga Rp700 ribu. Transaksi beres, sang mahasiswa itu pun melenggang dari kursi. Saya penasaran untuk berbincang dengannya. Namun, ia enggan saya wawancara.
Ika, staf Awi Gadai mengatakan lelaki tadi memang seorang mahasiswa dari kampus swasta tak jauh dari tempat tersebut. Mahasiswa itu menebus laptop tanpa keterlambatan sesuai kesepakatan awal.
Hari-hari jelang Ramadan kala itu, menurutnya tempat gadai sedang sepi pengunjung. Sehari ini baru ada dua orang yang bertransaksi.
“Kalau biasanya ramai itu di masa-masa semesteran. Masa bayar sekolah dan kuliah itu ramai. Bukan hanya mahasiswa tapi juga para orang tua,” katanya.
Mahasiswa paling banyak gadai laptop
Di ruangan yang tak terlalu luas ini, tampak beberapa barang gadai seperti motor dan mesin cuci. Barang-barang besar tersebut, menurut staf, biasanya berasal dari orang-orang tua yang sudah berumah tangga.
“Kalau ibu rumah tangga atau bapak-bapak biasanya ya kulkas, mesin cuci, sampai motor. Beda dengan mahasiswa yang biasanya barang elektronik terutama laptop,” papar Ika.
Selain itu, ia menerangkan kalau mahasiswa yang menggadaikan kebanyakan merupakan perantau dari luar provinsi. Mahasiswa tadi, dari logat dan plat nomor motornya tampak dari sebuah daerah di Jawa Barat.
Lokasi salah satu cabang Awi Gadai ini memang terletak tak jauh di sebuah kampus swasta yang cukup besar. Menurut Ika ini tak lepas dari segmen utama yang mereka sasar yakni mahasiswa. Kampus tersebut cukup terkenal dengan biaya perkuliahannya yang relatif tinggi.
“Jadi barang yang mereka pun nilainya lumayan. Range gadai itu kisaran 2-5 juta. Katakanlah laptop, laptop mereka pun kebanyakan yang spesifikasinya tinggi, makanya bisa cair kisaran segitu,” terangnya.
Ketentuan gadai di tempat ini memiliki beberapa mekanisme. Pertama untuk jangka waktu 1-7 hari biaya imbal jasanya sebesar 3 persen. Kedua untuk jangka waktu 8-14 hari imbal jasa 5 persen. Sedangkan 15-21/30 hari biaya imbal jasanya sebesar 10 persen.
“Kalau misalnya belum bisa diambil, ketika jatuh tempo itu bisa diperpanjang. Nanti kita tambah waktunya 3 minggu lagi. Setiap tiga minggu itu kelipatan 10 persen,” terang Ika.
Peraturan OJK NO 31/POJK.05/2016 pasal 24 ayat 2 menyebutkan bahwa uang pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum gadai belum melunasi sampai tanggap jatuh tempo maka perusahaan pegadaian dapat melelang barang jaminan. Jika terlambat risikonya memang pihak pegadaian akan menjualnya.
Praktik gadai barang milik orang lain
Ika mengatakan, pihanya mewanti-wanti betul agar calon penggadai tidak menjaminkan barang milik orang lain untuk mendapat pinjaman. Praktik itu kerap terjadi dan secara tegas dilarang tempat ini.
Ika mengaku selalu menggunakan mekanisme mengonfirmasi kepemilikan barang yang hendak seseorang gadaikan. Jika ada berkas yang bisa menjadi bukti kepemilikan, maka proses pengecekan akan ia lakukan.
“Kalau misalnya bilang nama teman atau nama pacarnya atas siapa itu nggak bisa. Harus yang bersangkutan yang ke sini,” tegasnya.
Praktik menggadaikan barang milik orang lain memang memiliki sejumlah risiko. Meskipun pemilik barang sudah mengizinkan pihak ketiga untuk menggadaikan barangnya.
Farah (23), bukan nama sebenarnya, punya pengalaman kurang mengenakkan karena temannya menggadaikan barang miliknya. Mahasiswi asal Jember ini pernah meminjamkan kalung miliknya pada seorang teman yang sedang terdesak dan membutuhkan uang.
Ia memiliki sebuah lingkaran pertemanan dekat dengan lima orang teman. Ketika berkumpul, salah seorang di antaranya mengeluh sedang membutuhkan uang untuk kebutuhan mendesak. Berhubung ia punya sebuah kalung emas, ia tawari temannya untuk memanfaatkan.
“Saat itu baru pertama kali barang saya digadaikan,” kenangnya.
Sang teman, menurutnya memang sudah terbiasa menggadaikan barang saat sedang terdesak ekonomi. Mulai dari laptop hingga perhiasan pernah ia gadaikan. Farah juga mengaku pernah sekali mengantar temannya itu ke tempat gadai.
Ia yang merasa iba pun tak sampai hati kalau tak membantu sang teman saat sedang kepepet saat itu. Kalungnya bisa mencairkan dana sekitar Rp2,9 juta di tempat gadai.
Hingga saat ini, barangnya masih belum jelas kepastiannya. Ia mengaku khawatir jika barangnya tak bisa kembali. Namun, ia masih menunggu kepastian sampai jatuh tempo nanti.
“Teman saya memang pernah sekali ada pengalaman buruk. Dia menggadaikan perhiasan ibunya dan tidak bisa menebus kembali. Alhasil saat itu, dia kebingungan dan mencari kalung untuk mengelabuhi ibunya,” terangnya.
Baginya, membantu teman memang suatu hal yang perlu ia lakukan. Namun, terkadang hal itu bisa berakhir merepotkan. Pengalamannya merasakan kekhawatiran barangnya tak kembali, membuatnya sadar dan lebih berhati-hati di kemudian hari.
“Ya gimana, gadai itu memang kadang jadi solusi saat terdesak. Tapi sering merepotkan. Apalagi kalau bukan barang milik sendiri,” curhatnya.
Jadi pilihan karena enggan merepotkan teman
Pengalaman agak berbeda diceritakan oleh Damar (23). Mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di Jogja ini punya pengalaman menggadaikan barang saat butuh uang mendesak. Cara itu ia pilih karena merasa tidak enak jika meminjam uang ke temannya.
“Aku memilih nggak meminjam uang ke teman karena merasa nggak enakan. Mending gadai barang aja biar jadi urusan pribadi,” katanya.
“Kalau pinjam uang teman, amit-amit ada kendala bayarnya, kan malah bisa merusak hubungan,” sambungnya.
Pengalaman pertama Damar menggadaikan barang terjadi pada 2018 silam. Saat itu ia masih terhitung mahasiswa baru dan belum punya pemasukan sampingan selain mengandalkan uang saku dari orang tuanya.
Saat itu ia mendesak butuh uang meski bukan untuk kebutuhan primer. Damar merupakan fans PSS Sleman. Ia mendapat ajakan dari rekannya untuk menonton pertandingan lanjutan Liga 2 di Tangerang. Saat PSS Sleman masih berjuang meraih tiket promosi ke Liga 1.
“Seringnya kan ajakan away days itu mendadak. Teman banyak yang ikut. Kalau pertandingan di kota-kota besar memang selalu ramai yang berangkat,” kenangnya.
Damar begitu ingin berangkat. Namun, ia sedang tak punya uang lebih. Biaya perjalanan rombongan saat itu hanya Rp350 ribu per orang.
Jalan pintas saat kepepet
Akhirnya Damai menggadaikan iPhone 6 miliknya karena kebetulan ia punya dua handphone. Sehari-hari ia menggunakan handphone Android. iPhone 6 saat itu terbilang masih banyak digunakan sehingga masih punya nilai yang lumayan.
“Sebenarnya ya agak malu nggadai barang. Tapi ya sudah tak kendeli wae mergo kepepet,” paparnya.
Akhirnya, ia beranikan diri berangkat ke tempat gadai terdekat dari rumahnya. Ia berhasil mencairkan uang Rp1 juta dari barang tersebut. Durasi peminjaman selama sebulan dengan bunga 10 persen.
Dari pengalaman itu, ia beranggapan bahwa menggadaikan barang bisa jadi solusi ketika butuh uang cepat. Tapi ia mewanti-wanti agar sudah memikirkan cara melunasi utang sejak awal menggadaikan barang. Jika telat bunga bisa berlipat. Lebih parah lagi barang tersebut bisa dilelang dan tak bisa kembali lagi ke tangan. Padahal nilai gadai umumnya di bawah harga jual barang.
“Tapi memang gadai barang bisa jadi solusi buat orang yang nggak enakan untuk pinjam ke teman. Asal barang punya sendiri ya,” pungkas Damar tertawa.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sedihnya Mahasiswa Kehilangan Rp115 Juta karena Arisan Online Bodong yang Pelakunya Sepasang Mahasiswa dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.